Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30.Permintaan Putus
Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Alvaro belum sepenuhnya pulih dari ketegangan pesta. Clarissa menghindari semua orang, dan Nathan tak banyak bicara. Hanya Celeste yang tetap membantu di dapur, mengatur bunga-bunga segar di vas, dan sesekali mengawasi suasana dengan hati-hati.
Madeline duduk di ruang tamu, tangannya membalik halaman majalah, tapi pikirannya melayang. Ketika Nathan masuk dengan secangkir kopi, ia tahu inilah waktu yang tepat.
"Kamu masih bersama Clarissa?" tanya Madeline tanpa basa-basi, matanya tetap tertuju pada halaman majalah.
Nathan menarik napas pelan. "Iya."
Madeline meletakkan majalahnya. "Putuslah."
Nathan mematung. Ia menatap ibunya, mencoba mencari isyarat bahwa ini mungkin lelucon. Tapi tatapan Madeline tenang dan jelas.
"Dia bukan untukmu, Nathan. Kamu tahu itu."
Nathan duduk, menatap cangkir di tangannya. "Ibu menilainya dari mana? Dari latar belakang? Dari statusnya sebagai pelayan?"
Madeline menggeleng. "Tidak. Aku menilainya dari cara dia mengumumkan hubungannya di pesta, seolah-olah itu puncak keberhasilan hidupnya. Aku takut dia mencintaimu karena posisimu, bukan dirimu."
Nathan mendesah. "Ibu, dia hanya... ingin diakui. Mungkin caranya salah. Tapi dia punya perasaan juga."
Madeline menatap putranya dengan mata yang lembut tapi tegas. "Cinta sejati tak butuh pengakuan publik semegah itu untuk membuktikan keberadaannya."
Di luar ruangan, Celeste berdiri sambil memegang baki teh. Ia tak sengaja mendengar pembicaraan itu. Tanpa suara, ia melangkah pergi, membawa baki itu kembali ke dapur.
Tak lama kemudian, ia memberanikan diri menemui Madeline.
"Tante, boleh bicara sebentar?" katanya pelan.
Madeline mengangguk. "Tentu, sayang."
Celeste duduk di tepi sofa, menunduk sejenak. "Tante, kalau boleh jujur... saya yang salah. Saya yang menyatukan Nathan dan Clarissa. Saya cuma ingin... punya teman. Mereka satu-satunya yang bisa saya ajak bicara seusia saya di rumah ini. Dan saya pikir, kalau mereka bisa bersama, mungkin saya juga akan punya dua sahabat yang saling menyayangi."
Madeline menatap Celeste lama. Tak ada kemarahan di wajahnya. Hanya sebuah pengertian yang perlahan-lahan tumbuh.
"Kamu pikir begitu, ya?" bisik Madeline.
Celeste mengangguk. "Saya nggak tahu ternyata semua ini akan jadi rumit."
Madeline menarik napas panjang. Ia menepuk tangan Celeste pelan. "Kamu bukan gadis biasa. Kamu punya cara berpikir yang tulus dan hati yang hangat. Aku justru menyesal tidak lebih cepat melihat bahwa kamu kesepian."
Celeste terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, tapi ia tahan.
"Kamu tahu, Celeste," lanjut Madeline, suaranya lebih lembut. "Ibumu... dia dulu sahabatku. Dia gadis kuat, penuh kasih, dan setia. Aku lihat dia dalam dirimu. Kamu punya semua yang membuat seorang wanita jadi berharga. Aku hanya ingin Nathan punya seseorang yang seperti itu di sisinya. Bukan yang mudah silau."
Celeste hanya menunduk. Di dalam dadanya, perasaan hangat bercampur getir. Ia tidak pernah berpikir bahwa keputusannya menyatukan Clarissa dan Nathan justru akan membuat semua kacau. Tapi ia tahu, niatnya tulus. Dan sekarang, ia tak bisa menarik kembali apa yang sudah terjadi.
Madeline pun berdiri. Ia menatap ke luar jendela.
"Aku tidak akan memaksa Nathan. Tapi cepat atau lambat, dia akan melihat dengan matanya sendiri siapa yang benar-benar mencintainya."
Celeste pun mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak ikut campur lagi. Tapi satu hal yang pasti: apa pun yang terjadi, ia tak akan meninggalkan kebaikan hatinya. Bahkan meski itu artinya ia harus terluka.
Dan di sudut lain rumah, Nathan berdiri di lorong, mendengarkan tanpa suara. Matanya tak lepas dari Celeste. Untuk pertama kalinya, ia mulai melihat gadis itu dengan cara berbeda.
Bukan sebagai sahabat... tapi seseorang yang terlalu sering mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi orang lain.