NovelToon NovelToon
Dijebak Ratu Dari Dunia Lain

Dijebak Ratu Dari Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Spiritual / Budidaya dan Peningkatan / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Ilmu Kanuragan / Summon
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kang Sapu

"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 17

Ishika yang sedari tadi menatap wajah gurunya, nampak penasaran dengan sosok yang ia ceritakan. Apa sebenarnya Gandhara itu.

"Yah... mungkin bisa dibilang seperti manusia yang menjelma menjadi sosok iblis setelah salah mengaplikasikan ilmu kanuragannya."

"Memang benar ada seperti itu ya? Aku baru dengar, Guru," timpalnya setelah menyesap teh yang ada di tangannya.

"Yang paling penting, kau selamat dari serangan iblis itu... dan bagaimana dengan Lingga?"

Ishika duduk perlahan, memegang teh itu dengan tangan gemetar. "Aku rasa Lingga tidak selamat. Dia langsung terkapar saat makhluk itu menghantam tubuhnya. Aku hanya melihat darah dan suara daging yang robek."

Lira menatap lekat-lekat muridnya. Untuk beberapa detik, ruangan itu hanya dipenuhi suara denting teko dan desir angin dari sela-sela jendela.

"Aku bersyukur kau tak kenapa-kenapa," ucap Lira akhirnya. "Yang penting... kau selamat dan tak diburu oleh pendekar itu."

"Lingga... jika ia memang manusia biasa, ia tak mungkin bertahan dari serangan makhluk itu," sambung Ishika, meyakinkan. "Aku nyaris berkonfrontasi dengan pendekar itu, Guru. Tapi aku berhasil kabur."

Lira mengangguk pelan. "Baik. Besok pagi, aku akan melaporkan kejadian ini langsung pada Ratu Kadita. Jika Lingga sudah mati, maka satu masalah besar telah selesai.'

Ishika berdiri dan membungkuk dalam-dalam. “Kalau begitu, saya pamit, Guru.”

"Beristirahatlah. Kau sudah melewati malam yang panjang."

Ishika melompat ke luar jendela dan lenyap dalam gelap malam, kembali ke kamarnya di sayap barat istana.

Lira menutup kembali jendela dan berjalan perlahan ke sudut ruangan, duduk di kursi rotan tua yang berlapis kain ungu gelap. Ia menatap kosong ke dalam cangkir teh yang belum ia sentuh. Bayangan cahaya lilin bergetar di permukaan teh itu, seperti cerminan pikirannya yang tak tenang.

"Apa benar Lingga sudah... mati?"

Ia memejamkan mata, mencoba mempercayai ucapan muridnya.

"Tapi... kenapa aku merasa ada yang janggal?"

Lira menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan.

"Tidak. Dia manusia. Sama lemahnya dengan manusia-manusia yang kupanggil dari dunia itu sebelumnya. Tak mungkin dia bisa bertahan..."

Namun, jauh di dalam benaknya, sebuah suara kecil terus berbisik—membisikkan ketakutan yang tak ingin ia akui.

Tapi, bagaimana jika Lingga… berbeda?

*

Di bawah langit kelam tanpa bintang, hanya suara sayup nyanyian serangga malam yang terdengar di sekitar Lingga. Tubuhnya berdiri tegak di tengah bekas area pertempuran yang kini sepi, diterangi cahaya purnama yang pucat.

Lingga menatap sobekan besar di bagian punggung jubahnya, yang tadinya merupakan pakaian penyihir mewah dari ruang harta kerajaan bawah tanah. Ia menghela napas, lalu bergumam lirih.

"Duh, sayang banget... jubah ini bahkan belum sempat kupakai dua hari. Sekarang sudah seperti gombalan kain pel…"

Ia mendecak pelan, tapi sorot matanya cepat berpaling pada sesuatu yang lebih penting yakni jasad makhluk besar yang kini tergeletak tak bernyawa hanya beberapa langkah darinya.

Jasad Gandhara.

Sosok tinggi, berkulit kemerahan, bertanduk, dengan cakar dan gigi runcing yang masih meneteskan darah. Wujudnya membatu dalam kematian, namun hawa kekuatan yang ia tinggalkan masih terasa jelas di udara.

Lingga mendekat, langkahnya berat namun pasti. Setiap langkah terasa seperti menginjak jejak misteri yang lebih besar.

"Apa... sekarang ini sudah saatnya?" gumamnya lirih. "Aku bisa menyerap kekuatannya... tapi…"

Ia menggigit bibir, menatap cincin hitam berornamen ungu di jarinya, Cincin Pengekang Tujuh Jiwa.

Terbayang wajah Bethari Syaidra dalam pikirannya. Suaranya menggema di dalam benak Lingga. "Kau hanya bisa menyerap tujuh jiwa dalam hidupmu, Lingga. Pilih dengan bijak... sekali masuk, tak bisa diganti."

Lingga menghela napas dalam.

"Tujuh... hanya tujuh. Dan ini mungkin... akan jadi yang pertama." Ia menunduk, perang batin tercermin jelas di wajahnya. "Tapi kalau makhluk ini sekuat itu, bisa mengoyak punggungku hanya dalam dua serangan… maka kekuatannya tak bisa diremehkan dan layak untuk kuserap."

Ia menengadah menatap bulan.

"Lagi pula, aku nyaris mati hari ini. Kalau bukan karena sosok lain membunuhnya lebih dulu... mungkin aku sudah jadi mayat!"

Dengan tekad bulat, ia berdiri tegak di samping jasad Gandhara. Cincin di jarinya mulai memancarkan cahaya samar.

"Baiklah. Kita coba… aku tak berharap banyak. Semoga saja berhasil..."

Lingga memfokuskan pikirannya, mengarahkan ujung matanya yang kini menyatu dengan cincin itu ke jasad Gandhara.

Krik, krik, krik

Tidak ada yang terjadi.

"Hah? Kenapa gak terjadi apa-apa?" Ia mengerutkan dahi. "Apa... kekuatan ini hanya bisa aktif kalau Syaidra ada di dekatku? Atau... ada yang salah dalam prosesnya?"

Tapi ia cepat mengingat ucapan Syaidra yang lain. "Jika kau memang percaya pada instingmu, kekuatan itu akan secara naluriah mematuhimu."

Lingga mengepalkan tangan, menarik napas dalam dan kembali memusatkan konsentrasi.

"Fokus, Lingga... Fokus…"

Wush!

Kali ini, cincin bergetar pelan. Cahaya keunguan mulai menari dari permukaan batu cincin, seperti sulur cahaya yang menjalar pelan ke arah jasad Gandhara. Perlahan, cahaya berpendar itu menyelimuti tubuh besar makhluk menyeramkan itu.

Lingga mengangkat tangan kanannya.

"Bangkitlah... wahai jiwa makhluk yang kuat. Bantu aku dan turuti perintahku!"

Cahaya chakra keunguan menyala lebih terang, membentuk jalur energi yang menyentuh dada Gandhara. Dari luka yang menganga, asap tipis kebiruan perlahan muncul, lalu semakin padat, membentuk siluet tubuh Gandhara dalam wujud jiwa.

Sosok itu melayang di atas jasadnya dengan matanya kosong, tubuhnya transparan namun berwujud.

Lingga menatapnya takjub, hampir tak percaya.

"Berhasil… aku benar-benar berhasil," bisiknya.

Namun, mendadak, tubuh jiwa Gandhara mulai bergetar hebat. Wujudnya bergelombang, seakan tak stabil. Matanya mulai meredup, dan bagian tubuhnya mulai lenyap perlahan.

"Tidak…!" seru Lingga. "Jangan menghilang!"

Ia panik. Dalam sekejap, ia mengarahkan cincin ke arah jiwa yang mulai memudar dan meneriakkan kata-kata acak dari dalam pikirannya.

"Wahai makhluk kuat… masuklah ke dalam cincinku!"

Kilatan ungu meledak dari cincin, menyelimuti jiwa Gandhara. Suara raungan tak bersuara menggema, lalu—shhhkk!—sosok jiwa itu terserap sepenuhnya ke dalam cincin, meninggalkan bayangan samar di udara dan keheningan mencekam.

Lingga terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas. Ia terengah-engah, keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Cahaya cincin meredup, tapi batu di tengahnya kini bersinar redup, seperti menandakan adanya "penghuni" baru.

"...akhirnya..." desah Lingga. "Aku mendapatkan...kekuatan pertama…"

Ia menatap langit malam dari atas tanah berbatu, dadanya naik turun tak beraturan. Sesekali ia memandang cincin yang terpasang di jemarinya.

"Kalau kekuatan ini bisa kugunakan dengan benar… aku mungkin punya harapan untuk bisa bertahan hidup di dunia ini."

Lalu, ia menutup mata perlahan.

"Mungkin aku akan istirahat sebentar… sebelum aku memanggilnya..."

Suara angin kembali terdengar, membawa debu dan harapan samar tentang kekuatan baru yang telah Lingga miliki—kekuatan yang bisa jadi anugerah... atau kutukan.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!