100% fiktif belaka, tidak ada kaitan dengan siapapun di dunia nyata atau di mana pun!!
"Gue nggak mau tau, kita menikah pokoknya. Lo, suami gue!"
Aria, gadis tengil 20 tahun, asal nyelonong masuk ke kamar hotel setelah mabuk di pesta temannya. Dengan penuh percaya diri, ia menodong pria di dalam kamar untuk menikah dengannya. Masalahnya? Pria itu adalah Jenderal Teddy Wilson, duda tampan 35 tahun yang dikenal dingin dan tak tersentuh. Yang lebih mengejutkan? Teddy tidak menolak.
Gimana kelanjutan ceritanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Calon Menantu vs Calon Mertua
...****************...
Otak gue langsung nge-blank.
Gue otomatis noleh ke arah Teddy dengan tatapan ngeri. Duda cerai karena impoten?
Astaga, gue ngerasa kayak ditabrak truk tronton. Tapi di sisi lain… hmm, ada bagusnya juga sih.
Artinya, kalau kita nikah nanti, gue nggak perlu khawatir bakal ada urusan ranjang. Fix aman.
"E-eh, kalau gitu, kita bahas aja soal rencana pernikahannya." Gue buru-buru ngeluarin topik baru biar nggak pingsan duluan.
"Baik. Karena situasinya begini, pernikahan ini harus dilakukan secara rahasia." Bokap Teddy menyilangkan tangan di dada, ekspresinya masih serius.
"Kami nggak mau ada gosip yang beredar. Teddy sudah cukup kena omongan orang waktu cerai dulu." Nyokap Teddy menyesap tehnya pelan, matanya tajam memperhatikan gue.
"O-oke, jadi konsepnya nikah diem-diem gitu, ya?" Gue angguk-angguk sok paham, padahal otak gue masih berusaha memproses situasi ini.
"Gue juga nggak mau pernikahan besar-besaran." Teddy akhirnya buka suara, suaranya santai sebelum ia menyandarkan punggung ke kursi.
"Kalian bisa menikah dalam waktu seminggu ke depan. Cukup dengan saksi dan keluarga inti." Bokap Teddy lanjut bicara, nadanya tegas tanpa celah buat debat.
"SE-MING-GU?!!" Gue langsung keselek ludah, nyaris lompat dari kursi.
"Ada masalah?" Nyokap Teddy melirik gue, menaruh cangkir teh dengan tenang.
"Enggak, enggak! Sip, siap! Nikah seminggu lagi! Hehehe…" Gue buru-buru ngibasin tangan, nyengir dengan tawa hambar, meski dalam hati udah teriak panik.
Dalam hati gue nangis. GILA, CEPET BANGET!!!
Keluar dari rumah Teddy, gue masih jalan dengan langkah goyah. Otak gue masih muter-muter kayak roda pedati, nyoba mencernah fakta yang baru aja gue dapet.
Duda. Cerai. Karena impoten. Nikah dalam seminggu.
Gue mau nangis tapi nggak ada air mata yang keluar.
Di samping gue, Teddy jalan santai, tangannya masuk ke saku celana. "Jangan mikir aneh-aneh," ucapnya tiba-tiba.
"Lo yang aneh! Gue baru tau lo duda! Gue juga baru tau lo imp—" Gue mendelik, suara naik karena keterkejutan.
"Ngomong satu kata lagi, gue sebar video semalam." Teddy langsung ngelirik tajam, nada suaranya datar tapi mengancam.
Gue otomatis nutup mulut rapet-rapet. Astaga, ini pria atau mafia?
Mobil akhirnya berhenti di depan kosan gue. Gue masih berdiri di depan pintu, nggak langsung masuk, perasaan campur aduk. "Jadi, dalam seminggu gue bakal jadi istri lo?" tanya gue pelan, kayak masih nggak percaya.
"Iya." Teddy ngangguk santai, seolah ini bukan masalah besar.
"Dan kita harus pura-pura bahagia di depan orang lain?"
"Iya."
Gue narik napas panjang. "GILA!" Gue nepok jidat sendiri. "Kehidupan gue minggu ini berubah total, anjir."
"Makanya lo jangan sembarangan mabuk dan nikahin orang." Teddy mengangkat alis, ekspresinya penuh sindiran.
"Ya siapa yang nyangka lo bakal beneran ngejalanin pernikahan ini, dasar Jenderal Impoten!" Gue mendelik, nggak terima sama omongannya.
Tiba-tiba, Teddy meraih dagu gue dengan satu tangan, matanya menatap gue tajam. "Jaga mulut lo, Aira," ucapnya dengan suara rendah, penuh peringatan.
Gue langsung ngerasa keringet dingin. Sial, aura militernya keluar.
Akhirnya, gue ngibrit masuk kosan sebelum dia ngeluarin ancaman baru lagi. Dari balik pintu, gue masih bisa denger suara Teddy.
"Jangan lupa. Minggu depan, gue jemput lo buat pernikahan kita."
Gue nelen ludah. Astaga… gue beneran bakal nikah sama dia.
Gue ngeliatin diri gue di cermin, pake gaun putih panjang yang menurut gue cukup bagus. Tapi baru aja mau muji diri sendiri, tiba-tiba ada suara nyebelin yang bikin urat gue otomatis naik.
"Hmm... badan kamu kecil banget, ya?" Nyokapnya Teddy—calon mertua gue—ngelirik gue dari atas sampe bawah dengan tatapan meremehkan. "Mantan istrinya Teddy dulu lebih semok dan berisi, loh. Tapi tetep aja nggak bisa bikin Teddy bangkit."
Anjing.
Gue yang awalnya masih sabar, langsung refleks melotot. Sumpah ini mertua apa musuh bebuyutan?!
Gue buang napas panjang, nyoba nggak tersulut emosi. Tapi karena otak gue udah dikasih asupan panas, kalimat lain keluar begitu aja dari mulut gue.
"Punya dia berdiri dan keras, tuh, saat saya goyang."
Suasana langsung hening.
Gue bisa ngerasain tatapan kaget dari pegawai butik yang lagi bantuin gue pasangin veil. Teddy yang dari tadi duduk santai di sofa tiba-tiba noleh dengan ekspresi setengah kaget setengah pasrah.
Dan calon mertua gue?
Mukanya langsung tegang, kayak orang abis makan sambel setan tanpa minum.
Gue langsung nge-flip gaun dan pergi keluar ruang ganti sambil cengar-cengir. Ketawa puas tanpa suara, anjir, puas banget gue!
Dari ekor mata, gue liat Teddy buru-buru bangkit dan nyusul gue keluar. Sementara calon mertua gue masih berdiri di tempatnya dengan wajah merah padam, kayak siap buat ngoceh sejuta kata makian.
Begitu gue keluar butik, gue ngerasa tangan Teddy nyangkut di pergelangan gue, nahan langkah gue. Gue noleh dan ngeliat dia dengan ekspresi antara kesel, pasrah, dan nggak percaya.
"Lo gila, ya?" Teddy akhirnya buka suara.
"Gimana? Keren kan jawaban gue?" Gue angkat alis dan tertawa kecil, ngerasa puas banget bisa balas omongan nyebelin tadi.
Teddy mijit pelipisnya, kayak nahan pusing. "Mau mati lo? Itu nyokap gue, loh."
"Ya terus? Emang gue bakal tunduk sama dia?" Gue nyengir santai. "Kalau dia nyebelin, gue lebih nyebelin. Jangan harap gue diem aja digituin."
Teddy ngelihat gue lama, terus tiba-tiba ketawa kecil. "Gue mulai mikir, siapa yang bakal lebih stres di pernikahan ini, lo apa gue."
Gue angkat bahu, nyengir lebar. "Jelas lo lah. Gue mah santai."
Padahal mah, dalam hati udah stress juga sih.
Teddy masih ngelepasin napas berat di samping gue, sementara gue pura-pura bego, menikmati angin sore di depan butik. Dari dalam, gue masih bisa denger suara calon mertua ngomel-ngomel sama pegawai butik.
"Udahlah, yang penting gue udah fitting baju. Kelar kan urusan?" Gue nyengir ke Teddy.
"Lo tau nggak, kalau nyokap gue dendam, lo bakal gue tinggal sendirian di rumah buat hadapin dia?"
"Mana mungkin dia berani apa-apain gue? Gue ini calon istri anak kesayangannya yang katanya imp—"
Teddy langsung nutup mulut gue pakai tangannya. "Jangan macem-macem!" desisnya, matanya tajam penuh peringatan.
Gue ketawa kecil di balik tangannya, lalu nyengir begitu dia akhirnya ngelepasin. "Udah deh, jangan tegang gitu. Gue bakal jadi istri yang baik, kok."
Teddy ngeliatin gue lama, sebelum akhirnya ngelus wajahnya sendiri, kayak frustasi. "Bukan itu yang gue khawatirin, tapi mulut lo itu..."
"Gue bakal jaga mulut gue, kalau nggak ada yang mulai duluan."
Dia masih ngeliatin gue, terus akhirnya ngangguk pelan. "Baiklah. Besok ada acara makan malam keluarga. Lo nggak boleh cari masalah."
"Makanannya enak nggak?" Gue mendelik.
"Ya jelas enak lah."
"Baik, gue janji nggak bakal bikin ribut. Tapi kalo ada makanan yang nggak enak, gue bakal protes."
"Gue tau pernikahan ini bakal ribet, tapi gue nggak nyangka bakal semelelahkan ini."
"Santai aja, Jenderal. Nikmati aja perjalanan roller coaster ini."
Teddy langsung menghembuskan napas panjang, sementara gue ketawa puas.
Dalam hati gue, gue tau ini baru awal. Dan feeling gue, setelah nikah bakal makin ribet. Tapi ya sudahlah, mari jalani.
.
.
.
Next 👉🏻
suka banget bahkan
ayo lanjut lagi.....
biar semakin seru.......