Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Ultimatum.
Arbian menatapku nyalang. Amarahnya jelas terpatri di wajah tampan itu. Tapi dia tidak tau harus marah sama siapa. Tidak mungkin melampiaskannya padaku. Karena sejak semula semua ini adalah idenya. Dia yang telah bermain api. Aku juga kecipratan panasnya.
Selama ini kami bisa menyimpan rahasia pernikahan kami. Berpura-pura jadi pasangan suami istri yang harmonis. Apesnya, malah dia yang menyingkap rahasia itu. Dengan terus berhubungan dengan mantan pacarnya. Adiknya sendiri yang melihat dia selingkuh.
"Tadi Inang juga menyuruh kita ke rumah hari Minggu nanti." Aku menyampaikan pesan Inang.
"Mau apalagi Mama?"
"Mana aku tau."
"Kamu tidak ngadu sama Mama 'kan?" beliaknya nampak panik.
"Kalau mau ngadu harusnya dari dulu. Konyol kamu." ucapku acuh dan keluar dari kamar. Perutku seketika lapar dan rasa haus juga tiba-tiba menyerang.
Saat aku tiba di ruang makan, kulihat Bastian tengah meletakkan satu kantong kresek di atas meja.
"Mbak, makanan pesananku sudah tiba." ucapnya tertegun saat melihatku muncul di ruang dapur dengan wajah keruh. Menyadari ada Bastian disana aku mengubah stelan wajahku menjadi lebih ceria.
"Wah, pasti enak itu. Kebetulan aku sudah lapar." tebakku seraya menuang air putih dari ceret. Segelas air putih tandas ku minum.
"Kalau begitu kita makan saja. Arbian mana ya?" kepalanya celingukan mengarah ke ruang tamu.
"Bentar aku panggil." Aku kembali ke kamar memanggil Arbian untuk makan malam. Tapi dia sedang berbaring di sofa dengan mata terpejam. Entah tidur atau sedang memikirkan masalahnya aku tidak tau.
Aku sengaja batuk untuk menarik perhatiannya. Arbian tersentak kaget dan langsung duduk.
"Yuk, makan malam Bang."
"Kamu sajalah, belum lapar." sahutnya tak gairah.
"Gimana sih, Bang. Gak enak loh ada Bastian." protesku.
"Bilang saja aku ketiduran. Gapapa itu."
"Terserah!" Aku bergegas keluar kamar. Sengaja aku menghentak pintu kamar. Peduli amat bila Bastian mendengarnya. Toh, dia sendiri yang tidak menghargai sahabatnya itu. Membiarkan kami makan malam berdua.
"Bang Arbi tidur, kita duluan saja makan." ucapku berusaha bersikap biasa. Kuambil piring dan mengisinya dengan nasi beserta lauknya lalu memberikannya pada Bastian. Heran, siapa yang tamu siapa yang jadi suami. Punya suami pun hanya di atas kertas saja.
Aku menikmati makananku dalam diam. Jelas aku sangat canggung makan berdua dengan Bastian. Beda hal kalau dia adalah sahabatku tentu tidak aka secanggung ini. Atau suamiku turut serta makan, tentu keadaannya tidak sekaku ini.
"Mbak Rania sepertinya ada masalah ya?" Ucapan Bastian membuatku kaget. Aku meraih gelas berisi air putih dan meneguknya untuk melancarkan tenggorokanku yang mendadak terasa seret.
"Masalah apa?" aku malah balik bertanya. Konyol kali reaksiku membuatku semakin serba salah.
Terlebih saat netra kami bersirobok. Wajahku terasa panas karena malu.
"Maaf ya Mbak, tadi saya gak sengaja mendengar pembicaraan Mbak dengan Mery. Bukan bermaksud menguping, tapi kebetulan saya mau ambil air minum."
Astaga! Makin merah saja wajahku mendengar penuturan Bastian. Ingin sekali aku menyudahi makanku. Tapi otakku masih waras untuk melakukannya. Bukan salahnya karena mendengar obrolan ku dengan Mery. Tapi tidak bisakah dia berpura-pura tidak tau saja. Bukan malah menanyakan langsung seperti ini.
Mengingat kami yang baru saling kenal. Mungkin Bastian merasa peduli karena dia dan suamiku adalah sahabat lama. Dan merasa sudah dekat juga samaku, karena beberapa hari ini dia adalah tamuku.
"Mungkin saya akan bicara pada Arbian, siapa tau dia bisa berubah." tuturnya menawarkan solusi. Aku tertawa dalam hati. permasalahan ku dengan Arbi bukanlah hal biasa. Bukan hanya sekedar tentang perselingkuhan. Sangat sulit untuk menentukan pilihan.
"Terimakasih karena telah peduli. Tapi aku tidak ingin masalah ini makin rumit." tolakku secara halus. Hanya kami berdua yang bisa menyelesaikan masalah kami. Dengan satu cara, jujur kepada mertua dan orang tuaku, bahwa pernikahan kami harus diakhiri demi kebaikan kami berdua.
Sebab cinta tidak mungkin dipaksakan.
***
Minggu siang, aku dan Arbian ke rumah mertua. Sepanjang perjalanan hatiku bertanya terus, kenapa ibu mertua mengundang kami datang ke rumah. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Biasanya kalau disuruh datang, ibu mertua pasti menyebutkan alasannya. Semisal karena rindu atau karena ibu mertua masak sesuatu dan kami harus ikut menikmatinya. Terkadang karena ibu mertua ingin bantuan ku karena ada arisan di rumah.
Kali ini ibu mertua tidak menyebutkan alasannya. Hanya mengundang kami begitu saja, dan harus datang. Apakah ibu mertua telah mengendus sesuatu yang aneh tentang rumah tanggaku. Apakah nanti jawabanku seandainya ibu mertua menanyakan perihal itu? Ah, kepalaku jadi mendadak pusing.
Seandainya mertua menanyakan hal itu, lebih baik aku jujur saja kondisi rumah tanggaku. Tentang perjanjian pra nikah yang disodorkan oleh Arbian tanpa memberiku pilihan.
"Kamu mikirin apa dari tadi melamun terus." Arbian mengusik lamunanku. Aku meliriknya yang tetap fokus pada jalanan.
"Tidak ada." sahutku pendek.
"Ngomong sajalah daripada diam kayak batu." ucapnya bercanda. Mencairkan kebekuan diantara kami.
"Buat apa, bikin capek saja." sebutku jutek. Arbian melirikku sekilas. Mungkin heran melihat sikapku.
"Masih marah, ya?"
"Soal apa?" mataku mendelik ke arahnya.
"Karena aku menolak makan bersama malam itu. Sebenarnya aku ingin memberi kamu kesempatan mengenal Bastian." ucapnya datar. Sukses membuat kaget dan hatiku kembali tertusuk duri.
"Maksud kamu apa ngomong seperti itu. Tidak perlu repot mencari penggantimu. Akhiri saja permainan ini supaya kita bebas mencari kebahagian masing-masing. Bukan dengan cara pengecut seperti ini." tohokku dan berusaha bersikap tenang. Sekalipun aku hendak meluapkan amarahku.
Dia lupa apa, karena sifat pengecutnya lah sehingga kami menikah. Dia menerima perjodohan karena tidak kuasa menolak keinginan kedua orang tuanya. Tetapi menyeretku terlibat permainannya karena takut kehilangan orang tuanya.
Dia tidak bisa menerimaku karena sudah memiliki pilihan hatinya. Namun, tidak direstui oleh orang tuanya. Akupun saat itu tidak punya pilihan dan terpaksa mengikuti permainannya.
Sekarang dia malah mau medekatkan aku dengan sahabat lamanya. Apa dia ingin berbagi kesalahannya padaku. Agar dia punya alasan kenapa pernikahan kami berakhir. Aku benci dengan pikiranku ini.
"Maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Lupakan saja." ucapnya gugup, mungkin menyadari keteledorannya bicara.
Aku mendengus.
"Aku benar-benar minta maaf." Arbi menepikan mobil dan berhenti. "Maafkan perkataanku tafi Ra, tidak seharusnya aku bicara seperti itu. Kamu benar, aku memang pengecut, egois." Arbian menundukkan kepalanya di atas kemudi. Menepuknya beberapa kali. Mengusap kepala dan rambutnya dengan kasar.
"Oke, Ra. Sudah saatnya kita mengakhiri semua ini. Aku akan bicara jujur pada Mama dan Bapak. Dan aku harus siap menanggung akibatnya." Arbian kembali menyalakan mesin mobil. Mobil meluncur membelah jalan. Aku tertegun mendengar ucapan Arbi. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor