Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 | Sepi
Seperti apa suasana Kota Langsa di sore hari? Sangat padat, tidak dengan dengan mobil, tetapi padat dengan sepeda motor—atau di Langsa biasa disebut kereta.
Masyarakat Kota Langsa memiliki kebiasaan berjalan-jalan sore dengan motor, menikmati suasana sore. Meski begitu, Langsa hampir tidak pernah macet.
Tapi Fara, ia tampak tak berniat untuk berjalan-jalan. Begitu Filano kuningnya melaju keluar dari kantor, Fara langsung mengarahkan motornya menuju gerbang komplek—yang kebetulan keberadaan kantor dan kompleknya sangat dekat. Dari rumahnya, Fara hanya membutuhkan 5 menit saja untuk ke kantor.
Memasuki jalanan komplek, suara orang mengaji mulai bersahutan dari mushola-mushola, bersaing dengan derum mesin motor yang melintas di jalanan komplek. Wajah-wajah familiar juga terlihat olehnya.
Semuanya ia tegur, tak peduli walau sebenarnya ia malu. Ia tak ingin seperti dulu yang memilih pura-pura tak melihat karena tak memiliki nyali untuk menyapa warga kompleknya. Kini ia memilih memaksa diri. Ia berubah tidak tanpa sebab, tetapi, dari sapaan atau walau hanya sekadar senyuman yang ia berikan, ada energi positif yang ia dapatkan—apalagi jika para tetangganya membalas sapaan dan senyumnya. Tubuhnya akan langsung berenergi, seperti baru saja bangun dari tidur yang cukup lelap.
“Bu…” sapanya, saat melewati Mushola, di mana di seberangnya terdapat sebuah warung kecil yang menjual mie sop, dan ada sekumpulan ibu-ibu yang duduk di sana.
“Ya… telat kali sore ini pulangnya…” balas salah seorang ibu-ibu di sana.
Fara hanya menyengir diikuti tawa pelannya, merasa tak harus menjelaskan detail.
Tak jauh dari sana, laju motornya pun perlahan menjadi pelan, dan tak lama kemudian Fara sudah berbelok ke kanan, masuk ke halaman depan rumahnya, tepat di samping kedai milik kakeknya—yang biasanya disebut oleh warga komplek sebagai Kedai Kek Fuad.
“*Tolonglah, Bang… nggak ada lagi air kita. Kan tinggal ambil ke sebelah, loh*…”
Terdengar suara keras mamanya dari dalam rumah. Senyum yang tadinya tersisa di wajah Fara menghilang seketika.
“*Orang mau ke masjid kok masih disuruh-suruh*,” papanya menjawab, yang sedetik kemudian, pintu rumahnya terbuka—tampaklah papanya yang sudah rapi dengan baju koko putih bersih serta celana bahan gantung, di atas mata kaki.
Tak ada sapaan di antara mereka. Fara sudah melihat ke wajah papanya hendak menyapa, tetapi papanya hanya memakai sandal jepitnya lalu melangkah terburu-buru melewatinya tanpa sekalipun menoleh padanya.
Masih duduk di atas motornya, Fara menoleh ke belakang, mengamati punggung papanya yang terus melangkah pergi, bukan menuju Mushola yang tadinya ia lewati, tetapi menuju Masjid komplek yang berada di sudut Blok A.
Langkah papanya tampak tertatih, dikarenakan telapak kaki papanya yang sejak dulu memang selalu kebas, tapi tak pernah mau jika disuruh memeriksa sakitnya. Tapi meski begitu, papanya selalu salat 5 waktu di Masjid, yang lokasinya lebih jauh dari Mushola yang hanya berjarak 20 meter saja dari rumahnya. Sedangkan menuju Masjid di ujung Blok A, jaraknya lebih dari 200 meter dari rumahnya.
Fara turun dari motornya, melepaskan helm kuningnya, dan tampaklah wajah sendunya, dan semakin tampak sendu saat mendengar suara bantingan pintu dari dalam rumahnya.
Seperti itulah jika mamanya sedang marah. Pintu dibanting, kalau nyuci piring sengaja berisik, pokoknya akan lakukan apapun agar seisi rumah tahu jika ia sedang marah. Tak hanya itu, sesaat lagi pasti akan mencari Fara untuk melampiaskan amarahnya.
“Assalamu’alaikum…” salam darinya saat melangkah masuk ke dalam rumah.
Pintu kamar mamanya terbuka cepat. Tampaklah mamanya di ambang pintu, memakai daster katun yang mamanya jahit sendiri, dengan motif bunga-bunga kecil.
“Fara, sana ambil air. Satu galon aja pun jadi. Udah habis air kita. Papamu itu susah kali diminta tolong.”
Setelah mengatakan itu dengan keras, tak ada kelembutan di dalam suaranya, didukung raut muka penuh amarah, mamanya masuk lagi ke dalam kamar dan tak lupa kembali membanting pintu.
Suara hembusan napas Fara pun terdengar jelas di dalam rumahnya yang sepi. Tentu saja sepi. Rumah itu hanya ditinggali olehnya dan kedua orang tuanya. Sedangkan Shella, kakaknya yang 8 tahun lebih tua darinya sudah pindah ke Bandung, ikut sang suami. Ya, mereka hanya dua bersaudara.
Fara melangkah lagi, ke dapur lebih dahulu. Di sana ia mencuci tangannya di wastafel, barulah setelah itu masuk ke dalam kamarnya.
Kamarnya adalah satu-satunya tempat yang paling nyaman yang ia punya. Di dalam sana ia tak perlu pura-pura kuat, tak perlu memaksakan diri untuk tersenyum, tak perlu malu untuk menangis bahkan bisa hingga tersedu-sedu. Kamarnya telah menjadi saksi, seperti apa sisi rapuh Fara yang sebenarnya, sisi Fara yang tak diketahui orang lain bahkan kedua orang tuanya, juga kakaknya.
Tidak, Kira sang sahabat tentu tahu, tetapi tak benar-benar tahu sejauh mana Fara pernah hancur. Fara tak setega itu berbagi kesedihan kepada sang sahabat hingga sedalam itu. Jika bisa, ia hanya akan berbagi kisah bahagia, tetapi hidup memang sering penuh kejutan dan ada momen di mana ia tak mampu membendungnya. Bercerita kepada Kira satu-satunya pilihannya agar tetap waras.
Fara meletakkan ransel kuningnya di atas meja belajarnya. Ia raih satu lembar uang lima ribu, lalu kembali ke dapur. Ia angkat satu gallon kosong, dan segera melangkah cepat keluar dari rumah, melangkah menuju tempat isi ulang air galon yang berada tepat di samping rumahnya.
“Pakwo… tunggu. Satu galon aja, tolong…” desaknya yang sudah berlari kecil saat melihat Pakwo—panggilan akrab kepada si pemilik galon isi ulang, karena Fara melihat Pakwo sedang menutup pintu took kecilnya.
“OWalah Fara… lama kali datangnya. Bentar lagi azan, loh…”
“Iya maaf, Pakwo. Baru pulang kerja.”
“Kenapa Fara yang isi ulang, papamu mana?”
“Udah ke Masjid, Pakwo…”
Pakwo mendengus, mungkin sudah lelah juga, ingin segera pulang ke rumah. Tetapi melihat wajah Fara yang juga tampak lelah, Pakwo menjadi tak tega. Pintu tokonya pun ia buka kembali, hanya sedikit, cukup untuk dirinya masuk ke dalam sana.
“Yaudah, sini galonnya.”
Fara tersenyum lega. Ia hanya perlu menunggu sebentar.
“Kenapa lagi tadi mamamu? Kok merepet lagi? Keknya setiap hari nggak pernah nggak merepet. Heran kali Pakwo lihatnya,” cakap Pakwo di dalam sana. Hanya suaranya yang terdengar, karena Fara memilih menunggu di luar.
Fara tidak menjawab, hanya tersenyum kecut. Ia tahu, setiap kali mamanya merepet, suaranya pasti akan didengar tetangga. Itu juga yang membuat Fara tak enak hati, tapi tak bisa berbuat apapun, karena mamanya tidak pernah mendengar siapapun, terutama dirinya.
Di rumah, dirinya hanyalah anak bontot yang suaranya tak pernah didengarkan.
.
.
.
.
.
Continued...
Untung Yuto baru blgnya ke papanya Fara aja bkn ke mama nya,bisa heboh 1 komplek ntar sblm akad nikah,dasar ibu2 rumpi /Smug/
sama kita fara, banyak yg ngira lagi hamil gara2 gendut, 🤣🤣🤣🤣