Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Lima
Larangan dari sang ayah adalah perintah bagi Narendra, tak pernah sekalipun ia menuruti keinginan ayahnya selama ini, tidak saat ibunya masih ada, tidak juga saat ini.
Tekadnya telah bulat, semua karena satu wanita yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Bersama wanita itu membuatnya merasa nyaman, seolah berada di samping sang ibu. Entah karena apa, lelaki itu bisa merasa seperti itu pada Tazkia.
“Jadi, kamu akan pergi juga?” tanya Roy, lelaki itu baru saja kembali dari menemani Rendra belanja, kini mereka hendak mengambil oleh-oleh untuk keluarga temannya itu.
“Ya, aku sarankan kamu juga ikut, pasti orang tuamu akan menyukainya.” Rendra tersenyum tipis.
“Ish, bilang saja kamu nggak berani sendiri kan Ren? makanya ajak aku dengan dalih seperti itu.”
“Tidak juga, hanya… bukankah berdua lebih baik daripada sendiri? toh itu sama sekali tak merugikanmu Roy. Kamu bilang ingin meraih hati ibumu untuk merestui hubunganmu dengan Desy?”
Roy berpikir sejenak, ucapan Rendra ada benarnya. “Baiklah, kita berangkat nanti malam. Tunggu aku di tempat biasa,” jawabnya. Rendra tampak sangat bahagia, ia menepuk kuat pundak temannya.
“Ren, kamu serius nih aku boleh pilih cake apapun yang ku mau?”
Rendra mengangguk mantap. “Susu juga ya?” kata Roy, dan lagi-lagi Rendra mengangguk. Roy bersorak gembira.
“Ren, bukankah itu Tazkia dan teman-temannya? yang di sana itu Grace kan? ada apa di antara mereka?”
Rendra melihat Grace membuat keributan di kafe milik keluarganya, wanita itu sedang marah dan di depannya Tazkia diam menyimak, gadis itu terlihat sangat tenang bagai air mengalir. Sama sekali tak terpengaruh oleh kemarahan Grace yang meledak-ledak.
“Dia berulah lagi,” gumam Rendra segera masuk ke dalam kafe.
.
“Tampang kayak begini berani-beraninya menggoda Rendra? ngaca dong! gadis kayak kamu itu pantesnya jadi babu kami, jangan pernah bermimpi,” tegas Grace di depan Kia, gadis itu sengaja memerintahkan pekerja Kafe untuk mengusir pengunjung lain, dan menyisakan kelompok Kia saja.
“Kasih pelajaran aja Queen, biar dia tahu dimana tempatnya. Mahasiswa beasiswa aja belagu!” sahut gadis lain berambut pendek.
“Kamu pelet ya si Rendra?” Gadis di samping kanan dengan kacamata besar bertengger di atas kepala ikut berkomentar.
Husin sudah sangat geram menyaksikan yang terjadi, sedari awal Kia melarangnya ikut campur urusan mereka, tapi kini ia sudah tak mampu lagi. Berjalan mendekat pada Grace, Husin berbisik pelan di samping telinganya. “Lebih baik tanyakan dulu pada kekasihmu sebelum menemui Kia, apa benar Kia menggodanya? atau justru kekasihmu yang sengaja mendekati gadisku.”
Mata Grace menatap nyalang, dadanya naik turun menahan amarah. Tangan terkepal serta gigi bergemeletuk kuat, “Rendra tak mungkin menyukai jalang seperti dia! jalang ini yang menggoda kekasihku, dasar pelakor murah!”
“Jaga bicaramu Grace! memang benar aku yang menyukai Kia, lantas kenapa? apa hubungannya denganmu?” Rendra muncul dari pintu utama, bersama Roy di belakangnya yang terlihat takut-takut.
“Rendra, apa yang kamu katakan? bukankah orang tua kita sudah menjodohkan kita?” Grace berjalan mendekati Rendra, wajah cantiknya berubah panik.
Kia masih diam, bukan karena ia takut hanya malas menanggapi wanita seperti Grace. Ia memilih duduk menikmati kue pesanan mereka daripada mendengar pertengkaran dua anak konglomerat itu, Kia memilih tuli.
“Ki, aku sudah rekam gadis sialan itu, enak sekali mulutnya nyablak nggak jelas. Aku posting aja kali ya? biar dia kehilangan fans, biar dunia tahu super model seperti Grace tabiatnya sangat buruk.” Shella menunjukkan video dalam ponselnya.
“Jangan, kamu bisa membunuh seseorang dengan jarimu,” jawab Kia. Ia masih tak sampai hati jika nasib Grace akan jadi seperti idol-idol yang bunuh diri karena diserang masyarakat sebab terbongkar keburukannya. Meski Kia tak menyukai kpop ataupun drama k*r**, tapi ia cukup tahu tentang dunia mereka.
“Yang dikatakan Kia benar Shel, biarkan saja. Allah yang akan membalas perbuatannya.”
Entah apa yang dikatakan Rendra pada model cantik itu, Kia benar-benar tak mendengarkan pertengkaran mereka. Ia sibuk berbincang dengan Devi dan Shella, hingga tiba-tiba saja Rendra datang mendekat. Menarik tangannya dan membawanya pergi keluar kafe.
Tangan Husin terkepal kuat, melihat Rendra membawa Kia membuatnya tersulut api amarah. Namun, ia masih menjaga diri agar tak menimbulkan keributan baru. Para pegawai meminta maaf dan membersihkan vas bunga yang sempat dibanting ke lantai oleh Grace tadi.
“Husin, serius kamu akan diam saja? kalau suka itu kejar, wanita menyukai lelaki yang memperjuangkan mereka. Lihat, bagaimana Rendra membantunya menangani kegilaan Grace. Kalau kamu tetap begini, jangan menyesal jika lambat laun Kia akan menyukainya juga.” Ijan mulai kompor, ia menjadi salah satu yang menginginkan Husin bersatu dengan Tazkia.
Husin melirik Ijan yang mengangguk padanya, beralih pada Evan yang sedari tadi hanya diam. “Apa? kenapa melihatku. Pergi saja Husin, ucapan Ijan benar dan yang terpenting sepertinya Kia juga menyukaimu, jangan sia-sia kan itu,” titahnya.
Sementara itu, Rendra sengaja membawa Kia jauh dari kafe. Mereka berhenti tepat di samping taman bunga seberang jalan. Kia sempat melirik jajaran bunga krisan tumbuh subur di sekitarnya, warna-warnanya yang cerah menjadi daya tarik sendiri bagi bunga dengan nama lain Seruni itu.
Kia sempat terkesima, jujur saja krisan adalah salah satu bunga favoritnya. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi bunga yang memiliki kelopak berbentuk cawan itu.
“Mau apa kamu bawa aku kesini Ren?”
“Maaf Tazki, aku datang terlambat. Grace tak menyakitimu kan?”
Kia tersenyum tipis, menghindari tatapan Rendra yang terlihat aneh menurutnya. Selain itu pengakuan Rendra di depan Grace bahwa ia menyukai Kia sebenarnya cukup membuat Kia canggung. Meski Kia sendiri yakin, mungkin itu hanya salah satu trik yang digunakan lelaki itu untuk membuat Grace pergi.
“Apa menurutmu aku gadis yang mudah terintimidasi? aku gadis yang mudah dikalahkan? bahkan setan aja kulawan. Apalagi hanya Grace.”
Rendra tersenyum lega, ia jadi salah tingkah saat melihat ekspresi percaya diri yang begitu tinggi dari Kia, yang menurutnya membuat gadis itu semakin terlihat menarik.
“Tazki, kamu dengar kan tadi yang kukatakan pada Grace?”
“Yang mana?”
“Bahwa aku yang menyukaimu.”
Perasaan Kia mulai tak nyaman, ia memilih bungkam menunggu kalimat apa yang akan dikatakan lelaki itu selanjutnya.
“Aku menyukaimu Tazki, itu bukan gertakan. Tapi, kamu nggak perlu menjawabnya sekarang. Aku tahu, aku tak seperti teman-temanmu, kamu jauh dari jangkauanku. Aku tak berharap kamu membalas perasaanku saat ini, aku akan memantaskan diri terlebih dahulu, dan pantau lah diriku selama itu. Berikan jawabanmu nanti, saat aku sudah mulai bisa lebih percaya diri.”
Sungguh sebuah pengakuan yang amat berbahaya, hati Kia serasa mau meledak. Namun, ia tak mengerti debaran kuat ini karena pengakuan Rendra atau justru karena mengkhawatirkan perasaan Husin yang melihat mereka.
Bagai maling ketahuan mencuri, Kia terlihat takut-takut saat Husin bergerak maju dengan wajah merah padam. Lelaki itu meraih tangannya dan membawa Kia pergi meninggalkan Rendra.
Jika Husin menggenggam tangan kanan, maka Rendra meraih tangan kiri Kia. Kedua lelaki itu berebut satu wanita, menariknya bergantian. Membuat tubuh Kia bergeser ke kanan dan ke kiri mengikuti tarikan mereka, dan tentu itu menyakiti tangannya.
Kia menghembuskan nafas kasar, lelaki di sampingnya bahkan tak peduli keadaannya, dua-duanya terbakar amarah.
“Hentikan! lepas nggak kalian berdua!”