Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Aluna hamil
Suasana di kelas IPA 3 sedang ricuh. Hari ini, guru tidak masuk karena sakit, membuat seluruh siswa bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Di tengah kegaduhan, Airilia tetap tenang membaca novel di mejanya. Namun, ketenangannya terusik ketika sebuah botol air mineral tiba-tiba diletakkan di mejanya.
"Buat kamu, diminum, ya."
Airilia menoleh dan mendapati Gilbert baru saja duduk di bangkunya.
Tanpa berpikir panjang, ia mengembalikan botol itu. "Aku enggak haus."
Sebelum Gilbert sempat merespons, Ririn—yang duduk di depan mereka—langsung menyambar. "Gil, kalau Lia enggak mau, buat aku aja. Kebetulan aku haus."
Gilbert tersenyum. "Ambil aja."
Tanpa menunggu lama, Ririn langsung mengambil botol itu. Sementara itu, Gilbert kembali menoleh ke arah Airilia.
"Lia, aku boleh pinjam catatanmu?"
Airilia menatapnya sejenak. "Catatan apa?"
"Bahasa Indonesia."
Airilia mengangguk dan menyerahkan bukunya. "Terima kasih," ujar Gilbert sambil tersenyum.
Setelah itu, Airilia bangkit dari kursinya dan keluar menuju perpustakaan.
Di dalam perpustakaan, Airilia berjalan di antara rak-rak buku, bingung memilih buku mana yang ingin dipinjam. Saat berbalik, ia tanpa sengaja menabrak seseorang hingga buku yang dibawa orang itu terjatuh ke lantai.
"Maaf, aku enggak sengaja."
Ia buru-buru membungkuk dan membantu mengambil buku yang berserakan. Saat itu, ia sempat melihat name tag di seragam siswa tersebut: Angga Pratama.
Angga tersenyum. "Enggak apa-apa. Aku tadi memang terlalu buru-buru. Terima kasih."
Setelah mengumpulkan bukunya, Angga langsung keluar dari perpustakaan.
"Lia, ngapain berdiri di sana?"
Airilia menoleh dan melihat Ririn yang baru saja masuk ke perpustakaan.
"Enggak apa-apa, cuma mencari angin aja."
Ririn mengernyit bingung. "Lah, kok cari angin di situ? Di sana kan enggak ada udara yang masuk."
Airilia tersenyum kecil dan menunjuk ke arah ventilasi jendela. "Ada kok. Anginnya masuk dari sana."
Ririn melirik ke arah yang ditunjukkan Airilia, lalu menghela napas. "Terserah kamu aja deh."
Melihat tumpukan buku di tangan Ririn, Airilia bertanya, "Banyak banget kamu minjam buku novel? Emang bisa habis kamu baca dalam seminggu?"
Ririn tertawa kecil. "Lia, kamu tahu kan, aku enggak suka baca novel?"
"Terus buat apa kamu minjam sebanyak itu kalau kamu sendiri enggak suka baca?"
"Buat Kak Renata."
Airilia terdiam sejenak. "Maksud kamu… Kak Renata?"
"Iya, Kak Renata kemarin pulang karena kampusnya sedang libur."
Seketika, benak Airilia dipenuhi satu pertanyaan: "Apa Kak Luna juga pulang?"
Namun, ia tidak sempat bertanya lebih jauh karena Ririn sudah berpamitan.
"Lia, aku duluan ke kelas, ya."
Airilia tersenyum dan mengangguk. "Oke, hati-hati."
---
Di sebuah rumah sakit, seorang perempuan terbaring lemah di atas ranjang. Selang infus terpasang di pergelangan tangan kirinya.
Di sampingnya, seorang pria menatap dokter dengan cemas.
"Dok, bagaimana kondisinya?" tanyanya khawatir.
Dokter tersenyum tipis. "Kondisinya baik. Sepertinya pasien hanya mengalami syok. Saya akan memberikan vitamin agar kandungannya tetap sehat."
Pria itu mengangguk dan segera keluar untuk mengambil vitamin.
Sementara itu, perempuan di ranjang mulai membuka matanya. Ia menatap sekeliling ruangan dengan bingung.
"Siapa yang membawa aku ke rumah sakit?" gumamnya pelan.
Sebuah suara terdengar dari dekat pintu.
"Aku yang membawamu ke sini. Aku menemukanmu pingsan di jalan."
Aluna menoleh dan melihat seorang pria berdiri di sana, membawa kantong plastik hitam.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Pria itu duduk di kursi dekat ranjang. "Siapa namamu?"
"Aluna. Kamu bisa panggil aku Luna."
Pria itu tersenyum. "Nama yang cantik, sama seperti orangnya."
Aluna sedikit salah tingkah, tapi tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.
"Oh ya, ini vitaminnya. Minum, ya, agar kandunganmu sehat."
"Kandungan...? Aku hamil?"
"Iya," pria itu mengangguk. "Dokter bilang kamu sudah hamil tiga bulan."
Sejenak, Aluna terdiam. Namun, sudut bibirnya perlahan melengkung membentuk senyuman licik. "Bagus. Anak ini bisa aku manfaatkan untuk membalas dendamku," batinnya.
Pria itu berdiri dan merapikan jaketnya. "Aku harus ke bandara sekarang, takut ketinggalan pesawat. Sebaiknya kamu menelepon suamimu. Takutnya dia mencarimu."
Mata Aluna menggelap. "Suamiku sudah meninggal."
Pria itu terdiam, sedikit terkejut. "Oh… maaf, aku tidak tahu."
Aluna menggeleng. "Enggak apa-apa. Kamu bisa pergi. Temanku sebentar lagi akan datang. Terima kasih sudah menolongku."
Pria itu tersenyum kecil. "Jangan panggil aku 'Om' dong. Namaku Rakha. Kamu bisa panggil aku Rakha."
Aluna menatapnya sejenak sebelum tersenyum tipis. "Baiklah. Terima kasih, Rakha."
Rakha mengangguk dan berjalan keluar, meninggalkan Aluna sendirian di dalam kamar rumah sakit.
Saat pintu tertutup, Aluna langsung mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk seseorang.
"Reza, temui aku besok di taman. Ada sesuatu yang harus aku katakan."
Setelah mengirim pesan itu, ia meletakkan tangannya di perutnya yang mulai sedikit menonjol.
"Reza… bersiaplah. Aku akan memastikan kamu menyesali semua yang telah kamu lakukan padaku."
Aluna tersenyum dingin. Dendamnya semakin membara.
Bersambung…