Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyala Harapan Di Tengah Kekacauan
Arjuna berlutut, tubuhnya gemetar menahan sakit. Darah masih menetes dari bibirnya, dan penglihatannya mulai kabur. Namun pikirannya bekerja cepat, mencoba menganalisis serangan demi serangan Andi Wijaya.
"Kekuatan kegelapan itu… bukan hanya kekuatan fisik. Ada sumber lain. Sesuatu yang memberinya dorongan ekstra. Tapi apa?"
Andi kembali melangkah maju, siap memberikan pukulan pamungkas. Tapi sebelum itu terjadi—
"ARJUNA!"
Teriakan Kirana menembus kerumunan dan suara kekacauan. Ia berdiri di pinggir jalan, wajahnya cemas namun penuh keberanian.
"Kau bukan hanya dewa, Arjuna! Kau adalah pelindung! Kau adalah harapan! Jangan biarkan dia membuatmu lupa siapa dirimu!"
Mata Arjuna menatap Kirana. Sesuatu dalam dirinya menyala kembali. Bukan hanya kekuatan—tetapi tekad.
Di saat yang bersamaan, Bara tiba di lokasi dengan napas terengah. Melihat kondisi Arjuna, ia mengepalkan tangan.
"Aku enggak bakal diam. Kalau ini tentang melindungi orang-orang, aku ikut!"
Sementara itu, dari sisi lain lokasi, Liana, agen senior The Vault, muncul bersama sepasukan agen.
"Ayo, segera evakuasi warga! Pasukan dua, ke sisi barat, bantu polisi!"
Liana menatap Arjuna dari kejauhan. Dia menyadari, pertarungan ini bukan hanya tentang kekuatan... tapi tentang semangat yang membakar dari dalam. Ia mengambil alat komunikasi dan memberi perintah:
"Jangan ganggu pertarungan. Fokus pada pengamanan. Dan pastikan—tidak ada yang terluka lagi."
Arjuna berdiri perlahan, menatap Andi Wijaya.
"Aku tahu satu-satunya cara untuk menang bukan hanya menyerang… tapi mencari titik lemah itu. Dan aku akan menemukannya."
Dan di tengah kerusakan, debu dan api, seberkas cahaya kecil mulai tumbuh dari dada sang Dewa yang terjatuh…
Sebuah nyala harapan.
Dari kejauhan, di atas salah satu gedung tinggi yang menghadap ke lokasi pertempuran, Nakula menyaksikan segalanya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mata tajamnya menatap bagaimana Arjuna berusaha bangkit kembali, meski tubuhnya telah menerima pukulan yang luar biasa keras dari Andi Wijaya.
Nakula menyilangkan tangan di dada, matanya menyipit. Ada sedikit rasa puas melihat Arjuna akhirnya merasakan penderitaan—sesuatu yang dulu tak pernah dia alami sebagai dewa yang sombong. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang mengusiknya.
"Kenapa dia masih bisa berdiri?" pikir Nakula. "Seharusnya dia sudah kalah. Seharusnya dia sudah menyerah."
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Arjuna, meskipun terluka, masih memiliki cahaya di matanya. Cahaya yang dulu membuat Nakula selalu merasa berada dalam bayang-bayangnya.
Angin berhembus kencang di atas gedung tempat Nakula berdiri. Jubahnya sedikit berkibar, dan ia mengepalkan tangan.
"Aku ingin melihatmu jatuh, Kak. Aku ingin melihatmu merasakan betapa sakitnya menjadi yang selalu kalah."
Tapi dalam hati kecilnya, ada suara lain yang berbisik.
"Tapi… kenapa aku merasa berbeda sekarang? Kenapa ada sesuatu yang menahan aku untuk benar-benar menginginkan kehancuranmu?"
Dengan perasaan yang bercampur aduk, Nakula tetap diam di tempatnya, terus memperhatikan pertarungan yang masih berlangsung.
Arjuna mengatur napasnya, tangannya mengepal erat. Darah masih mengalir dari sudut bibirnya, tapi matanya tetap fokus pada Andi Wijaya, yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. Angin mulai berputar di sekitar tubuh Arjuna, berdesir halus tapi semakin lama semakin kencang.
Dia tahu kekuatannya belum pulih sepenuhnya, hanya lima persen dari potensi aslinya. Tapi dia tidak bisa membiarkan manusia-manusia ini dalam bahaya. Dia harus mencoba.
Andi Wijaya menyeringai, melihat Arjuna yang masih berusaha bangkit. "Hah! Masih mau melawan? Dasar keras kepala!" teriaknya, lalu melesat maju dengan pukulan bertenaga super.
Arjuna menutup matanya sejenak, lalu membuka telapak tangannya ke depan.
Dalam sekejap, semburan angin kuat keluar dari tangannya, menerjang Andi Wijaya dengan kekuatan cukup besar hingga membuatnya tersentak mundur beberapa meter. Debu dan pecahan bangunan beterbangan, membuat suasana di sekitar semakin kacau.
Andi Wijaya menyeringai, tubuhnya sedikit terdorong, tapi dia tidak terjatuh. "Hah! Jadi ini kekuatanmu? Ini tidak seberapa dibandingkan kekuatan yang diberikan kepadaku!" teriaknya sambil melompat ke arah Arjuna lagi.
Arjuna mengayunkan tangannya ke udara, membentuk pusaran angin kecil yang mulai berputar di sekitar tubuhnya. Dia mencoba meningkatkan kekuatan serangannya, tapi masih terasa lemah dibandingkan dengan apa yang biasa dia lakukan di Gunung Meru.
"Sial… kekuatanku belum cukup. Aku harus lebih pintar… lebih taktis!" pikirnya.
Sementara itu, Kirana yang berdiri tidak jauh dari situ, melihat Arjuna yang mulai berjuang dengan kekuatannya. Dia menggertakkan giginya, lalu berteriak "Arjuna! Jangan menyerah! Kamu adalah seorang dewa, bukan? Kamu pasti bisa menemukan cara untuk menang!"
Bara yang baru tiba di lokasi melihat situasi yang semakin kacau. "Kita harus melakukan sesuatu! Kita gak bisa biarin Andi Wijaya terus menghancurkan kota!" katanya dengan napas memburu.
Di sisi lain, Liana dan para agen The Vault sibuk mengevakuasi warga. Dia melirik ke arah Arjuna, mata perempuan itu sedikit menyipit. "Kalau dia memang seorang dewa… dia harus membuktikan bahwa dia pantas melindungi manusia."
Pertarungan belum selesai. Dan Arjuna tahu, jika dia tidak segera menemukan celah dalam pertahanan Andi Wijaya, maka semuanya akan berakhir dalam kehancuran.
Arjuna masih terengah-engah setelah pertarungannya yang sengit dengan Andi Wijaya. Namun, sebelum dia sempat menyusun strategi lebih lanjut, Liana tiba-tiba menarik tangannya.
Arjuna masih terengah-engah setelah pertarungannya yang sengit dengan Andi Wijaya. Namun, sebelum dia sempat menyusun strategi lebih lanjut, Liana tiba-tiba menarik tangannya.
"Ayo naik! Kita harus menjauh dari sini!"
Tanpa berpikir panjang, Arjuna segera melompat ke belakang motor sport hitam milik Liana. Dengan cekatan, Liana memutar gas sekencang mungkin, ban belakang motor berdecit keras saat mereka melesat di jalanan kota Jakarta.
Di belakang mereka, Andi Wijaya tidak tinggal diam. Dengan mata yang menyala penuh kemarahan, dia menggeram dan melompat jauh ke udara. Setiap kali dia mendarat, jalan aspal retak dan bergetar akibat kekuatan luar biasanya.
BRAAK!!
Sebuah mobil terbalik dihantamnya saat dia mengejar Arjuna dan Liana. Orang-orang masih berteriak panik, mencoba menyelamatkan diri.
Arjuna menoleh ke belakang, melihat bagaimana Andi terus melompat di atas gedung-gedung, menghancurkan beberapa bagian atap hanya untuk mengejar mereka.
"Orang ini gila! Kecepatannya hampir seperti milikku," gumamnya.
Liana menajamkan pandangannya ke depan, lalu mengerahkan seluruh kemampuannya mengendalikan motor di antara mobil-mobil yang masih berusaha keluar dari area tersebut.
"Kita harus menjauh dari pemukiman! Aku tahu tempat yang lebih luas untuk bertarung!"
Mereka berdua melesat melewati jalanan protokol yang masih ramai, menyusuri flyover dengan kecepatan tinggi. Andi, tanpa ragu, melompat melewati kendaraan di bawahnya, lalu menghantamkan tinjunya ke truk yang menghalangi jalannya, membuat truk itu terguling ke samping.
Saat mereka sampai di tikungan besar menuju kawasan Stadion Gelora Bung Karno, Liana segera menarik gas lebih dalam, memacu motornya melewati gerbang stadion.
Arjuna melompat turun begitu mereka mencapai lapangan sepak bola yang luas dan kosong.
Andi Wijaya tak butuh waktu lama untuk tiba. Dengan satu lompatan besar, dia mendarat tepat di tengah lapangan, menghancurkan sebagian rumput stadion akibat dampak dari kekuatannya.
"Sekarang kau tidak bisa lari lagi, Arjuna!" teriaknya, mengepalkan tinjunya yang bersinar dengan energi gelap.
Liana segera mundur, membiarkan Arjuna menghadapi musuhnya tanpa risiko menghancurkan lebih banyak kota.
Kini, dengan ruang bertarung yang luas, Arjuna tidak perlu lagi menahan diri.