Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Pindah ke Apartemen
Syahla mengendap-endap masuk ke dalam kamar dan bernapas lega saat mendapati Ustadz Amar sudah tertidur lelap. Ustadz Amar berada di sisi kanan ranjang, dengan posisi memunggungi dirinya.
Syahla lantas mengatur napas dan bergerak menaiki kasur perlahan-lahan. Ia sebisa mungkin meminimalisir suara yang ia buat.
Pokoknya, aku nggak akan tidur malam ini! Tekadnya di dalam hati. Awas aja kalau Ustadz Amar sampai macam-macam!
Mulanya sih begitu. Sayangnya, saat membuka mata, Syahla melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul lima seperempat pagi. Syahla terhenyak. Sejak kapan dia tidur? Ia menoleh ke sisi sebelahnya dan sudah tidak ada Ustadz Amar di sana.
Syahla kemudian melihat ke seluruh bagian ranjang dan tercengang saat melihat bantal guling yang semula berada di tengah-tengah sudah terlempar jauh ke lantai.
"Hah!" Syahla buru-buru mengecek pakaiannya, apakah masih utuh atau tidak. Tapi rupanya semuanya masih sama seperti sebelumnya. Jilbab di kepalanya juga masih terpasang, meski anak rambutnya sudah mencuat kemana-mana.
Buru-buru, Syahla bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat subuh.
...----------------...
Di aula pesantren, Abah Baharuddin tengah mengobrol bersama Gus Sahil dan Ustadz Amar. Setelah melaksanakan sholat subuh yang diimami Ustadz Amar, mereka mulai membicarakan tentang program mengaji para santri.
"Loh, Nduk Syahla mana Le? Kok nggak ikut jamaah?" Umi Zahra muncul bersama Hafsa, baru selesai mendarus Al-Quran.
"Oh, tadi sih bilang pada saya kalau sedang capek, Mi. Jadi saya bilang tidak usah ikut jamaah saja," jawab Ustadz Amar.
"Duh, anak itu masih manja saja sih. Harus Umi kasih pelajaran!"
"Jangan Mi!" cegah Hafsa. "Biarkan saja dulu. Acaranya kan juga baru selesai malam hari. Kasian Dek Syahla,"
Ustadz Amar tersenyum kikuk mendengarkan percakapan mereka. Sebenarnya, jawaban Ustadz Amar kepada Umi Zahra barusan bohong belaka. Sebenarnya Ustadz Amar tidak pernah membangunkan Syahla pagi itu. Alasannya? Itu karena dirinya bingung!
Bagaimana tidak bingung coba, kalau saat membuka mata di pagi hari, tiba-tiba ada seorang wanita yang memeluknya? Ustadz Amar sempat shock sejenak saat itu, lalu saat melihat yang memeluknya adalah Syahla, dia lebih shock lagi.
Masalahnya, kemana perginya bantal guling yang menjadi pembatas mereka? Rasa-rasanya Ustadz Amar masih tidur di posisi yang sama, berada di sisi kanan ranjang, berdempetan dengan tembok. Lantas, kenapa bisa jadi seperti ini?
Pelukan istrinya terasa erat sekali, seolah-olah dirinya adalah sebuah guling yang enak dipeluk. Ustadz Amar ingin sekali mengabadikan momen itu, kemudian menunjukkan kepada Syahla saat ia bangun. Tapi segera ia urungkan niat itu karena tidak ingin semakin bermusuhan dengan istrinya sendiri. Maka, dengan hati-hati, Ustadz Amar berusaha melepaskan diri dari delapan gadis itu.
Setelah melihat dengan jelas bagaimana posisi tidur Syahla yang malang melintang, Ustadz Amar jadi mengerti. Syahla pasti tidak sengaja menendang guling itu ke bawah dan menganggap dirinya sebagai guling.
"Bahaya," desis Ustadz Amar saat melihat kaki Syahla terlentang di atas ranjang. Membuat springbed dengan ukuran king itu penuh. Dengan gerakan halus, Ustadz Amar menyelimuti istri kecilnya sampai menutup leher. Setelah itu, ia buru-buru keluar untuk berwudhu dan melaksanakan sholat subuh. Mencoba menghilangkan bayangan-bayangan indah saat dirinya dipeluk oleh Syahla.
Kembali ke saat ini, saat Ustadz Amar mengobrol dengan ayah mertua dan kakak iparnya. Obrolan mereka bertiga sudah sangat nyambung meski Ustadz Amar baru menjadi menantu satu hari, lantaran sejak Syahla masih mondok di Al-Raudhah dulu, Ustadz Amar sudah sering mengobrol dengan Gus Sahil via telepon.
"Beruntung sekali ya, menantu kita itu Ustadz Amar. Sudah pintar, sholeh, berpendidikan,"
"Tidak Bah," Ustadz Amar menggelengkan kepalanya menanggapi ucapan sang mertua. "Saya yang beruntung karena sudah diterima di keluarga yang hebat ini,"
"Jangan merendah Mar, saya itu sudah mendengar seberapa hebatnya kamu. Kemarin Abah Ridwan tidak henti-hentinya membanggakan kamu," balas Gus Sahil.
Ustadz Amar tersenyum. Selain Papa dan ibunya di kampung, Ustadz Amar juga punya Abah Ridwan yang sudah ia anggap ayahnya sendiri. Meskipun kadang-kadang Abah Ridwan terlalu berlebihan saat memujinya. Tapi diam-diam ia bersyukur karena pujian itu bisa menambah nilai plus di mata mertuanya.
Saat kembali ke kamar, Ustadz Amar kaget karena Syahla sudah duduk manis menunggu. Sepertinya ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Melihat Syahla, Ustadz Amar jadi teringat kejadian tadi. Ia memalingkan muka, merasa malu sendiri.
"Ustadz," panggil Syahla membuka percakapan. "Besok, kita harus sudah di Jakarta. Saya ada tugas dari dosen yang belum selesai. Takutnya nanti dapat nilai D,"
Ustadz Amar menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Kita berangkat besok. Lagipula jatah cuti saya sudah habis. Kita akan pamit pada Abah dan Umi nanti,"
Mata Syahla berbinar mendengar pernyataan Ustadz Amar. "Serius kita besok langsung berangkat?"
"Iya," Ustadz Amar kembali menganggukkan kepalanya.
"Yes!" Tanpa sadar, Syahla melompat-lompat kegirangan. Namun, setelah menyadari ada Ustadz Amar di depannya, ia segera bersikap kalem lagi, kemudian cepat-cepat keluar dari kamar.
...----------------...
"Hati-hati ya Nduk, jangan jauh-jauh dari suamimu. Biar suamimu yang mengantarkan kamu kemana-mana,"
"Siap Umi," Syahla menjawab wejangan sang ibu sambil tersenyum lebar. Saking khawatirnya, nasehat itu terus diulang-ulang sampai Syahla bosan sendiri mendengarnya. Tapi Syahla tidak masalah asalkan tidak dilarang untuk kuliah di Jakarta.
Selesai berpamitan, Syahla dan Ustadz Amar pergi ke bandara dengan diantarkan Gus Sahil. Mereka memilih jalur udara karena ingin sampai lebih cepat.
Sesampainya di Jakarta, Syahla kaget karena Ustadz Amar tidak mengajaknya kembali ke kos-kosannya dulu, tapi malah ke sebuah gedung apartemen.
"Ini kamarmu," Ustadz Amar membukakan pintu sebuah ruangan. "Barang-barang yang dari kos sudah dipindahkan semua kesini. Tapi mungkin penataannya tidak sesuai selera kamu. Jadi kamu bisa merapikannya sendiri,"
Syahla memasuki calon kamarnya dengan mata memandang ke sekeliling ruangan. "Ini serius kita tinggal di sini?"
"Kenapa?" Ustadz Amar mengernyit heran. "Kamu tidak suka?"
"Eh, bukan begitu," Syahla melambaikan tangannya. "Cuma sepertinya apartemen ini besar sekali. Memangnya sewa perbulannya tidak mahal?"
Ustadz Amar tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan polos sang istri. "Untuk apa membayar sewa kalau sudah dibeli?"
"Beli?" Syahla menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Ustadz Amar yang beli apartemen ini?"
"Iya," Ustadz Amar berjalan mendekati Syahla. "Kenapa? Kamu pikir saya nggak mampu? Kalau kamu mau, saya juga masih bisa membayar kamar hotel untuk kita bulan madu,"
Bulan madu? Syahla terbelalak. Ia lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk mendorong Ustadz Amar keluar. "Ustadz! Jangan macam-macam ya! Ingat poin pertama!"
Setelah Ustadz Amar berada di luar kamar, Syahla menutup pintunya rapat-rapat.
apalagi suaminya lebih tua