Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdebar
Setalah merasa tenang dan badan bersih. Aku melihat papar bag belanjaan yang entah bagaimana caranya ada di rumah.
Aku mengambil satu persatu dan membawa semuanya naik ke atas menuju kamar Alan.
"Mau saya bantu bawa gak, neng?" tanya Marni, salah satu ART di rumah ini.
"Gak usah, Mba. Aku bisa sendiri."
Perempuan paruh baya itu hanya mengangguk sebelum dia kembali pergi.
Kini aku berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Beberapa kali mengetuk tapi tidak ada jawaban. Mungkin dia belum kembali dari tempat kami tadi pergi.
Terkejut bukan main saat berbalik hendak kembali ke bawah, rupanya Alan sudah berada di belakangku.
"Ada apa?" tanyanya.
Setiap menatap matanya, aku seakan terhipnotis dan tidak bisa melakukan apapun. Alan melirik paper bag yang aku simpan di depan pintu kamarnya.
"Kamu pikir saya bisa memakai pakaian itu?"
"Tapi aku juga gak mau nerima."
"Buang saja kalau begitu."
"Tapi kan sayang, itu dibeli pakai uang."
"Pakailah!"
"Gak mau."
"Karena?"
"Itu kak Alan yang kasih."
"Konyol," ujarnya sambil melewatiku. Dia menyingkirkan paper bag itu dengan kakinya agar dia bisa masuk ke kamar.
Aku menghela nafas panjang. Berusaha untuk menenangkan diri. Toh cape juga rasanya menangis selama tadi. Aku tidak ingin menghabiskan sisa tenaga yang ada.
Bodo amat lah. Kalau memang mau dibuang, ya buang aja sendiri.
Baru beberapa langkah, pintu kamar Alan terbuka.
"Ada alasan kenapa mereka harus tau kalau kita bukan sodara kandung," ucapnya lalu kembali menutup pintu.
"Aku ngerti kok, Kak. Gak apa-apa. Lagian cepat atau lambat mereka pasti tau kalau aku ini hanya anak pungut." aku sedikit berteriak agar Alan yang di dalam sana bisa mendengar.
"Lagi pula aku punya Abang yang tidak pernah mempermasalahkan hal ini sama sekali. Itu sudah cukup."
Hening.
Rasanya plong mengatakan hal itu pada Alan. Meski alasannya apa, aku tidak mengerti.
Menuruni anak tangga satu demi satu. Melihat dengan secara detail kemewahan rumah yang menjadi tempat bernaung selama ini. Foto-foto dan lukisan bertengger menghiasi dinding dengan sangat cantik.
Bibirku tersenyum getir karena dari sekian banyaknya foto keluarga, tidak ada aku di salah satu pun. Tak apa, wajar bukan?
Tidak ada yang tidak baik di keluarga ini, aku mengerti dan sangat tau. Bukan pula aku tidak bersyukur, hanya saja hatiku sangat hampa.
Bahkan aku sempat berpikir jika mereka mengadopsiku hanya demi kesehatan mental mama Lusy. Ah, sungguh kejam bukan pikiranku ini.
Kembali masuk ke dalam kamar. Mencoba memejamkan mata meski sangat sulit karena terlalu berisiknya kepalaku ini.
Rutinitas pagi seperti biasanya. Bangun, bersiap untuk ke sekolah. Sarapan, lalu berangkat di antar Bryan.
Sesampainya di sekolah, mood ku belum juga membaik. Hanya sekedar say hai, dan ya sudah. Selebihnya memilih untuk diam.
Teman-teman ku mungkin merasa aneh, mereka tau aku sedang tidak baik-baik saja. Namun, mereka pun tahu jika aku sedang seperti ini tidak bertanya adalah salah satu dukungan untukku.
Kejahilan Rahes pun tidak aku hiraukan. Biarkan saja dia memainkan rambutku sesukanya. Menggoyangkan kursi terus menerus, bahkan sesekali melempar gulungan kertas kecil seperti kelereng pada kepalaku.
"Ra, sepi banget ini. Ayo dong berantem."
Berkali-kali Rahes mengajak berbicara, tapi aku sama sekali tidak tertarik.
"Permisi anak-anak." wali kelas kami masuk. Aku yang sedang asik tiduran, segera merapikan posisi duduk.
"Hari ini ibu akan memperkenalkan kalian pada guru baru."
"Pak Rayan yang kemarin baru masuk, diganti lagi, Bu?" tanya Jaka.
"Bukan. Ini guru seni kita."
"Oh, kirain baru masuk udah keluar lagi."
"Monggo, Pak. Silakan masuk."
Kata kami semua tertuju pada titik yang sama. pintu kelas. Muncul dari sana seorang pria dengan perawakan yang tinggi, keren dan ...
Ada apa denganku? Kenapa tiba-tiba dadaku terasa lemah melihat orang itu.
"Mangga pak perkenalkan diri."
"Baik, Bu. Terimakasih. Selamat siang anak-anak, perkenalkan nama saya Galih. Mulai hari ini saya akan mengajarkan kesenian pada kalian semua. Terimakasih."
Prok prok prok.
"Oke, hanya itu saja pengumuman dari ibu. Kalian jangan berisik ya, tetap di kelas meski guru gak ada."
"iya, Buuuuu." kompak.
Guru seni yang baru memindai semua anak-anak yang ada di kelas, hingga tatapan kami bertemu.
Deg!
Dia tersenyum padaku.
Dia senyum? Sama aku doang? Eh, kenapa?
Ayumi menyikut tanganku seraya berbisik, "dia senyum sama Lo, Ra. Jangan-jangan dia suka lagi sama Lo."
"Ngarang!"
"Jangan mau, Ra. Udah tua. Mending sama gue aja kan ya?" Rahes ikut nimbrung.
"Ogah!"
Aku kembali menelungkup kan wajah di atas meja. Sudah beberapa menit ini guru yang seharusnya masuk tak kunjung datang.
"Eh, meli. Buruan susulin ke kantor, ngapain dih diem aja."
"Udah, tapi pak Roni nya gak ada. Tau ke mana."
Anak-anak mulai ramai karena pak Roni tak kunjung datang dan tak ada kabar berita.
Dalam hitungan menit kemudian, kelas menjadi riuh. Ada yang bergosip tentang guru baru tadi. Ada yang sedang acting menggelar resepsi pernikahan. Ada juga yang sedang berusaha melakukan RJP ala-ala.
Ramai sekali kelakuan teman-temanku.
Ponselku bergetar.
[Aku jemput ya, Nyil] nomor tidak dikenal
"Siapa ini ngirim wa?"
"Kenapa, Ra?" tanya Hilda.
"Ini ada wa masuk mau jemput aku katanya, tapi gak tau siapa."
"Ya palingan temen kakak kamu atau siapa gitu. Gak mungkin orang gak dikenal tiba-tiba bilang mau jemput."
"Benar juga, sih. Tapi siapa ya?"
Aku kembali melihat pesan tersebut dan terus berpikir siapa pengirimnya.
"Ah, iya. Ini pasti kak Yoon. Kan cuma dia yang manggil aku Unyil," gumamku.
[Loh, kok bisa kak Yoon yang jemput aku. Disuruh Abang, ya?]
[Bukan. Alan yang minta]
[Kak Alan?]
[Bang Bryan gak bisa jemput kamu, Alan takut kalau dia yang jemput kamu nya gak mau.]
[Gak mau kenapa? Biasa aja kok.]
[Tau deh. Kamu bubar jam berapa?]
[Jam 13.30, Kak.]
[Oke.]
"Udah tau siapa yang wa?" tanya Ayumi.
"Iya, temen kakak gue."
"Iya kan. Gak mungkin ujug-ujug nge chat mau jemput kalau gak kenal. Eh, kenalin dong sama temen kakak Lo, ganteng gak?"
"Nggak. Dia kayak tepung beras kanji. Jangan pokoknya. Masih ganteng kakak-kakak gue."
"Ya udah kenalin sama kakak Lo aja."
"Gue ogah punya ipar macam kalian berdua."
"Sialan!"