Tawanan Ranjang Duke Kejam

...Sebelumnya, Nuah sarankan untuk kalian baca dulu karya Nuah sebelumnya yang berjudul “Kembalinya Duchess Kejam.” Mau lompat langsung ke season dua juga tidak apa-apa. Soalnya, ini kita mau bahas langsung lompat kisah Eleanor sama Alice....

.

.

Jedaaar!

“Haaa… haa… Astaga,” seorang wanita cantik terbangun dari tidurnya, wajahnya pucat pasi. Suara petir yang menyambar itu membuat hatinya gelisah.

“Sayang…” Suara pria terbangun di sampingnya dan memeluk perut rampingnya. Ini sudah 40 tahun usia pernikahan mereka, namun jangan ditanya untuk urusan bucin.

“Akan kugigit bila terus seperti ini! Sayang, bangun!” rengek wanita itu memukul tangan yang melingkari perutnya.

“Jangan gigit, sayang. Diumut saja.” Bibir pria itu maju mengecup kedua pipi sang istri.

“Astaga! Izakel!!!” gertak wanita itu yang tak lain dan tak bukan adalah Eleanor.

“Ampun, ampun, istriku marah rupanya. Ada apa, Hem?” Izakel, sang pemimpin menara sihir, akhirnya bangkit dari tidurnya, memeluk tubuh istrinya yang terlihat gelisah.

“Boleh lihat dimensi lain tidak? Aku merasa ada yang salah sekarang. Aku merasa seseorang sedang dalam bahaya,” ucap Eleanor memutar tangannya di atas dada sang suami.

“Boleh, bayarannya dulu…” rengek Izakel dengan manjanya. Eleanor menepuk keningnya dan mengecup bibir Izakel sekilas.

“Kurang,” Izakel cemberut. Pria dengan rambut hitam panjang dan mata biru itu nampak merengek meminta tambahan.

“Sayangku, ingat aku selalu memberikan yang kamu inginkan, ya... tapi saat ini aku sedang dalam keadaan genting. Bisa mengerti, kan, Hem?” Eleanor mengecup lagi bibir suaminya.

“Hoaam, baiklah…” Izakel bangkit dari tidurnya dan nampak seolah meregangkan tubuhnya. Mata birunya seolah menyala dan tangannya mengukir lingkaran sihir yang rumit. Tulisan-tulisan kuno nampak terbentuk.

“Tolong! Aaaa…!” Itulah penglihatan Eleanor saat itu, entahlah dari dunia yang ditinggalkan Eleanor sebelumnya. Dia rela meninggalkan semua kekuasaan yang dia miliki, namun dia tetap merindukan sosok sahabatnya yang sering kali kesulitan, dia adalah Alice Norin. Sahabat masa kecil Eleanor saat di panti asuhan dan saat mereka kena usir akibat tanah panti itu menjadi lahan sengketa.

“Alice!” Eleanor mengulurkan tangannya. Merasa bila sang istri khawatir dengan keselamatan sosok yang dilihatnya, alhasil Izakel mengerahkan sihirnya agar tidak membuat Alice tenggelam.

Ya, saat itu tengah ada syuting reality show, dan Alice harus memanjat tebing di sebuah pantai. Sayang sekali, tali pengaman yang dikenakan Alice mengalami kerusakan dan menyebabkan Alice terjun bebas dari ketinggian.

“Terima kasih, sayang,” bisik Eleanor mengecup pipi suaminya yang sudah menyelamatkan sahabatnya itu.

“Hem, hanya itu?” tanya Izakel kembali menggoda istrinya.

“Ayolah, sayang, kita sedang fokus dulu.” Eleanor mencubit hidung mancung suaminya.

“Baiklah,” Izakel menempelkan dagunya di atas pundak sang istri. Izakel menatap pantai yang ditempati oleh Alice.

“Bukankah itu sarang naga es?” tanya Izakel pada dirinya sendiri. Dirinya amat yakin. Naga es kini masih tertidur di sebuah gunung yang berada di daerah Corvin, namun bagaimana bisa naga es nyasar ke sana?

“Sepertinya takdir temanmu itu bagus, sayang,” bisik Izakel mengecup leher sang istri.

“Apa itu naga es dalam legenda, suamiku?” tanya Eleanor menatap sebuah tulang, sedangkan di mata Alice itu bukanlah tulang melainkan batu.

Alice nampak menyukainya dan memasukkan benda itu ke dalam sakunya, tanpa dia ketahui bila dalam tulang itu tertidur jiwa naga yang begitu agung.

“Begitulah. Sepertinya aku mengerti mengapa dia berada di sana. Sayang, dia akan baik-baik saja, dan bila memang dia mengalami hal menakutkan sekalipun, jiwanya akan terlempar ke dunia di mana jiwa dan tubuh naga berada,” ucap Izakel. Eleanor tersenyum dan mengecup bibir suaminya.

“Sudah puas, Hem?” tanya Izakel menutup penglihatan dimensi itu.

Ya, kemampuan Izakel memang bukan kaleng-kaleng, bukan sekadar dapat melihat sisi dimensi dunia lain, namun dia juga dapat pergi ke dimensi yang dirinya inginkan.

Dan itulah mengapa kini usia Izakel sudah ratusan tahun. Izakel pasti bisa hidup ribuan tahun lagi, asalkan bersama Eleanor. Namun bila tanpa Eleanor, tampaknya kehidupan Izakel juga akan hancur.

Dua tahun setelah kejadian tersebut, Izakel dan Alice saat itu masih bersantai di sebuah gunung yang begitu aktif. Penduduk di sekitar gunung tersebut nampak kesulitan melakukan evakuasi.

Izakel menatap Alice yang sudah menyiapkan rune pelindung. Para warga terselamatkan dan mereka cukup berterima kasih pada pihak menara sihir.

Selama ini, menara sihir memang terkesan acuh tak acuh pada kehidupan manusia. Mau ada bencana alam, musibah, atau perang besar sekalipun, biasanya pihak menara sihir akan memilih bungkam dan enggan ikut campur.

Namun, setelah sang pemimpin menara sihir menikah, semuanya mulai berubah. Termasuk keterlibatan menara sihir dalam menolong mereka yang kesulitan dan membutuhkan.

Bahkan Eleanor yang tahu harga-harga cairan sihir yang berada di gudang menara sihir pernah menjadikan cairan itu sebagai obat dalam jumlah banyak.

Padahal, Izakel sudah beberapa kali menekankan bila bila harga satu tetes cairan sihir itu hampir setara dengan dua peti berlian. Namun, Eleanor tidak pernah ragu menggunakannya.

Di tengah hiruk-pikuk evakuasi, di bawah langit yang diselimuti debu dan awan kelam, Eleanor berdiri dengan anggun mengenakan jubah kebesarannya. Dalam genggaman tangannya, sebuah vial kecil berisi cairan sihir berkilauan. Tanpa ragu, ia membuka tutupnya, lalu meneteskan setetes ke tanah yang mulai retak. Cahaya lembut menyebar, memperkuat tanah, mencegah longsoran besar yang hampir menelan puluhan warga.

Orang-orang hanya bisa memandang takjub. Mereka tahu, satu tetes cairan itu lebih berharga daripada seluruh kekayaan desa mereka.

"Saya, Eleanor dari Astria, hadir bukan untuk menuntut balasan," ucap Eleanor dengan suara tenang namun berwibawa. "Saya percaya, setiap jiwa yang bernafas di dunia ini layak untuk dipertahankan."

Ia kemudian berjalan perlahan mendekati seorang anak kecil yang terjatuh dan mengalami luka di kakinya. Dengan penuh kehati-hatian, Eleanor berlutut di hadapan anak tersebut, sebuah tindakan yang membuat seluruh warga terdiam. Ia menuangkan setetes cairan ke atas luka sang anak, dan seketika luka itu sembuh sempurna.

Anak kecil itu menatap Eleanor dengan mata penuh rasa kagum dan takut. Eleanor, tetap menjaga sikapnya yang formal, tersenyum tipis, lalu dengan lembut mengusap kepala sang anak.

"Beranilah," bisiknya, "karena keberanian kecilmu hari ini telah memberi saya semangat."

Isak haru terdengar pelan di antara para warga. Beberapa dari mereka secara spontan berlutut, tak sanggup menahan rasa syukur mereka.

Seorang tetua desa melangkah maju dengan gemetar, lalu bersujud dalam-dalam di hadapan Eleanor.

"Duchess... kami tidak akan mampu membalas kebaikan ini," suaranya bergetar menahan emosi. Eleanor menatap mereka semua dengan penuh ketegasan dan kelembutan sekaligus, lalu berbicara.

"Saya tidak meminta balasan apa pun. Jagalah satu sama lain, itu sudah cukup bagi saya." Ketulusan yang terpancar dari setiap perkataan dan tindakannya membuat para warga semakin menghormatinya, bukan karena rasa takut, melainkan karena penghargaan yang tulus.

Berita tentang keteladanan Eleanor segera tersebar hingga ke penjuru negeri. Para bangsawan dan penyihir agung, yang sebelumnya terkenal acuh, perlahan mulai mengikuti jejaknya. Eleanor Von Astria tidak hanya menjadi sosok penyihir agung yang disegani, melainkan juga simbol harapan dan perubahan bagi dunia.