Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
8. Ramalan Lontar dan Bunga Kantil
Pagi itu, suasana Perpustakaan Istana terasa sejuk dan berdebu. Kirana duduk bersila di lantai kayu, dikelilingi daun lontar kuno. Di hadapannya, Pangeran Dipa sedang membaca naskah dengan kacamata kembarnya (barang langka dari pedagang Eropa).
Raden Arya berdiri bersandar di pilar dekat pintu, melipat tangan di dada. Matanya terpejam seolah tidur, tapi Kirana tahu ‘Radar’-nya menyala 360 derajat.
“Ketemu!” Seru Dipa tiba-tiba, memecah keheningan.
Kirana langsung mendekat. “Apa Mas? Ada tutorial bikin mesin waktu?”
Dipa menunjuk sebuah ilustrasi pudar di lembar lontar tua. Gambar itu menunjukkan seorang wanita yang turun dari langit di tengah lingkaran cahaya, saat bulan berwarna merah darah.
“Ini Serat Cakra Manggilingan.” Jelas Dipa antusias. “Tertulis di sini: ‘Ketika Sang Ratih memerah darah, gerbang Jagat Raya terbuka. Pengelana Bintang akan kembali ke asalnya, diiringi kidung lesung bertalu.”
Kirana menelan ludah. “Bulan merah…Gerhana Bulan Total?”
“Benar.” Dipa menghitung dengan jari-jarinya. “Menurut penanggalan bintang, Gerhana Bulan Darah akan terjadi…tiga hari lagi, tepat tengah malam.”
Jantung Kirana berdegup kencang. Tiga hari. Cuma tiga hari lagi dia bisa pergi dari zaman antah berantah ini dan balik ke kasur empuknya, Wifi kencang, dan skincare lengkap.
Harusnya dia senang. Harusnya dia loncat kegirangan.
Tapi matanya tanpa sadar melirik ke arah pilar.
Arya membuka matanya. Tatapan mereka bertemu. Datar. Dingin. Tak terbaca.
“Bagus.”suara Arya memecah keheningan, nadanya sedingin es. “Tiga hari lagi. Persiapkan dirimu. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke museum tempat kau muncul.”
Arya menegakkan tubuhnya, lalu berbalik pergi tanpa menoleh lagi. Langkahnya terdengar lebih keras dari biasanya, seolah dia sedang marah pada lantai kayu.
“Kakang Arya sepertinya…tidak rela.”gumam Dipa pelan sambil menatap punggung kakaknya.
Kirana tertawa hambar. “Ngaco. Dia pasti seneng beban hidupnya berkurang satu.”
Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa nyeri yang aneh. Rasa nyeri yang tidak ada hubungannya dengan maag atau lapar.
Malam Harinya, Paviliun Cakra.
Malam ini udara terasa berbeda. Lembap, berat, dan…berbau aneh.
Kirana berguling-guling di dipan bambunya, tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan rencana kepulangan. Apa gue beneran siap ninggalin semua ini? Ninggalin Laras? Ki Gedeng? Mas Arya?”
Tiba-tiba, hidungnya menangkap aroma menyengat.
Wangi bunga kantil. Dan bau kemenyan bakar.
“Laras? Lo lagi maskeran ya?”panggil Kirana.
Tidak ada jawaban. Sunyi. Bahkan suara jangkrik yang biasanya ramai, malam ini tidak terdengar.
Tiba-tiba, dada Kirana terasa sesak. Sangat sesak. Rasanya seperti ada batu besar yang menindih paru-parunya.
“Ugh…”
Kirana mencoba bangun, tapi tubuhnya kaku. Ketindihan? Sleep paralysis? Pikirnya panik.
Tapi ini beda. Ia merasakan hawa panas menjalar di punggungnya, seolah-olah kulitnya disetrika. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya ingin menjerit, tapi suaranya tidak keluar.
Di sudut kamar yang gelap, ia melihat bayangan hitam tinggi besar. Bayangan itu tidak punya wajah, hanya sepasang mata merah yang menyala. Sosok itu mendekat pelan.
Santet, batin Kirana horor. Si Ular Kobra main dukun!
“Mati kau…jauhi milikku…”bisikan suara wanita terdengar di telinganya, mirip suara Dyah Ayu tapi lebih parau dan mengerikan.
Bayangan itu mencekik leher Kirana. Napasnya putus. Pandangannya mulai gelap.
Mas Arya…tolong…
BRAK!
Pintu kamar Kirana di dobrak hingga engselnya lepas.
Cahaya obor menyilaukan masuk. Raden Arya berdiri di sana, tapi kali ini dia tidak memegang pedang. Di tangan kanannya, ia menggenggam sebuah keris hitam yang ditarik dari warangkanya—Keris Kyai Sengkelat.
“ENYAH!”
Teriakan Arya menggelegar, bukan seperti suara manusia, tapi seperti auman harimau.
Ia mengacungkan keris itu ke arah sudut kamar yang gelap. Cahaya kebiruan memancar dari bilah keris.
Bayangan hitam itu menjerit—suara lengkingan yang memecahkan kaca jendela—lalu terkabar menjadi asap hitam dan menghilang menembus atap.
Tekanan di dada Kirana hilang seketika.
“Hah…Hah…” Kirana terbatuk-batuk hebat, menghirup udara rakus. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin.
Arya segera melemparkan kerisnya ke lantai dan berlari menghampiri Kirana. Ia mengangkat tubuh gadis itu ke pangkuannya.
“Kirana! Lihat aku! Kirana!”
Arya menepuk pipi Kirana agak keras. Wajah sang Panglima pucat, matanya liar penuh ketakutan.
“Pa-panas…”rintih Kirana. “Punggung gue…panas…”
Arya segera membalikkan tubuh Kirana. Ia menyobek sedikit bagian belakang kebaya tidur Kirana (demi keadaan darurat).
Di punggung putih itu, tercetak jelas memar merah berbentuk telapak tangan besar yang seolah melepuh.
“Teluh Brajamusti.”desis Arya, rahangnya mengeras sampai terdengar bunyi gemeretak gigi. “Dyah ayu…kau sudah melewati batas.”
Arya menoleh pada Laras yang baru datang dengan wajah ketakutan membawa baskom air.
“Laras! Ambil garam kasar dan air zam-zam sisa haji Ki Ageng! Cepat!”
Arya kembali menatap Kirana. Ia meletakkan telapak tangannya yang kasar di atas memar di punggung Kirana, lalu memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra Jawa Kuno.
Kirana merasakan aliran hangat mengalir dari tangan Arya, perlahan mengusir rasa panas yang menyiksa itu. Rasa sakitnya mereda, digantikan rasa kantuk yang luar biasa.
“Mas Arya…”bisik Kirana lemah, kepalanya bersandar di dada bidang Arya. “Gue…gue belum mau mati…”
Arya membuka mata. Keringat menetes dari dahinya (mentransfer energi dalam itu melelahkan). Ia mendekap Kirana erat, dagunya bertumpu di puncak kepala gadis itu.
“Kau tidak akan mati,”bisik Arya di telinga Kirana, suaranya bergetar menahan emosi. “Tiga hari lagi kau akan pulang. Dan sampai saat itu tiba, tidak ada satu pun demit atau dukun yang boleh menyentuhmu. Aku bersumpah demi nyawaku.”
Kirana tersenyum tipis sebelum kesadarannya menghilang, jatuh tertidur dalam pelukan pelindungnya.
Di luar, bulan bersinar terang, namun perlahan bayang-bayang merah mulai mengintip di ujungnya. Gerhana sudah dekat. Dan perang antara logika dan masa depan melawan mistis masa lalu baru saja di mulai.
Penjaga Malam Yang Tak Tidur.
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Suara burung hantu terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Kirana terbangun karena rasa haus yang mencekik. Punggungnya masih terasa nyeri, berdenyut tumpul seperti habis dipukul palu godam, tapi rasa panas membakar itu sudah hilang.
Ia mengerjap-ngerjap, matanya menyesuaikan dengan cahaya temaram lampu minyak di sudut ruangan.
“Jangan bergerak dulu,”suara berat berbisik di dekatnya.
Kirana menoleh. Jantungnya berdesir.
Raden Arya duduk di kursi kayu di samping dipan bambunya. Ia tidak tidur. Panglima itu duduk tegap dengan tangan bersedekap, matanya tajam menatap pintu dan jendela secara bergantian, seolah siap menerkam apa pun yang berani masuk.
Di pangkuannya, keris Kyai Sengkelat terhunus tanpa sarung, memancarkan kilau logam yang dingin.
“Mas Arya…”suara Kirana serak. “Lo…lo nggak tidur?”
Arya menoleh. Wajahnya terlihat lelah, ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, tapi tatapannya melembut saat melihat Kirana sudah sadar.
“Minumlah,” Arya tidak menjawab pertanyaan itu. Ia mengambil cangkir tanah liat berisi air, lalu dengan telaten membantu mengangkat sedikit kepala Kirana agar bisa minum.
Air sejuk membasahi tenggorokan Kirana. Rasanya seperti air surga.
“Makasih,”bisik Kirana. Ia kembali berbaring. “Mas, tidurlah. Gue udah nggak apa-apa. Ada Laras di luar kan?”
“Laras tidur. Dia kelelahan menangisimu,”jawab Arya datar. Ia mengambil kain bersih yang direndam dalam mangkuk berisi tumbukan daun sirih dan kunyit dingin.
“Berbaliklah sedikit. Aku harus mengganti kompres lukamu.”
Kirana menurut. Ia memiringkan tubuhnya, meringis pelan saat kain kebaya tidurnya yang robek bergesekan dengan kulit.
Arya menempelkan kompres herbal itu ke punggung Kirana dengan gerakan yang sangat hati-hati—kontras sekali dengan tangannya yang biasa memegang pedang pembunuh. Sensasi dingin ramuan itu meredakan denyutan nyeri di kulit Kirana.
“Mas…”panggil Kirana pelan, wajahnya menghadap ke dinding anyaman bambu.
“Hm?”
“Kenapa lo lakuin ini semua? Maksud gue…ngusir setan, ngeronda malem-malem, ngompres punggung gue…ini kan bukan kerjaan Panglima.”
Hening sejenak. Hanya terdengar suara jangkrik dan napas teratur Arya.
“Karena aku takut,”jawab Arya akhirnya. Suaranya rendah nyaris tak terdengar.
Kirana tertegun. Raden Arya? Takut?
“Takut apa?”
“Takut jika aku memejamkan mata sedetik saja…kau akan hilang,” Arya menghela napas panjang. “Entah diambil oleh demit suruhan Dyah Ayu, atau diambil oleh cahaya bulan yang akan membawamu pulang tiga hari lagi.”
Kirana merasakan matanya memanas. Ia berbalik pelan, menatap wajah Arya dari posisi berbaring.
“Lo…lo nggak mau gue pulang?”tanya Kirana hati-hati.
Arya menatap mata Kirana dalam-dalam. Di mata itu, Kirana melihat badai emosi yang ditahan kuat-kuat. Keinginan untuk menahan, tapi sadar akan kewajiban untuk melepaskan.
Arya mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kirana dengan punggung jari-jarinya.
“Tempatmu bukan di sini, Kirana. Di sini tidak ada ‘listrik’, tidak ada ‘internet’, tidak ada ‘pesawat’. Di sini hanya ada perang, darah, dan intrik kotor,”ucap Arya getir. “Aku tidak cukup egois untuk menahan bidadari tetap tinggal di neraka bersamaku.”
Kirana menggenggam tangan Arya yang ada di pipinya. Tangan itu kasar, penuh kapalan, tapi terasa sangat hangat dan aman.
“Tapi di sana…nggak ada lo, Mas,”bisik Kirana, air mata menetes dari sudut matanya.
Rahang Arya mengeras. Ia menarik tangannya perlahan, seolah sentuhan itu menyakitinya.
“Tidurlah,”perintah Arya tegas, kembali memasang topeng dinginnya, meski matanya berkaca-kaca. “Aku akan menjagamu sampai matahari terbit. Tidak akan ada yang menyentuhmu. Bahkan nyamuk sekalipun.”
Kirana ingin membantah, ingin bicara lebih banyak, tapi pengaruh obat herbal dan kelelahan tubuhnya menariknya kembali ke alam mimpi.
Hal terakhir yang ia lihat sebelum matanya tertutup rapat adalah siluet punggung Raden Arya yang duduk tegak seperti patung batu, menjaga nyawanya dalam diam di tengah kegelapan malam.