"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinamika yang Berubah
Langit malam yang kelam diwarnai lampu-lampu kota yang berpendar dari jendela ruang kerja Darren yang berada di kediamannya. Ia duduk di kursinya, pandangan tajamnya tertuju pada layar laptop. Di mejanya, terdapat tumpukan dokumen yang berhasil ia kumpulkan dalam beberapa hari terakhir. Dengan bantuan koneksinya, ia kini memiliki bukti-bukti yang tidak terbantahkan—email-email yang menunjukkan manipulasi Nadia, rekaman digital dari data keuangan yang diubah, hingga jejak digital lainnya yang menguatkan posisinya.
Darren menyandarkan tubuhnya, merentangkan lengan, dan menarik napas panjang. “Sudah hampir selesai,” gumamnya pada diri sendiri. “Tinggal satu langkah lagi.”
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Lisa.
“Aku sudah mendapatkan file terakhir yang kau minta. Semua siap kapan saja kau butuhkan.”
Darren tersenyum tipis. Lisa benar-benar bisa diandalkan.
***
Di lantai 18 gedung perusahaan Darren, suasana sibuk tak pernah surut. Jam makan siang menjadi waktu yang penuh dengan interaksi antar karyawan, baik di kafetaria yang terletak di lantai yang sama maupun di pantry kecil tiap divisi. Cahaya matahari menerobos kaca jendela besar, menciptakan bayangan yang mengingatkan akan perpaduan kerja keras dan elegansi modern.
Darren memasuki kafetaria dengan langkah santai. Wajahnya tampak cerah, tetapi pikirannya penuh strategi. Ia baru saja mendapatkan bukti tambahan dari seorang kolega di divisi legal yang tak tahu bahwa ia membantu bosnya sendiri. Dalam hati, Darren sudah menyusun rencana untuk membuat Nadia tidak bisa berkutik.
Di sana, ia melihat Nadia duduk sendiri dengan ponsel di tangannya. Matanya langsung mengawasi Darren ketika ia mendekat, senyum sinis terukir di wajahnya.
Dengan ekspresi dingin yang ia sembunyikan di balik senyumnya, Darren mendekat. Begitu Nadia menyadarinya, ia memberikan senyum licik, seolah merasa dirinya masih mengendalikan permainan.
“Kau terlihat sibuk, Darren,” ucap Nadia dengan nada mengejek. “Aku dengar kau sering menghabiskan waktu dengan Lisa belakangan ini. Apa kau belajar sesuatu darinya?”
Darren meletakkan kopi di atas meja, menarik kursi dan duduk di seberang Nadia dengan santai. “Aku belajar banyak hal, Nadia. Salah satunya, bagaimana cara menangkap seseorang yang mencoba memfitnah rekan kerja.”
Mata Nadia menyipit, tetapi ia tetap tersenyum. "Ah, Darren," sapanya dengan nada manis yang dibuat-buat. "Ngomong-ngomong, ada angin apa kau datang ke sini? Mau konsultasi soal pekerjaan?"
“Tidak, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan kita sebelumnya,” jawabnya santai. Matanya yang tajam menatap Nadia, membuatnya sedikit gelisah meskipun ia berusaha tetap tenang.
Nadia memiringkan kepalanya, memperlihatkan seringai kecil. "Kalau kau masih mau membahas Elea, aku sarankan kau berhenti. Dia wanita yang ambisius dan berbahaya. Kalau kau mau sukses di sini, kau harus tahu siapa yang perlu diajak kerja sama." Nadia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat.
Darren tertawa kecil, senyumnya semakin lebar. "Menarik. Kau benar-benar percaya diri, ya."
Nadia mengangkat bahu. “Yah, aku tahu permainan ini lebih baik daripada siapa pun di sini. Lagipula, kau anak baru. Kau butuh bimbingan.” Nada merendahkannya begitu jelas, dan ia menatap Darren seolah anak kecil yang perlu diarahkan.
Namun, Darren tidak terganggu. Sebaliknya, ia menikmati bagaimana Nadia tanpa sadar terus menggali lubangnya sendiri. "Terima kasih atas tawaranmu," katanya, suaranya terdengar setengah mengejek, "Tapi aku punya caraku sendiri."
Darren terdiam sejenak, membiarkan Nadia tersiksa dengan keheningan yang ia ciptakan sebelum akhirnya ia melanjutkan, “Aku memberimu kesempatan untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya." Darren mendekatkan wajahnya sedikit, nada suaranya lebih tegas. "Tapi kau tampaknya terlalu sombong untuk memanfaatkannya.”
Nadia tertawa kecil, lalu menyandarkan tubuhnya dengan angkuh. “Kesempatan? Dari siapa? Dari anak kecil sepertimu? Dengarkan aku, Darren. Dunia ini milik mereka yang tahu bagaimana bermain. Kau baru di sini, dan kau masih hijau. Kau tidak akan pernah bisa mengalahkan seseorang seperti aku.”
Darren tetap tenang, meskipun hatinya ingin meledak. Ia tidak ingin mengungkap identitasnya terlalu cepat. “Kalau begitu, aku akan memberimu satu nasihat, Nadia,” katanya dengan suara rendah tetapi dingin. “Jangan terlalu percaya diri. Kau tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi.”
Nadia mengangkat bahu, mengabaikannya. “Kalau kau mau cepat naik jabatan, aku bisa membantumu. Kita bisa bekerja sama menyingkirkan Elea. Jika Elea tersingkir, aku akan pastikan posisinya menjadi milikmu."
***
Elea, yang baru saja kembali dari rapat singkat, tanpa sengaja melihat Darren dan Nadia sedang berbicara. Nadia tampak terlalu nyaman, bahkan tersenyum menggoda. Darren, seperti biasanya, terlihat santai dan tak terpengaruh. Elea menghela napas panjang, memilih untuk mengabaikan pemandangan itu.
“Biarkan saja,” pikirnya. “Aku tidak mau lagi dibilang cemburu.”
Namun, hatinya terasa sedikit tidak nyaman. Ia tidak mengerti kenapa melihat Darren berbicara dengan Nadia seperti itu bisa mengusiknya.
***
Elea sedang sibuk di ruangannya, mengetik laporan dengan ekspresi serius. Ketukan pintu yang khas membuatnya mendongak.
Darren masuk tanpa meminta izin, seperti biasa. Ia membawa secangkir kopi, senyum nakalnya menghiasi wajahnya. “Kopi untuk wanita paling serius di kantor,” katanya dengan nada menggoda, meletakkan cangkir itu di meja Elea.
Elea mendongak, menatap Darren dengan tatapan tajam. "Aku tidak memintanya, Darren. Jangan pikir kau bisa membeli simpatiku dengan kopi."
Darren duduk di sofa kecil, menatapnya dengan pandangan penuh godaan. “Aku hanya ingin memastikan kau tetap waras. Kau terlihat tegang.”
Elea melipat tangan di dadanya, menyipitkan mata. "Darren, aku serius. Jangan terlalu sering bermain-main dengan wanita di kantor ini. Pertama Lisa, sekarang Nadia? Apa kau mencoba membuat koleksi? Jangan bermain-main dengan wanita di kantor ini.”
Darren tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh godaan. “Apa ini cara halusmu untuk bilang kalau kau cemburu?”
Elea mendengus, meskipun dadanya berdebar. "Cemburu? Tidak, aku hanya tidak ingin harus membereskan kekacauanmu nanti."
Darren terkekeh. “Ah, Elea, kau salah paham. Kau terdengar cemburu.”
Elea menggelengkan kepala dengan tegas. “Aku hanya ingin memastikan kau tidak membuat masalah di sini. Kalau kau terus bermain-main seperti ini, aku sendiri yang akan menghukummu.”
Darren mendekatkan dirinya ke meja Elea, mencondongkan tubuhnya sehingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Menghukumku, ya? Kau tahu, ancamanmu itu tidak menakutkan sama sekali.”
Elea mundur sedikit, merasa gugup. Darren yang biasanya kekanakan terlihat berbeda kali ini. Matanya serius, senyumnya penuh keyakinan. Elea tiba-tiba merasa seperti tidak mengenali Darren.
“Dengar, Elea,” gumam Darren, suaranya rendah dan menggema di ruang kecil itu. “Aku memang lebih muda darimu, tapi aku tetaplah seorang pria normal, bukan anak kecil. Dan kalau kau mau mengancamku, kau harus melakukannya dengan lebih serius.”
Elea menelan ludah, gugup. Darren semakin mempersempit jarak, menyandarkan tangannya di meja, menjebak Elea di antara meja dan tubuhnya.
Untuk pertama kalinya, ia merasa Darren bukan hanya pria muda yang suka main-main. Ada aura lain di sana, pesona yang mendominasi. Ia mencoba mengalihkan pandangan, tapi tatapan Darren terlalu intens.
Darren melihat Elea menggigit bibir bawahnya, dan ia tersenyum. “Dan satu hal lagi,” Darren melanjutkan, matanya turun ke bibir Elea. “Jangan menggigit bibirmu seperti itu.”
“Kenapa?” Elea mencoba bersikap tegas, tetapi suaranya terdengar bergetar.
Darren tersenyum miring. “Atau aku akan menciummu.”
Kata-kata itu membuat Elea semakin gugup. Jantungnya berdebar, tapi ia menegakkan tubuhnya, mencoba terlihat tegar. “Jangan bermain-main, Darren,” katanya dengan suara yang tidak sekuat biasanya.
Namun, Darren hanya tertawa kecil, lalu mundur satu langkah, memberinya ruang. “Tenang saja,” katanya sambil berbalik, meninggalkannya dengan senyuman penuh misteri. "Aku hanya memastikan kau tahu bahwa aku bisa lebih dari sekadar pria kekanakan."
Elea terdiam. Dadanya berdesir, wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi detik berikutnya, Darren kembali tersenyum seperti biasanya.
“Terima kasih untuk ancamannya, Elea. Itu membuat hariku lebih menarik,” katanya ringan, lalu berjalan pergi meninggalkan Elea yang masih terpaku di tempatnya.
Elea terdiam, merasakan kehadiran Darren masih membekas bahkan setelah ia pergi. “Pria itu benar-benar menyebalkan,” gumamnya pelan, tapi tak bisa menyembunyikan senyuman kecil di wajahnya.
***