Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Masa Lalu Pilihan Mertua
Diva menatap bayangannya di cermin kamar kakaknya. Wajahnya tampak tenang, tapi hatinya bergolak. Pesan dari Arini terus terngiang di kepalanya. Ia tahu, ini waktunya. Ia tak bisa membiarkan pernikahannya hancur hanya karena pilihan ibu mertuanya.
“Aku mungkin bukan menantu terbaik… tapi aku istri sah Arman. Dan aku nggak akan biarin diriku disisihkan begitu saja,” ucapnya pada diri sendiri, suaranya pelan namun mantap.
Ia merapikan kerudungnya, lalu mengambil tas dan ponselnya. Sebelum keluar kamar, ia menarik napas panjang.
“Kak, aku pulang ya. Aku harus bicara sama ibu dan Arman,” katanya pada Dira yang sedang di dapur.
Dira menatap adiknya, kemudian tersenyum tipis. “Kalau kamu yakin, kakak dukung. Tapi kamu harus kuat, Div.”
Diva hanya mengangguk. “Aku nggak akan diam lagi.”
**
Sementara itu, di rumah Arman, Bu Susan sedang duduk di ruang tengah sambil berbincang dengan Raya. Arman hanya diam, pikirannya berkecamuk. Ia ingin membela Diva, tapi ucapan ibunya tadi terlalu tajam, dan ia belum tahu harus berkata apa.
Arini dari balik dapur mengintip situasi itu dengan resah. Ia hanya bisa berdoa agar Diva benar-benar datang hari ini. Rumah itu butuh suara dari orang yang paling berhak mempertahankan posisi istri yang sah.
Pintu rumah itu terbuka perlahan. Diva berdiri di ambang, wajahnya tenang namun tatapannya tajam. Arini yang melihat langsung berdiri, hatinya berdebar. Arman yang sedang duduk di ruang tengah sontak menoleh. Raya ikut berdiri, sedikit gugup. Tapi yang pertama bicara justru Bu Susan.
"Lho, kamu masih sempat-sempatnya balik ke sini?" sindirnya tajam.
Diva menghela napas. “Saya datang untuk bicara, Bu. Bukan untuk bertengkar.”
Bu Susan tertawa kecil, sinis. “Bicara apa? Mau bawa drama lagi? Kamu tuh dari awal emang nggak cocok jadi istri Arman.”
“Bu…” Arman mencoba menengahi, tapi Bu Susan mengangkat tangan, meminta diam.
“Dengar ya, kamu itu cuma lulusan SMA, nggak kerja, nggak bisa bantu apa-apa buat keluarga ini. Cuma bisa minta, merengek, dan nyusahin. Sudah gitu… mandul! Tahu nggak kamu? Pembawa sial!”
Seketika suasana rumah itu hening. Arman tertegun, wajahnya berubah pucat. Arini menutup mulut, tak percaya ibunya bisa berkata sekejam itu.
Diva berdiri terpaku, tapi air matanya tak turun. Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang membuncah di dadanya. Namun ketika ia bicara, suaranya tetap tenang dingin, bahkan.
“Kalau saya benar mandul, Bu, kenapa ibu masih merestui anak ibu menikah dengan saya? Dan soal pendidikan, pekerjaan… memangnya ibu tahu apa tentang perjuangan saya?”
“Diva” Arman mencoba lagi, tapi Diva menoleh padanya, tatapannya tajam dan terluka.
“Kamu diam dulu, Man.”
Ia kembali memandang Bu Susan.
“Saya datang bukan untuk minta diterima. Saya datang untuk menegaskan bahwa saya tidak akan rela dimadu. Ibu boleh hina saya… tapi jangan salahkan saya kalau saya memperjuangkan rumah tangga saya dengan cara saya.”
Raya menunduk, tidak berani menatap Diva. Arini menitikkan air mata, perlahan mendekat ke arah Diva.
“Cukup Bu, jangan makin hancurkan keluarga ini,” lirih Arini.
Diva menarik napas panjang. “Saya nggak akan tinggal lama. Tapi ibu harus tahu, saya tidak akan mundur semudah itu.”
Arman berdiri terpaku, tubuhnya kaku, napasnya berat. Kata-kata ibunya tadi masih terngiang di telinganya, menghantam keras seperti badai“mandul, pembawa sial, cuma lulusan SMA.”
Ia menatap Diva yang masih berdiri tegar meski luka itu begitu jelas di matanya. Lalu matanya beralih ke ibunya, yang masih terlihat marah, dan kemudian ke Raya yang tampak canggung, menunduk sambil menggenggam jemarinya sendiri.
Arman tidak berkata apa-apa.
Hatinya penuh… tapi mulutnya seakan terkunci.
Ia tahu jika ia membela Diva, ibunya akan merasa dikhianati. Tapi jika ia diam saja, ia sedang menghancurkan perempuan yang sudah ia nikahi yang pernah ia janjikan untuk lindungi.
"Arman!" bentak Bu Susan, kesal melihat anaknya hanya terdiam. "Kamu nggak lihat dia itu kurang ajar? Dia nggak pantas jadi istrimu!"
Arman menoleh perlahan, suaranya akhirnya keluar pelan dan berat.
“Bu... cukup.”
Suasana langsung hening.
“Arman ” bu Susan hendak membalas, tapi Arman menatapnya dalam.
“Saya nggak mau ada yang tersakiti di rumah ini. Tapi saya juga nggak bisa pura-pura seolah semua baik-baik saja.”
Ia menoleh pada Diva, bibirnya gemetar. “Aku minta maaf, Div. Harusnya aku melindungimu. Tapi aku… aku nggak tahu harus pilih siapa. Kamu istriku, tapi Ibu juga…”
Diva mengangguk kecil, seolah sudah tahu akan sampai di titik ini. “Itu masalahnya, Man. Karena kamu berpikir harus memilih. Padahal yang seharusnya kamu lakukan... adalah bersikap adil dan tegas.”
Arman tertunduk.
Raya menahan napas, ia tahu kehadirannya kini tak lagi nyaman.
Dan Arini, yang sedari tadi menyaksikan semua dengan hati perih, hanya bisa menutup wajahnya, menangis dalam diam.
Setelah Diva pergi meninggalkan rumah dengan langkah mantap dan dingin, meninggalkan jejak luka yang dalam di ruang tamu yang kini sunyi, Arman dan Raya duduk berdua di teras. Matahari mulai tenggelam, menyisakan cahaya temaram yang menciptakan bayang-bayang di wajah mereka.
Raya membuka pembicaraan lebih dulu, suaranya lirih namun tegas.
“Man… aku tahu semua ini rumit. Tapi satu hal yang aku yakin, perasaanku ke kamu… nggak pernah berubah. Aku masih mencintaimu.”
Arman hanya menunduk, menggenggam kedua tangannya, berusaha mengatur napas dan hatinya yang bercabang.
“Aku nggak mau kehilangan kamu, Man,” lanjut Raya, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau memang harus menikah siri, aku nggak apa-apa. Yang penting aku bisa tetap di sisimu. Aku tahu kamu juga masih punya rasa itu, iya kan?”
Arman menatapnya. Dalam hatinya ada suara kecil yang mengiyakan, bahwa ada bagian dari dirinya yang masih tertambat di masa lalu itu pada Raya. Tapi bersamaan dengan itu, ada rasa bersalah yang terus menghantui.
“Ray… aku nggak tahu keputusan ini benar atau salah,” ucap Arman pelan. “Aku nggak mau menyakiti siapa pun. Tapi semua ini seperti lingkaran yang makin kusut.”
Raya meraih tangan Arman, menggenggamnya erat. “Kalau kamu takut, aku akan tetap di belakangmu. Yang penting kita bisa bersama.”
Arman diam. Hatinya retak dua. Di satu sisi ada cinta lama yang menggoda untuk kembali, dan di sisi lain ada komitmen yang hampir ia hancurkan sendiri.
Di rumah kak Dira, suasana terasa hangat namun penuh keprihatinan. Diva duduk di sofa ruang keluarga, matanya sembab tapi sorotnya mulai mengeras. Kak Dira duduk di sampingnya, sementara Bang Reza berdiri bersandar di dinding, menyimak dengan raut wajah serius.
Diva menghela napas panjang, lalu mulai bicara dengan suara berat.
"Kak, Bang... aku udah berusaha. Aku nggak tinggal diam. Aku coba sabar, coba bicara baik-baik. Tapi Bu Susan tetap keras kepala, tetap pengen jodohin Arman sama masa lalunya. Katanya cuma nikah siri, katanya demi kebahagiaan dia..."
Ia menunduk, menahan air mata yang kembali ingin jatuh.
"Aku harus gimana, Kak? Rasa-rasanya sia-sia... kalau Arman aja nggak bisa tegas. Dia bilang sayang, tapi diam waktu aku dihina, waktu aku dihadapkan sama perempuan lain di rumahku sendiri."
Kak Dira meraih tangan Diva, menggenggamnya erat.
"Div, kamu nggak salah. Kamu udah berjuang. Tapi rumah tangga itu nggak bisa kamu pertahankan sendirian. Harus dua-duanya."
Bang Reza yang sejak tadi diam pun akhirnya bicara, nadanya tenang tapi tegas.
"Aku cuma mau kamu bahagia, Div. Tapi kalau kamu terus dipaksa bertahan dengan rasa sakit, kamu juga harus tahu kapan harus melindungi diri sendiri."
Diva mengangguk perlahan. Hatinya masih remuk, tapi perlahan mulai membangun kekuatan dari serpihan-serpihan kecewa.