HAPPY READING ~
Novel ini menceritakan tentang, lima saudara kembar cewek yang barbar, kompak, dan gak ada takut-takutnya! Ayesha, Aresha, Abila, Aurora, dan Arumi bukan cuma bikin heboh sekolah, tapi juga satu Cianjur! Dari nyolong mangga kepala sekolah, bolos ke Puncak, sampai ketahuan guru BK dan dihukum Babehnya, hidup mereka gak pernah sepi drama.
Tapi di balik kelakuan mereka yang selalu bikin geleng-geleng kepala, ada kisah persahabatan, keluarga, dan kenakalan khas remaja yang bikin ngakak sekaligus haru.
Siap ikut keseruan Mojang Cianjur dalam petualangan gokil mereka? Jangan lupa baca dan kasih vote!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuli Yanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Adaptasi atau Mati Gaya?
Pagi pertama di Al-Ihsan berjalan lebih lambat dari yang mereka kira. Setelah subuh, mereka harus ikut kajian pagi. Biasanya, kalau di rumah, habis subuh mereka bakal balik ke kasur masing-masing, terus baru bangun lagi kalau udah kesiangan. Tapi di sini? Boro-boro tidur lagi, mereka malah langsung digiring ke aula buat ikut kegiatan pagi.
"Anjir, udah kayak latihan militer," bisik Aurora sambil nguap.
Ayesha nyikut lengannya. "Leheng keneh, Ini mah masih mending."
"Mending nahaon?" Aurora mendelik. "Gue udah berasa kayak robot jirr."
Kegiatan pagi dimulai dengan hafalan Al-Qur'an. Para santri lain dengan lancar melafalkan ayat-ayat yang sudah mereka hafal sebelumnya. Sementara lima kembar?
Mereka cuma saling lirik-lirikan.
Aresha nyengir kecil. "Aing mah hafal... Al-Fatihah doang."
"Bagus, lamun teu hafal malah keterlaluan," bisik Abila.
Ketika tiba giliran mereka maju, Ustaz Malik melirik mereka. "Baik, siapa yang mau setor hafalan duluan?"
Lima bersaudara itu diam.
Sunyi.
Sampai akhirnya Arumi dengan santai berkata, "Bismillahirrahmanirrahim..."
Lalu hening lagi.
Ustaz Malik menaikkan alis. "Lanjutkan?"
Arumi cengar-cengir. "Eh... ayat pertama dulu, Ustaz, yang lainnya... nyusul."
Santri lain ketawa kecil, tapi cepat-cepat ditahan saat Ustaz Malik menatap tajam. "Baik. Sepertinya kalian harus mulai dari awal. Nanti sore, saya mau kalian setor surat pendek yang kalian hafal."
Lima kembaran itu cuma bisa ngangguk pasrah.
---
Setelah kajian pagi selesai, mereka dikasih waktu buat istirahat sebentar sebelum lanjut ke kelas. Begitu jam makan siang tiba, mereka berbaris rapi di depan dapur asrama buat ambil makanan.
Aresha melirik ke piring santri lain yang udah lebih dulu ambil makanan. "Anjir, porsinya dikit banget."
"Bersyukur geus untung arurang di bere emam ge,"
ujar Abila.
Ayesha nyengir. "Jangan bandingin sama di rumah. Di sini lo harus belajar makan seperlunya."
Pas mereka sampai di meja makan, Abila melihat ada peraturan tertempel di dinding. Isi peraturan itu adalah “Dilarang berbicara saat makan. Harus dihabiskan.”
Aurora mendesis. "Lah, mana asiknya makan kalau nggak bisa ngobrol?"
"Telen dulu, karek ngomong," kata Arumi.
Mereka makan dengan kecepatan masing-masing. Aresha dan Aurora jelas yang paling males, sementara Ayesha dan Abila lebih fokus buat menyelesaikan makan mereka tanpa banyak protes.
Pas lagi asik makan, tiba-tiba seorang santri senior datang menghampiri mereka. Lagi-lagi, Kak Farah.
"Kalian masih adaptasi, ya?" tanyanya.
Aresha ngunyah pelan, lalu balas, "Iya, Kak. Lagi coba bertahan ini."
Kak Farah tersenyum tipis. "Bagus. Tapi hati-hati, di sini aturan lebih ketat dari yang kalian kira. Kalau ada yang melanggar..." Dia sengaja menggantungkan kalimatnya.
Aurora berbisik ke Abila, "Aing mah panasaran, seketat apa sih?"
Dan seperti jawaban dari pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar suara keras dari dapur.
BRAKK!
Semua santri menoleh.
Seorang santri laki-laki tampak berdiri kaku di depan salah satu ustadz, wajahnya pucat. Di lantai, ada nampan makanan yang jatuh, isinya berserakan.
Ustadz yang berdiri di depannya menatap tajam. "Siapa yang menyuruhmu membawa makanan ke kamar?"
Santri itu menunduk, gak berani ngomong.
Semua santri yang lain hanya diam, gak ada yang berani ikut campur.
Aresha menelan ludah. "Oke, ayenamah arurang beneran harus kalem dulu."
---
Setelah sehari penuh adaptasi yang bikin stres, mereka akhirnya bisa balik ke kamar. Tapi masalahnya, kamar itu lebih terasa kayak sel tahanan dibanding tempat istirahat.
Arumi menjatuhkan diri ke kasur. "Aing mah kangen kasur rumah."
"Kita semua kangen," kata Ayesha.
Abila duduk di pinggir ranjang, matanya menerawang. "Arurang teh beneran bisa betah di sini, nggak, sih?"
Suasana kamar jadi hening.
Mereka belum tahu jawabannya. Tapi satu hal yang pasti—ini baru awal dari perjalanan panjang mereka di Al-Ihsan.
Dan petualangan baru masih akan berlanjut...