Di suatu hari paling terpuruk di hidup Dinda, dia bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Wanita tua yang menawarkan banyak bantuan hanya dengan satu syarat.
"Jadilah wanita bayaran."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WB&CEO Bab 9 - Senyum Licik Dinda
"Kamu mau kan memaafkan aku?" tanya Dinda sekali lagi dengan suaranya yang lirih, kini bahkan kedua matanya mulai terlihat berkaca-kaca.
Menatap Alden dengan lebih dalam.
Sementara Alden tergugu, melihat wajah penuh permohonan itu kini seolah fakta sudah berbalik. Kini seolah dia yang jahat sementara Dinda adalah korban.
"Jangan hanya meminta maaf, jelaskan semua pada Liora," balas Alden, bicara dan tatapannya masih saja dingin. Memang begitulah Alden, dia hanya bersikap hangat pada wanita pilihannya.
Namun Dinda tak peduli dengan dua hal itu, yang penting dia harus buat interaksi diantara mereka terlihat dekat.
"Katamu besok mau menjelaskan semuanya ke kekasih mu itu, aku pasti akan melakukannya," terang Dinda.
"Janji," ucapnya lagi dengan mengangkat tangan kanannya dan membuat huruf V dengan kedua jari.
Alden hanya diam saja, dia bahkan hendak pergi dari sana. Namun langkahnya gagal saat dengan cepat Dinda menahan lengannya kuat.
Ini di tempat umum, Dinda yakin Alden gak akan berani menyakiti dia seperti kemarin saat berada di rumah sakit. Jadi dia akan manfaatkan keadaan ini sebaik mungkin.
Terlebih dia belum lihat ada mobil Liora yang datang kemari.
"Tunggu, jangan pergi dulu," cegah Dinda, wajahnya mulai terlihat cemas, seolah sangat takut jika Alden meninggalkannya begitu saja. Meski hanya pura-pura cemas, namun dia melakukannya dengan baik.
"Berikan aku nomor ponsel mu. Besok Mama ku sudah boleh pulang dan menjalani pengobatan di rumah, aku takut datang terlambat untuk menemui kalian, jadi aku akan menghubungi kamu kalau datang terlambat," jelas Dinda buru-buru, bicara seolah itu sungguhan.
Padahal ibunya belum boleh pulang, masih harus beberapa hari dirawat di rumah sakit. Anggap saja ini adalah Doa, pikir Dinda. Atau jika Alden kembali mengetahui kebohongannya, dia hanya harus kembali berkilah.
Dan mendengar ucapan panjang Dinda itu, Alden tak langsung mengiyakan. Dia nampak berpikir bagaimana baiknya.
Sampai dilihat olehnya Dinda yang langsung siap-siap mencatat nomor di ponsel.
"Sebutkan, berapa nomor ponsel mu," pinta Dinda.
Akhirnya dengan terpaksa Alden pun menyebutkannya.
Beberapa angka yang membuat Dinda bisa menghubunginya kapan saja.
"Al.den," ucap Dinda seolah mengeja, kedua ibu jarinya pun mulai menulis nama itu di ponselnya.
"Sebenarnya siapa yang menyuruh mu untuk merusak hubungan ku dengan Liora?" tanya Alden akhirnya, kini dia jadi ingin bertanya lebih.
Dan hal itu langsung Dinda manfaatkan dengan baik, mengulur waktu dan memperpanjang kebersamaan mereka.
"Aku tidak tahu, aku mendapatkan perintah melalui panggilan telepon. Saat aku lihat sejumlah uang masuk di rekeningku, ya sudah aku jalankan," jawab Dinda yang lagi-lagi bohong.
Namun dia bicara dengan santainya, seolah itu memang benar adanya.
"Apa nenek Gaida yang menyuruh mu?"
"Siapa itu? aku tidak mengenalnya, kan sudah ku bilang aku tidak tahu siapa yang memerintah ku. Tiba-tiba ada panggilan masuk dan meminta ku ini itu lalu dibayar."
"Mana nomor ponselnya?" Alden dengan segera mengambil ponsel milik Dinda. Untung sebelumnya Dinda sudah mengunci ponsel itu.
"Buka kuncinya."
"Iya," jawab Dinda patuh, namun dia lebih mendekat hingga tubuh mereka berjarak beberapa sentimeter saja, Alden bahkan bisa melihat pergerakan jari Dinda yang membuat pola di layar ponsel itu.
"Tapi nomornya sudah ku hapus, orang itu memberiku perintah seperti itu," jelas Dinda lagi dengan bibirnya yang tersenyum.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!" kesal Alden.
Dan membuat senyum Dinda jadi kekehan pelan. Dia benar-benar terlihat seperti seorang penggoda yang handal. Alden bahkan tanpa sadar merasa tak risih dengan wanita ini.
Tapi meski begitu, Alden tetap memeriksa ponsel Dinda, mencocokkan dengan nomor Gaida yang sudah dia hapal namun tidak ada yang sama.
Alden lalu menyerahkan kembali ponsel itu pada pemiliknya.
"Memangnya itu pekerjaan mu? jadi wanita bayaran?"
"Bukan, aku bekerja di Cafe. Bukankah kamu sudah tahu?" Dinda balik bertanya, dengan bibir yang tersenyum manis, sengaja memperlihatkan senyum andalannya itu.
Dia bahkan sedikit menunduk, kemudian menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan kembali mengangkat wajah seraya menatap kedua mata Alden.
Pergerakan manis yang membuat seorang wanita di ujung jalan sana mengepalkan tangannya kuat.
Ya, Liora sudah datang dan bisa melihat pemandangan menjijikkan itu secara langsung. Namun dia tak bisa langsung berlari dan menjambak rambut wanita Sialaan itu, karena Liora masih terjebak lampu merah yang berada tepat di depan gedung Carter Kingdom.
"Kurang ajarr! awas kamu!" geram Liora. Kini dia tak peduli apakah wanita itu selingkuhan Alden atau bukan, yang ingin dia lakukan kini hanya satu, memberikan pelajaran pada wanita sialan itu.
Karena Alden hanya lah miliknya seorang, tak ada yang boleh memiliki kecuali dia.
Dan Dinda yang tahu jika Liora sudah datang pun mulai menambahkan keberaniannya untuk menggoda pria dingin ini.
"Kamu mau pulang? kalau begitu pergilah, aku masih menunggu taksi," ucap Dinda.
Namun belum sempat Alden menjawab, dia lebih dulu bergerak cepat untuk memeluk tubuh pria ini. Pelukan erat hingga tubuh keduanya tak berjarak.
Sebelum Alden menepis pelukannya, Dinda pun melepaskan diri.
"Terima kasih Al," ucapnya dengan mata yang sendu.
"Terima kasih untuk maaf dari mu, besok giliran aku meminta maaf pada Liora," ucap Dinda lagi.
Dan entahlah, kini kenapa Alden seolah tak bisa marah. Bahkan ketika wanita ini telah lancang memeluknya lagi.
Bahkan Alden masih ingat betapa lancangnya Dinda saat dulu mencium bibirnya di depan Liora.
Tatapan mata itu benar-benar membuatnya merasa bersimpati. Lagipula Alden tahu, jika ini bukan keinginan Dinda sendiri untuk merusak hubungannya dengan Liora. Melainkan ada dalang yang lain.
Kali ini Alden tetap tak menjawab, namun dia menganggukkan kepalanya kecil.
Dan setelah itu Alden langsung pergi menuju arah parkiran di mana motornya berada, sementara Dinda mengikuti di belakang.
Mereka berdua terlihat persis seperti seorang sepasang kekasih.
"Hati-hati ya," ucap Dinda dan Alden lagi-lagi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian segera melajukan motornya untuk segera pulang.
Melihat kepergian Alden itu, Dinda tersenyum lebar. Senyum yang lama-lama jadi seringai licik. Terlebih saat dia lihat pula mobil milik Liora mulai memasuki area parkir kantor dan berhenti.
Kemudian pintu di bagian kemudi terbuka dan keluar lah mangsanya yang lain.
Senyum Dinda makin menjadi saat dia lihat Liora yang menatapnya penuh amarah.
Saat ini Dinda harus terlihat lebih menjijikkan dari pada tadi, begitulah yang diperintahkan oleh Gaida.
PLAKK! satu tamparan keras Liora layangkan di wajah Dinda.
"Dasar wanita murahaan! jalaang! PELAKORR!" pekik Liora dengan sangat kuat, hingga mencuri perhatian semua orang dan jadi pusat perhatian.
Nafasnya memburu penuh amarah.
Tak puas hanya tamparan, Liora pun menjambak rambut Dinda dan mendorongnya hingga tersungkur.
Namun diperlakukan seperti itu, Dinda malah tersenyum.
miskin😁