NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9

Seekor sapi berwarna gelap memakan daun nangka dengan lahap. Ini adalah pekerjaan favoritku, yakni menyuapi sapi makan. Di sebelah sapi ini, terdapat dua ekor lagi yang berwarna lebih terang dan ukurannya lebih kecil.

Niji terlihat ke luar dari rumahnya dengan membawa satu nampan kecil berisi 3 gelas teh beserta dua piring makanan ringan. Satu orang lagi, teman kami bernama Zetta tengah duduk di teras rumah Niji sambil mengipas-ngipas menggunakan kardus bekas.

"Cine, ayo sini minum dulu," panggil Niji.

"Duluan aja. Masih seru, ini," jawabku yang kemudian kembali melihat si sapi.

Seorang pria datang sambil membawa sekarung besar rumput liar untuk dimakan sapi-sapinya. Ia adalah ayahnya Niji. Seorang petani yang mempunyai lahan yang luas. Jangan salah dengan profesi tersebut, karena penghasilannya jauh melebihi gaji PNS.

Kedatangan ayah Niji membuatku sedikit terkejut. Spontan menunduk tanda menyapa.

"Kenapa nggak gabung sama Niji di sana? Di sini panas, loh," ujar ayah Niji, ramah.

"Iya, Pak. Tapi ini masih asik ngasih sapi makan."

Ayah Niji hanya mengangguk, lalu kembali fokus terhadap sekarung rumput yang ia bawa dari padang rumput. Kemudian menuangkan seluruh isinya ke tempat pakan sapi.

"Pak, kenapa karungnya sobek?" tanyaku sebab karung tersebut terlihat masih baru, namun ada bagian yang diikat agar isinya tidak jatuh.

"Iya, tiba-tiba udah kayak robek pas saya mau pulang. Nggak tahu ulah siapa karena sebelum pulang, saya mampir ke rumah teman dulu."

Aku menutup mata dengan kencang dan langsung menggeleng cepat-cepat, membuat ayah Niji terheran-heran. Padahal, aku menggeleng karena pikiranku langsung tertuju pada Yoru. Di mana ada perkara, keusilan, kenakalan dan sejenisnya, maka tiba-tiba pikiranku akan mengarah ke orang satu itu.

"Kenapa?" Ayah Niji bertanya.

"Eh, nggak apa-apa, Pak. Saya mau ke Niji dulu."

Gelas Zetta telah kosong. Sendawanya terdengar seperti bapak-bapak. Membuatku menepuk punggungnya dengan sebal. Ia malah lanjut mengambil cemilan kecil di atas piring yang dibawa Niji tadi. Sudah hampir tandas. Selera makannya memang tidak diragukan lagi. Padahal badannya segitu-gitu aja.

"Enak nih cemilannya, Niji," ujar Zetta.

"Terus, emangnya kenapa kalau enak?" seruku yang mengerti bahwa maksud Zetta mengatakan itu adalah karena ia ingin cemilan lagi.

Lirikan tajam diarahkan kepadaku. Lalu mencubit pipiku dengan kencang.

"Aw, sakit Zetta! Apaan sih," sebalku sambil menarik tangannya agar lepas dari pipiku.

"Masih banyak kok di dalam. Kamu mau lagi?" Niji bertanya yang langsung disambut anggukkan semangat dari Zetta.

"Perut karet. Sama kayak Yoru. Kurus tapi banyak makan," ucapku.

Zetta dan Niji langsung menatapku penuh selidik. Sepontan, membuatku merapatkan bibir. Bisa-bisanya malah bawa-bawa nama orang itu!

Niji yang sudah berdiri kembali duduk karena perkataanku, ia batal ke dalam untuk mengambil makanan ringan lagi. Demi mengungkapkan rasa penasarannya.

"Kok jadi Yoru?" tanya Niji.

"Kok tahu dia makan banyak?" tambah Zetta.

"Karena pernah lihat dia makan," jawabku.

Zetta dan Niji masih menilik curiga.

"Kok aku nggak pernah lihat," ujar Zetta.

"Ya udah, sih. Kalau nggak pernah," ucapku.

❀❀❀

Tatapan datar itu tampak di jendela seperti sebuah lukisan. Ia mematung sambil melihatku yang sedang salat subuh. Pantas saja aku merasa yang memperhatikan dari samping. Pagi buta begini dia datang lagi.

"Kamu udah salat, belum?" tanyaku tanpa menengok ke arahnya, seperti sebuah kewajaran melihatnya mengintip lewat jendelaku.

Krekkk...

"Cine!" Ibu memanggil.

Bersamaan dengan itu, kepala Yoru sudah hilang juga dari jendela.

"Iya, Bu." Aku menjawab dengan waswas menghadap jendela, takut Yoru ketahuan.

"Oh, kirain belum bangun," ucap ibu lalu langsung menutup pintu kamarku.

"Dia mengganggu," ucap Yoru setelah kepalanya muncul lagi.

"Enak aja bilang ibu mengganggu. Yang mengganggu itu kamu. Seenaknya ngintip ke rumah orang."

"Teman, aku haus," keluh Yoru.

Manusia aneh itu malah lebih terbiasa memanggilku teman sekarang, daripada namaku sendiri. Ya, setidaknya ia tak perlu menyebutku Shinea jelek lagi.

Lagipula, memangnya ia tak kepikiran dengan perlakuannya terhadapku di sungai kemarin? Ia hampir membunuhku. Tidakkah ia terpikirkan sedikit pun untuk agak canggung? Ya, tapi wajar saja untuk seorang seperti dia. Yoru, lelaki yang penuh misteri. Kurang lebih, seperti itu aku memandangnya. Ia kekurangan kasih sayang. Mungkin itulah yang membentuknya menjadi pribadi yang nakal. Tak pernah terbayangkan dari dulu, bahwa kini aku banyak memikirkan banyak hal tentang Yoru. Dulu, aku hanya memandangnya sebagai anak nakal. Bahkan anak yang sangat nakal, tanpa memikirkan latar belakangnya dan misteri di balik sifatnya itu.

"Kamu udah salat, belum?" tanyaku ulang.

"Teman, aku haus." Ia malah mengulang permintaannya juga.

"Terserah. Susah ngomong sama robot!" ketusku dan langsung ke luar untuk mengambilkannya air.

Sejak kapan aku mau disuruh-suruh mulu sama dia?

Seperti biasa, minuman itu langsung ludes seperti sekali tegukkan saja.

"Minumnya pelan-pelan, Yoru. Aku nggak minta kok."

"Teman, aku lapar."

"Minta aja semua! Kemarin, kamu 'kan udah makan ayam panggang. Emangnya masih kurang? Untung aja bibi mengikhlaskan ayam itu. Coba kalau nggak, bisa haram itu ke perut kamu!" tegasku.

"HEI! ADA ANAK NAKAL YANG NGINTIP KAMAR CINE!" Suara seseorang terdengar yang semakin jelas suaranya. Ia pasti berlari mendekat ke arah Yoru berdiri.

Aku segera menengok luar jendela dan mendapati Niji datang dengan ekspresi murkanya. Kini ada dua wajah yang menghiasi jendela kamarku.

"Husssttt, jangan berisik, Niji," seruku kepada Niji.

"Heh, kamu ngapain di sini?" ketus Niji sambil mendorong Yoru.

Yoru tidak tertarik untuk menanggapi Niji. Apalagi sampai menoleh. Ia hanya fokus dengan telapak tangannya tanda sedang meminta. Niji segera menepis tangan itu karena dikira hendak menyakitiku.

"Aduh, mending kamu masuk dulu deh, Niji. Entar aku jelasin. Taku tiba-tiba itu ke luar dan melihat ada Yoru di sini," pintaku pada Niji.

"Hah? Emangnya kenapa kalau ketahuan? Sejak kapan kamu malah ngelindungin dia. Kamu jadian sama dia?" tanya Niji bingung.

"Sembarangan! Pokoknya masuk dulu. Jangan banyak nanya!"

Raga Niji langsung muncul setelah aku mendengar samar-samar suaranya berbicara dengan ibu. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi, semoga dia tidak melaporkan keberadaan Yoru.

Krekkk...

"Nah, kenapa dia masih di sini?" tembak Niji lagi begitu masuk ke kamarku.

"Aduh, panjang ceritanya. Yang jelas, jangan sampai ada yang tahu keberadaan dia di sini."

"Hei, teman. Mana makananku?" tanya Yoru memecah percakapanku dan Niji.

Ucapan yang membuat kening Niji berkerut.

"Enak aja minta makan. Kayak nggak punya rumah aja. Mending kamu pergi, deh. Daripada mengacau rumah temenku. Pakai manggil Cine teman lagi. Siapa yang mau temenan sama penjahat kayak kamu. Getah pisang aja nggak sudi," ketus Niji dengan kalimat pedas.

"Heh! Udah-udah. Jangan sekasar itu, Niji." Aku menengahi.

Sebelum berbicara lagi, Niji berjalan ke arah jendela dan menutup kaca jendela. Lalu menutup kacanya dengan gorden. Rasanya, aku tidak tega melihat itu. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa sekarang.

"Nah, gampang 'kan ngusirnya. Dikira kamu asistennya apa. Main minta makan segala," urai Niji terlihat puas.

Aku mengembuskan napas panjang. Kasihan Yoru.

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!