Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: ANTARA KEADILAN DAN DETAK JANTUNGNYA
Pintu mobil sedan mewah itu tertutup dengan suara gedebuk yang solid, kedap suara, dan seketika memutuskan Firman dari keriuhan bising di luar Rutan Medaeng. Di dalam, aroma parfum cendana yang mahal dan udara dingin dari AC yang diatur sempurna menyapa indranya. Namun, bagi Firman, atmosfer di dalam kabin ini terasa lebih menyesakkan daripada sel tahanan yang baru saja ia tinggalkan.
Di sampingnya, Dr. Syarifuddin sang Menteri Kesehatan yang wajahnya selalu menghiasi layar televisi sebagai simbol kebijakan medis nasional duduk dengan ketenangan yang mengerikan. Pria itu menyandarkan punggungnya pada jok kulit yang empuk, jemarinya yang terawat rapi mengetuk-ngetuk pelan di atas tas kerja kulit buaya miliknya.
"Mobil ini anti-peluru, Firmansah. Dan yang lebih penting, mobil ini juga anti-penyadapan," suara sang Menteri terdengar rendah, tenang, namun memiliki wibawa yang mampu mengintimidasi lawan bicaranya. "Kita bisa bicara dengan sangat jujur di sini. Sesuatu yang jarang bisa kita lakukan di dunia luar."
Firman menatap lurus ke depan, ke arah sopir yang matanya tertutup kacamata hitam. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap datar. Topeng "Smiling Killer"-nya terpasang sempurna. "Jujur? Saya pikir kejujuran adalah hal terakhir yang ingin Anda bahas setelah apa yang terjadi pada ayah saya dua puluh tahun lalu."
Syarifuddin tersenyum tipis, sebuah senyum kebapakan yang mematikan. "Ayahmu, Baskara... dia adalah pria yang sangat keras kepala. Sama sepertimu. Dia memiliki idealisme yang membutakan matanya dari realitas kekuasaan. Dia pikir sebuah berita bisa meruntuhkan struktur yang sudah dibangun selama puluhan tahun."
Tiba-tiba, ponsel Firman yang ia letakkan di dasbor mobil bergetar hebat. Sebuah pesan masuk dari Rendy. Mata Firman melirik sekilas, dan seketika itu juga darahnya seolah membeku.
Rendy: MAN! YASMIN! Dia baru saja diseret masuk ke van hitam di parkiran depan Rutan! Gue nggak bisa ngejar karena ban mobil gue dikempesin! Mereka ke arah tol Juanda!
Firman mencoba meraih ponselnya, namun tangan Dr. Syarifuddin dengan cepat menekan pergelangan tangan Firman. Tekanannya tidak keras, namun cukup untuk menunjukkan bahwa Firman tidak memiliki kendali di sini.
"Jangan terburu-buru, Firmansah. Gadis itu... dr. Yasmin, bukan? Dia aman selama kamu kooperatif," ucap Syarifuddin dengan nada datar, seolah-olah membicarakan cuaca. "Dia adalah cucu dari sahabat saya, Hendrawan. Saya tidak punya niat menyakitinya, kecuali jika ayahnya atau jurnalis kesayangannya memaksanya."
Firman menoleh, menatap Syarifuddin dengan sorot mata yang membara. "Anda menculiknya? Di depan Rutan? Anda benar-benar sudah kehilangan akal sehat?"
"Saya hanya mengamankan aset," balas Syarifuddin. Ia merogoh sesuatu dari saku jasnya sebuah cerutu kecil yang tidak dinyalakan. "Dua puluh tahun lalu, Baskara mencuri sebuah berkas inti dari Proyek Lentera. Berkas yang berisi daftar rekening bank yang menerima aliran dana operasional dari luar negeri. Berkas itu tidak pernah ditemukan polisi. Dan saya tahu, berkas itu ada padamu sekarang. Serahkan padaku, dan Yasmin akan turun di gerbang tol berikutnya dengan selamat."
Firman tertawa getir. Tawa yang pecah di tengah kesunyian mobil mewah itu. "Dua puluh tahun Anda menunggu, dan Anda pikir saya akan menyerahkannya begitu saja? Berkas itu adalah satu-satunya alasan kenapa ayah saya dibunuh. Jika saya menyerahkannya, maka saya juga yang membunuh ayah saya untuk kedua kalinya."
"Jika kamu tidak menyerahkannya, maka kamu yang akan membunuh Yasmin hari ini," potong Syarifuddin tajam. Ia menunjukkan sebuah layar tablet kecil yang terhubung dengan kamera di dalam van hitam.
Di layar itu, Firman melihat Yasmin. Tangan perempuan itu diikat, mulutnya ditutup lakban, dan wajahnya dipenuhi ketakutan yang luar biasa. Air mata Yasmin mengalir deras, membasahi kain penutup mulutnya. Ia meronta, namun pria-pria berbadan besar di sampingnya menekan tubuhnya dengan kasar.
Melihat pemandangan itu, pertahanan mental Firman retak. Level "Smiling Killer"-nya runtuh, berganti menjadi kemarahan primitif seorang pria yang melihat wanitanya disakiti. Ia mencengkeram kerah baju sang Menteri, mengabaikan sopir yang kini sudah menodongkan senjata ke arahnya.
"Lepaskan dia! Sekarang!" geram Firman.
"Pilihan ada di tanganmu, Jurnalis," Syarifuddin tidak berkedip. "Keadilan untuk orang mati yang sudah membusuk di tanah, atau keselamatan untuk wanita yang masih bernapas di sampingmu? Kamu punya waktu sepuluh menit sebelum van itu sampai di sebuah gudang di Sidoarjo yang... katakanlah, tidak terdaftar di peta."
Di Dalam Van Hitam, Menuju Sidoarjo.
Yasmin merasa dunianya gelap. Kepalanya pening akibat hantaman benda tumpul saat ia diseret masuk tadi. Setiap kali van itu meloncati lubang di jalan, luka di hatinya terasa lebih perih daripada luka di fisiknya.
Ia mendengar suara pria-pria di sekitarnya tertawa kasar, membicarakan tentang uang yang akan mereka terima. Namun, di tengah ketakutannya, Yasmin mencoba mengingat suara Firman. Ia teringat bagaimana Firman menatapnya di Taman Bungkul kemarin. Ia teringat janji tentang Level 4.
“Mas Firman... jangan datang. Tolong, jangan korbankan apa pun demi aku,” batin Yasmin menjerit, meski yang keluar hanya suara erangan teredam di balik lakban.
Ia tahu tentang Proyek Lentera sekarang. Ia tahu keluarganya terlibat. Dan ia tahu betapa pentingnya berkas itu bagi Firman. Jika Firman menyerahkannya, maka perjuangan Firman selama ini akan sia-sia. Yasmin lebih baik mati daripada harus menjadi alasan kegagalan Firman dalam mengungkap kebenaran.
Tiba-tiba, ia merasakan van itu berbelok tajam. Ia mendengar suara klakson yang bersahut-sahutan. Dan dari sela-sela kain penutup matanya yang sedikit longgar, ia melihat cahaya lampu biru yang berputar-putar.
Polisi? Ataukah ambulans?
Kembali ke Mobil Menteri.
Firman perlahan melepaskan cengkeramannya pada kerah Syarifuddin. Napasnya memburu. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba memanggil kembali rasionalitasnya yang tersisa. Sebagai jurnalis investigasi, ia dilatih untuk tidak pernah bernegosiasi dengan teroris. Tapi Yasmin bukan sekadar "kasus". Yasmin adalah pokok hidupnya.
"Baik," ucap Firman lirih. "Saya akan menyerahkan berkas itu."
Syarifuddin tersenyum menang. "Pilihan yang bijaksana, Firmansah. Di mana berkasnya?"
"Saya menyembunyikannya di dalam sebuah loker di Stasiun Gubeng. Kuncinya ada di saku tas saya yang tertinggal di mobil Rendy," jawab Firman. Ia berbohong lagi. Berkas itu sebenarnya ada di tangan Rendy sekarang. Firman hanya butuh waktu. "Tapi saya butuh bukti kalau Yasmin benar-benar akan dilepaskan."
"Sopir, hubungi unit satu. Katakan untuk berhenti di rest area kilometer 26," perintah Syarifuddin.
Mobil sedan mewah itu melaju menembus kemacetan Surabaya, menuju jalan tol. Firman menatap ke luar jendela. Ia melihat baliho-baliho besar yang memajang wajah Dr. Syarifuddin dengan jargon "Kesehatan untuk Semua". Ia merasa muak. Dunia ini dibangun di atas tumpukan kebohongan yang rapi.
Tiba-tiba, ponsel Firman bergetar lagi. Kali ini panggilannya masuk dari Rendy. Syarifuddin memberikan isyarat agar Firman mengangkatnya dan mengaktifkan pengeras suara.
"Man! Lo di mana?!" suara Rendy terdengar panik namun ada nada kemenangan di sana. "Gue baru saja kirim rekaman video penculikan Yasmin ke semua grup redaksi nasional dan akun-akun viral! Seluruh Surabaya sekarang lagi nyari van hitam itu! Dan satu lagi, Man... gue sudah lapor ke unit PJR Polda Jatim kalau ada van yang diduga bawa narkoba. Mereka lagi ngepung van itu sekarang di tol!"
Wajah Dr. Syarifuddin berubah drastis. Ketenangannya menguap. "Apa?! Kamu... kamu berani melakukan ini?"
Firman menoleh ke arah sang Menteri, dan kali ini, senyum "Smiling Killer"-nya muncul kembali. Sebuah senyum yang sangat tulus dan mematikan. "Saya jurnalis, Pak Menteri. Saya tidak pernah bekerja sendirian. Anda meremehkan kekuatan jaringan informasi di era digital ini. Anda pikir Anda bisa membungkam satu orang, padahal Anda sedang berhadapan dengan jutaan mata."
"Sopir! Putar balik! Sekarang!" teriak Syarifuddin panik.
"Terlambat," ucap Firman. Di kejauhan, ia melihat iring-iringan mobil polisi melesat melewati mereka dengan sirine yang memekakkan telinga. "Van itu sudah terkepung. Dan jika Yasmin lecet sedikit saja, video Anda yang sedang duduk di samping saya sekarang akan langsung terunggah dengan narasi sebagai otak penculikan."
Syarifuddin gemetar. Ia menyadari bahwa ia telah terjebak dalam permainannya sendiri. Ia memiliki kekuasaan, tapi Firman memiliki arus informasi.
"Kamu akan menyesal, Firmansah! Kamu tidak tahu siapa yang kamu lawan!" ancam Syarifuddin.
"Saya tahu siapa yang saya lawan," balas Firman dingin. "Saya melawan orang yang membunuh ayah saya. Dan saya tidak akan berhenti sampai Anda berada di balik jeruji besi yang sama dengan Aris."
Tol Juanda, Kilometer 25.
Van hitam itu terpaksa berhenti karena jalanan di depan telah diblokade oleh dua mobil polisi PJR. Para penculik panik. Mereka mencoba berbalik arah, namun dari belakang, mobil Rendy dan beberapa jurnalis motor lainnya sudah mengunci posisi mereka.
"Keluar! Tangan di atas kepala!" teriak petugas polisi melalui pengeras suara.
Yasmin merasakan pintu van dibuka dengan kasar. Ia ditarik keluar. Lakban di mulutnya dicabut, membuatnya merintih kesakitan.
"Yasmin!"
Suara itu. Yasmin menoleh. Ia melihat Firman berlari ke arahnya, mengabaikan petugas polisi yang mencoba menghalangnya. Firman menabrak kerumunan itu, matanya hanya tertuju pada Yasmin.
Begitu sampai di depan Yasmin, Firman langsung memeluknya. Ia mendekap kepala Yasmin di dadanya, seolah-olah ingin melindunginya dari seluruh kekejaman dunia. Yasmin menangis sejadi-jadinya, tubuhnya gemetar hebat di dalam pelukan Firman.
"Maafkan saya... maafkan saya terlambat..." bisik Firman, suaranya pecah oleh emosi yang akhirnya tumpah.
"Aku takut, Firman... aku takut nggak bisa lihat kamu lagi..." Yasmin terisak di balik kemeja Firman.
Firman melepaskan pelukannya sejenak, ia menangkup wajah Yasmin dengan kedua tangannya. Ia memeriksa setiap inci wajah Yasmin, memastikan tidak ada luka serius. "Kamu aman sekarang. Saya janji, ini yang terakhir. Tidak akan ada lagi yang berani menyentuhmu."
Rendy datang menghampiri mereka dengan napas tersengal-sengal. "Man! Menteri itu... dia kabur!"
Firman menatap ke arah mobil sedan mewah yang menjauh di kejauhan. "Biarkan dia pergi untuk sekarang, Ren. Dia tidak bisa lari dari jejak digital yang baru saja kita buat. Bukti penculikan itu sudah cukup untuk memicu penyelidikan besar-besaran terhadap kementeriannya."
Firman membantu Yasmin berdiri. Ia menyampirkan jaketnya ke bahu Yasmin. Di tengah hiruk-pikuk polisi yang menangkap para penculik dan para jurnalis yang mulai mengambil gambar, Firman dan Yasmin berdiri diam, saling menggenggam tangan dengan sangat erat.
"Firman..." panggil Yasmin pelan.
"Ya?"
"Berkas itu... apa masih ada?"
Firman mengangguk. "Masih. Dan saya tidak akan menyerahkannya pada siapa pun, kecuali pada pengadilan yang jujur."
Yasmin tersenyum lemah. "Terima kasih sudah memilihku tadi. Meski aku tahu kamu hampir menyerahkan keadilan ayahmu demi aku."
"Keadilan ayah saya tidak ada artinya jika saya harus kehilangan masa depan saya, Yas," jawab Firman tulus. "Dan masa depan saya... itu adalah kamu."
Malam itu, Surabaya menjadi saksi bagaimana sebuah konspirasi besar mulai retak. Dr. Syarifuddin mungkin masih memiliki jabatan, namun reputasinya mulai hancur di media sosial. Berita tentang penculikan dr. Yasmin Paramitha dan keterkaitannya dengan Proyek Lentera menjadi viral dalam hitungan jam.
Namun, di sebuah rumah tua di pinggiran Surabaya, seseorang yang selama ini mengamati dari kejauhan sedang menatap layar monitor. Ia melihat wajah Firman dan Yasmin di berita.
"Jadi... Firmansah akhirnya menemukan berkas itu," ucap pria misterius itu sambil mengelus sebuah foto lama foto empat orang pria di depan gedung rumah sakit dua puluh tahun lalu. "Tapi dia tidak tahu, bahwa ada satu halaman di berkas itu yang sengaja dihilangkan oleh ayahnya. Halaman yang berisi tentang siapa sebenarnya ibu kandung Yasmin."
Pria itu tersenyum gelap. "Permainan ini baru saja dimulai, Jurnalis. Level 4-mu akan menjadi neraka jika kamu tahu siapa yang kamu cintai sebenarnya."
Firman dan Yasmin memutuskan untuk bersembunyi di sebuah rumah aman milik senior jurnalis Firman di Malang. Di sana, Firman mulai mempelajari berkas Proyek Lentera secara lebih mendalam. Ia menemukan sebuah fakta mengejutkan: Dr. Syarifuddin bukan hanya pembunuh ayahnya, tapi dia juga memiliki hubungan darah yang sangat dekat dengan seseorang di masa lalu Firman yang selama ini dianggap sudah meninggal. Di saat yang sama, Yasmin mendapatkan telepon dari ibunya di Surabaya yang mengatakan bahwa ayahnya, Dokter Hendrawan, tiba-tiba menghilang secara misterius setelah menyerahkan sebuah kunci loker rahasia kepada ibunya. Apa isi loker itu? Dan benarkah Yasmin dan Firman sebenarnya memiliki keterikatan masa lalu yang lebih gelap daripada sekadar musuh keluarga?