“Mutiara Setelah Luka”
Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.
Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.
Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 OPERASI
Kondisi Amara naik turun sepanjang masa kehamilannya. Ada hari-hari ketika ia terlihat kuat, bisa duduk lama, bahkan tersenyum saat merasakan gerakan halus dari bayi di dalam perutnya.
Namun ada juga hari ketika ia tampak sangat lemah sampai-sampai untuk membuka mata saja sulit. Kadang tiba-tiba drop, tekanan darahnya turun drastis, napasnya pendek, dan mimisan muncul tanpa tanda apa pun.
Setiap bulan, Kenzo mendampingi Amara kontrol ke dokter. Setiap kali dokter selesai memeriksa, Kenzo selalu melihat wajah dokter berubah serius. Meski dokter tidak pernah berkata kasar atau pesimis, Kenzo tahu kondisi Amara semakin memburuk.
Tapi Amara tetap bersikeras mempertahankan kandungan itu. Ia selalu berkata bahwa ia baik-baik saja walaupun wajahnya sudah seperti orang kehabisan tenaga.
Masuk usia enam bulan kehamilan, Amara mulai susah berjalan. Ototnya melemah, kadang pingsan tiba-tiba.
Dokter beberapa kali menyarankan rawat inap, tapi Amara selalu meminta izin untuk pulang karena dia ingin berada dekat keluarga.
Namun ketika usia kandungan memasuki tujuh bulan, tubuhnya benar-benar tidak mampu lagi. Suatu pagi, saat Kenzo ingin membantunya bangun dari tempat tidur, Amara tiba-tiba kehilangan kesadaran.
Napasnya tidak stabil. Pucatnya lebih parah dari sebelumnya. Tanpa menunggu waktu, Kenzo membawanya ke rumah sakit.
Di ruang IGD, Kenzo mondar-mandir, tak mampu duduk tenang. Tuan Rendra dan Bu Saras datang menyusul, diikuti kedua orang tua Amara. Semua wajah panik, semua menunggu kabar apa pun dari dokter.
Setelah serangkaian pemeriksaan cepat, dokter kandungan datang dengan wajah tegang. “Tuan Kenzo, kondisi istri Anda melemah. Kami harus segera memutuskan tindakan.”
Kenzo mengangguk cepat. “Apa yang harus dilakukan?”
“Operasi caesar darurat,” jawab dokter. “Kalau tidak dilakukan sekarang, kami khawatir nyawa janin dan ibunya sama-sama tidak kuat.”
Begitu kalimat itu keluar, ruang tunggu menjadi diam. Tidak ada satu pun yang berani bicara.
“Apakah operasi bisa menyelamatkan keduanya?” tanya Pak Damar, ayah Amara.
Dokter menghela napas. “Kami akan melakukan yang terbaik. Tapi saya harus sampaikan dari awal… peluang Amara sangat kecil. Tubuhnya terlalu lemah untuk melalui operasi besar.”
Bu Laras menutup wajahnya, menangis. Kenzo hampir jatuh berlutut ketika mendengar penjelasan itu, tapi ia menggigit bibirnya, menahan tubuhnya tetap berdiri.
“Siapkan semuanya,” kata Kenzo lirih.
Dokter langsung mengangguk dan pergi memberi instruksi.
---
Persiapan operasi berlangsung cepat. Perawat bolak-balik membawa peralatan, tabung oksigen, obat-obatan, dan segala perlengkapan operasi.
Amara dibawa ke ruang operasi dengan ranjang dorong. Kenzo berdiri di sampingnya, memegangi tangan istrinya yang dingin dan lemah.
Mata Amara terbuka sedikit, hampir tidak bertenaga. “Mas…”
“Hm, aku di sini.” Kenzo mencoba tersenyum, walau wajahnya jelas hancur.
“Anaknya… tolong jaga…” suara Amara sangat pelan.
“Kamu juga harus selamat,” ujar Kenzo, meski dirinya sendiri tidak yakin.
Amara tersenyum samar. “Semoga…”
Perawat meminta Kenzo mundur karena mereka harus mendorong Amara masuk ke ruang operasi. Pintu itu kemudian tertutup perlahan.
Kenzo berdiri di depan pintu operasi, menatapnya tanpa berkedip. Rio datang membawa air minum dan menyodorkannya, tapi Kenzo menggeleng. Ia tidak ingin pergi dari tempat itu, bahkan satu detik pun.
Satu jam berlalu. Tidak ada kabar.
Dua jam berlalu. Tidak ada kabar juga.
Semua keluarga mulai panik. Bu Saras sudah duduk sambil menahan tangis, Pak Damar berjalan mondar-mandir, dan Bu Laras tidak berhenti berdoa. Tuan Rendra hanya duduk sambil mengusap wajah, tampak semakin tua dari sebelumnya.
Setengah jam berikutnya, baru akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar sambil melepas masker. Wajahnya sangat lelah.
Semua berdiri hampir bersamaan.
“Dok… bagaimana?” suara Kenzo serak.
Dokter menatap semua orang. “Maaf… saya hanya bisa menyelamatkan satu di antara dua.”
Kalimat itu langsung membuat semua orang terdiam dan menahan napas.
Kenzo melangkah mendekat, memegang bahu dokter dengan kedua tangannya. “Siapa pun yang selamat… tolong katakan… tolong…”
Dokter menelan ludah, lalu menghela napas panjang. “Saya… saya hanya bisa menyelamatkan putra Anda.”
Bu Laras langsung lemas dan jatuh terduduk. Bu Saras menutup mulutnya sambil menangis. Pak Damar menatap kosong ke lantai, sementara Tuan Rendra menunduk dalam-dalam.
“Dia lahir prematur,” lanjut dokter. “Beratnya sangat kecil. Kami harus menaruhnya di inkubator sampai kondisinya benar-benar stabil.”
Kenzo hanya bisa terdiam. Suaranya hilang.
“Untuk istri Anda…” dokter menghentikan kalimatnya, menunduk. “Kami sudah berusaha. Tapi tubuhnya tidak kuat melalui operasi. Saya mohon maaf.”
Kenzo menjatuhkan tangannya. Lututnya melemas. Seluruh tubuhnya terasa berat seolah dunia runtuh di atas bahunya. Ia terduduk di kursi tanpa sadar, menatap lantai dengan tatapan kosong.
“Amara…” bisiknya lirih.
Pikirannya kacau. Ia membayangkan semua hal yang pernah ia lakukan: bagaimana ia memperlakukan Amara dengan dingin, bagaimana ia membentak, mengabaikan, dan meremehkannya.
Bagaimana Amara tetap tersenyum meski tubuhnya sakit. Bagaimana ia memilih mempertaruhkan nyawanya demi anak mereka.
“Andai saja…” suara Kenzo pecah.
“Andai saja aku dengar dari awal…”
“Andai saja aku tidak keras kepala…”
“Andai saja aku tidak mabuk malam itu…”
“Andai saja aku bisa memutar ulang waktu…”
Tapi semua tinggal penyesalan. Tidak ada apa pun yang bisa ia ubah sekarang.
Rio yang melihat Kenzo seperti orang kehilangan arah hanya bisa memegang bahunya. “Pak… kuat, Pak…”
Kenzo tidak menjawab. Ia hanya menunduk dalam. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Dokter kembali bicara dengan suara hati-hati. “Kami akan bawa bayinya ke ruang NICU. Anda bisa melihatnya setelah kami stabilkan kondisinya.”
Kenzo tidak bergerak. Semua orang melihatnya dengan tatapan penuh iba, tetapi tidak ada yang bisa menghibur karena rasa sakitnya terlalu besar.
Setelah beberapa menit, suster keluar membawa kereta kecil berisi inkubator bayi prematur. Bayi itu sangat kecil, lebih kecil dari ukuran normal. Tubuhnya dipenuhi kabel dan selang oksigen.
Kenzo berdiri perlahan. Langkahnya berat, seakan satu langkah memakan seluruh tenaga yang ia punya.
Ia mendekat ke inkubator itu… menatap bayi yang baru saja kehilangan ibunya.
Dan ketika ia menyentuh kaca inkubator, mulutnya bergetar.
“Ini… semua salahku…”
Suster memanggil pelan. “Tuan Kenzo… kami harus membawa bayi ini ke NICU.”
Kenzo mengangguk tanpa suara.
Inkubator itu perlahan dibawa menjauh.
Dan Kenzo hanya bisa berdiri menatapnya…
Tanpa tahu bagaimana ia harus menjalani hari berikutnya…
— bersambung —
Haii selamat pagi
Tinggalkan jejak kalian
Like komen subscribe vote and hadiah nya juga ya...
Selamat membaca. ...