Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warna di Balik Luka dan Tawa
Cindi masuk dengan langkah percaya diri dan rambut yang dicepol setengah, seperti biasa. Duduk di hadapan Pak Arkan, dia langsung berkata, "Pak, siap-siap, cerita masa laluku ini kayak drama Korea, tapi dibumbui tawa ala stand-up!"
Pak Arkan tertawa, "Aku siap. Ceritakan, Cindi."
"Dari kecil aku suka mainin alat make-up Ibu. Bedak bayi aku jadiin blush on, lipstik Ibu aku pakai buat mewarnai bibir boneka. Bahkan aku pernah make-up-in ayam peliharaan Pakde biar cantik kayak di iklan. Akhirnya, ayamnya nggak dikenali dan dilepas ke hutan."
Pak Arkan tertawa terbahak, "Serius itu?"
"Iya, Pak. Dan aku dihukum nggak boleh masuk dapur seminggu! Tapi itu awal aku sadar, aku suka make-up, seni, dan keindahan wajah manusia."
Kemudian wajah Cindi berubah sedikit sendu.
"Tapi orang tuaku, apalagi Ayah, selalu bilang itu cuma main-main. 'Kamu mau jadi tukang bedak? Nggak ada masa depan!' katanya. Mereka maunya aku jadi guru, kerja aman dan tetap. Aku sering menangis malam-malam sambil nonton tutorial make-up dari YouTube pakai kuota curian Wi-Fi tetangga."
Pak Arkan menahan tawa dan simpati.
"Tapi aku nggak menyerah. Aku mulai latihan make-up ke adikku, kadang ke teman-teman. Bahkan aku pernah jadi tukang make-up pas karnaval RT, dan aku jadi viral gara-gara salah make-up satu ibu-ibu, wajahnya jadi mirip karakter film hantu Jepang. Viral karena ketakutan, bukan pujian."
"Tapi dari situ banyak yang tahu aku bisa make-up. Aku mulai dapat pesanan. Dari acara lamaran, prewedding, sampai syuting video TikTok. Aku bahkan pernah dandanin dua cowok buat cosplay jadi Elsa dan Anna. Hasilnya? Mereka nangis karena bulu mata palsunya copot kena angin."
Pak Arkan tertawa keras, sampai matanya berkaca.
"Cindi, kamu berbakat. Dan kamu punya mental pejuang. Orang-orang kayak kamu ini yang bakal jadi inspirasi."
Cindi tersenyum lebar. "Terima kasih, Pak. Aku nggak nyangka cerita hidupku bisa jadi lucu dan menyentuh juga."
"Itulah hidup, Cindi. Di balik luka, selalu ada warna. Dan kamu mewarnai dunia dengan caramu."
Saat keluar dari ruang guru, teman-teman langsung menyambut Cindi.
"Gimana, Cin? Curhat atau konten stand-up comedy?" kata Deri.
"Dua-duanya. Tapi besok, aku yang make-up-in kamu pas lomba ya, biar kamu tampil glowing kayak tokoh drama Turki!" jawab Cindi.
Tawa pun pecah mendengar cerita cindi.
...----------------...
Lia menjadi murid berikutnya yang dipanggil maju kedepan. Ia melangkah dengan ragu, melihat Pak Arkan duduk di meja guru dengan posisi tangannya menyilang seperti detektif senior, lengkap dengan sorotan lampu belajar yang diarahkan ke wajah Lia.
"Lia... duduklah. Ceritakan masa lalu bahagiamu... dan masa lalu kelam mu," kata Pak Arkan dengan nada serius, tapi malah terdengar seperti dalang pentas horor.
Lia menatap sekeliling. "Pak... kenapa saya merasa seperti akan dihipnotis atau diinterogasi karena kesurupan, ya?"
"Anggap saja kamu sedang jadi bintang tamu acara 'Misteri Masa Lalu'," jawab Pak Arkan sambil menahan tawa.
Lia pun duduk, menarik napas dalam-dalam. "Baiklah... masa lalu bahagia saya itu waktu kecil suka tampil di pentas baca puisi. Tapi, waktu kelas 4 SD, saya pernah tampil baca puisi di acara 17-an... dan mic-nya mati. Jadi saya teriak sekencang-kencangnya biar kedengaran. Malah dikira latihan teriakan pengusiran setan."
Pak Arkan mengangguk dengan wajah sangat serius, seperti sedang mencatat kejadian penting.
"Lalu, masa lalu kelam saya..." Lia menatap ke atas, mencoba mengingat. "Saya pernah punya sahabat yang tiba-tiba menjauh tanpa alasan. Sejak itu, saya sering merasa sendiri, jadi menutup diri dan sibuk sendiri bikin adegan drama dan menatap cermin. Tapi akhirnya saya sadar, nggak semua orang bakal terus ada. Yang penting saya tetap jujur dengan diri sendiri."
Tiba-tiba, lampu belajar berkedip. Lia menjerit, "Pak! Ini beneran kayak film horor!"
Pak Arkan melirik ke saklar. "Aduh, itu kipasnya bikin short, bukan arwah penasaran, Lia. Tenang aja."
Mereka pun tertawa bersama. Dari atas meja, Reza dan Jaka yang langsung merekam momen itu, lalu menambahkan efek horor di video mereka.
"Wah, ini bisa jadi episode spesial 'Misteri Masa Lalu Lia'," ujar Reza.
"Judulnya: 'Dibacakan Puisi, Tapi Malah Dikira Kesurupan'," tambah Jaka.
Meskipun suasana sempat tegang dan nyaris konyol, Pak Arkan bisa merasakan kedalaman cerita Lia. Ia pun menepuk bahu Lia dan berkata, "Terima kasih sudah berbagi. Kamu sudah kuat sejauh ini, dan saya yakin kamu akan semakin bersinar."
Lia pun berdiri dari tempat duduknya dengan senyum lebar dan wajah lega.
Seketika teman-temannya langsung menyambut dengan gaya reporter investigasi.
"Bagaimana rasanya diinterogasi oleh Pak Arkan, detektif masa lalu?" tanya Amira sambil memegang pulpen seperti mikrofon.
Lia tertawa, "Rasanya kayak audisi sinetron misteri. Tapi menyentuh juga."
...----------------...
Kini giliran Amira masuk ke meja interogasi Pak Arkan. Lampu belajar tetap menyala dramatis, dan suasana masih seperti campuran antara ruang konseling dan set film horor low budget.
Pak Arkan menyambut dengan senyuman. "Silakan duduk, Amira. Kamu tahu pertanyaannya: masa lalu bahagia dan masa lalu kelam."
Amira menarik napas panjang. "Baik, Pak. Masa lalu bahagia saya itu... saat saya kecil, saya sering main drama-drama an bareng kucing peliharaan saya. Kucingnya jadi tokoh utama, saya yang narasiin. Bahkan saya pernah bikin pertunjukan teater untuk tetangga, semua boneka disusun, dan saya ganti-ganti suara sesuai karakter. Tapi... pas penonton datang, saya gugup dan malah muntah di depan mereka."
Pak Arkan menahan tawa. "Jadi... penontonnya dapat drama plus kejutan spesial?"
"Iya, Pak. Bonusnya aroma tidak sedap. Sejak itu saya trauma tampil di depan umum sampai SMP," jawab Amira dengan wajah pasrah.
Pak Arkan mencatat sambil terkikik.
"Nah, masa lalu kelam saya..." Amira mulai terlihat serius. "Dulu waktu SMP, saya pernah jadi korban perundungan karena suara saya yang dianggap aneh dan terlalu ekspresif. Mereka bilang saya sok drama, sok lebay. Padahal... itu cara saya mengekspresikan diri. Dari situ saya ngak mau memperdalam mi drama teater, saya lebih membuat puisi, menulis jurnal. Saya pernah dikunci di gudang sekolah hanya karena saya menang lomba puisi antar kelas. Sejak itu, saya sempat nggak mau ikut lomba apapun."
Pak Arkan terdiam sejenak, lalu berkata lembut, "Tapi sekarang kamu justru jadi salah satu yang paling percaya diri tampil, bahkan menang lomba teater tingkat kecamatan."
Amira tersenyum kecil. "Saya belajar mencintai keanehan saya sendiri, Pak. Ternyata yang dulu dianggap lebay... sekarang malah bikin saya menonjol."
Tiba-tiba suara dari luar ruangan terdengar, "Pak! Lampunya kedip-kedip lagi! Jangan-jangan arwah kucing masa lalu Amira datang!"
Itu suara Reza. Semua yang mendengar langsung tertawa, termasuk Amira.
"Reza! Ini sesi serius, bukan acara lawak!" sahut Pak Arkan, pura-pura marah.
Amira menambahkan, "Kalau arwah kucingku datang, mungkin dia cuma mau audisi teater, Pak."
Suasana menjadi hangat dan konyol. Meski masa lalunya penuh luka dan tawa yang bercampur, Amira berhasil menjadikannya bahan bakar untuk terus maju.
Pak Arkan menutup sesi dengan kalimat yang hangat, "Kamu tidak lebay, Amira. Kamu berbakat. Dunia butuh lebih banyak orang yang berani mengekspresikan diri seperti kamu."
Amira keluar dari ruangan sambil tersenyum lega. Teman-temannya menyambutnya dengan tepuk tangan seperti pemenang Oscar.
"Gimana, Mira? Masih trauma panggung?" tanya Cindi.
"Nggak lagi. Sekarang panggungnya malah di hati Pak Arkan!" jawab Amira bercanda.
Seketika semua tertawa keras.