NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kebebasan Semu

Azey menghela napas panjang setelah sarapan yang terasa hambar. "Baiklah... kau boleh kuliah," ucapnya dengan suara berat namun tenang. Matanya menghunus Taeri, memberi tahu bahwa ini bukan tawaran, melainkan dekrit. "Tapi... aku yang antar dan jemput. Setiap. Hari. Kalau kau menolak, lupakan saja dunia luar. Tinggallah di sini sampai rambutmu memutih, jangan harap bisa keluar satu meter pun dari rumah ini."

Taeri mengerutkan kening, bibirnya maju membentuk garis keras. "Harus setiap hari?" keluhnya, menendang ujung sepatunya, melampiaskan kekesalan. "Kuliah saja sudah seperti mimpi, sekarang malah serasa dipenjara di... Alcatraz! Lagipula, kenapa aku harus kabur? Kau pria gila yang menakutkan, aku pasti kembali, walau dengan paksaan!"

Azey mengabaikan protes Taeri. Ia melangkah mendekat, meraih pinggang Taeri, menariknya hingga tubuh mereka bersentuhan. Rengkuhannya lembut namun tak terbantahkan. "Jangan harap bisa melawanku dengan rengekan seperti itu. Kalau mau kuliah, ikuti aturanku," bisiknya tepat di telinga Taeri, membuat bulu kuduknya meremang.

"Aku bukan anak kecil yang perlu ditemani ke mana-mana! Kenapa kau begitu senang memaksa?" sentak Taeri, matanya berkilat marah.

Azey mengangkat alis, senyum dingin bermain di bibirnya. "Diam," desisnya rendah, namun sarat ancaman. "Kalau kau terus menggerutu... aku tidak akan ragu menguncimu di kamar. Jangankan kuliah, melihat matahari pun tidak akan bisa," ancamnya dengan nada manis yang mengerikan.

"Terserah kau saja, pria gila!" balas Taeri ketus, meski dalam hatinya mencelos.

Mereka keluar dari mansion menuju mobil sport yang sudah menunggu. Dalam perjalanan satu jam menembus hutan pinus menuju kota, keheningan terasa mencekik. Azey memarkirkan mobil tepat di depan gerbang kampus Taeri. Ia turun lebih dulu, lalu dengan gerakan anggun namun dingin, membukakan pintu untuk Taeri. Udara pagi menyapu wajah Taeri, namun tatapan Azey tetap terpaku padanya, mengawasinya seperti elang.

Seketika, bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa mahasiswa menoleh, mata mereka memancarkan campuran penasaran dan kagum. "Eh... itu Taeri, kan? Sama Tuan Azey? Mereka pacaran?" bisik seseorang di tengah kerumunan.

Taeri menoleh ke Azey, matanya berkilat marah dan frustrasi. "Ini semua gara-gara kau!" desisnya, hampir tidak terdengar. "Kalau aku datang sendiri, aku tidak akan jadi pusat perhatian seperti ini! Sekarang aku pasti jadi bahan gosip seantero kampus! Aku bisa mati kalau mereka tahu pria yang mengantarku ini seorang pembunuh, pemerkosa, dan... psikopat!"

Ia menatap sekeliling, merasakan tatapan mahasiswa lain menusuk kulitnya. Beberapa dari mereka terlihat takut, sementara yang lain memandangnya dengan rasa ingin tahu yang mengerikan.

Azey menatap Taeri dengan mata lelah, berusaha meredam emosinya. "Sudahlah, jangan mengomel terus," ucapnya datar. "Sejak pagi kau tidak berhenti mengomel, aku... muak."

Tanpa peringatan, Azey menarik pinggang Taeri, mendekatkan tubuh mereka hingga tidak ada jarak sedikit pun. Lalu, dengan gerakan yang lembut namun memaksa, ia mencium bibir Taeri. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi tuntutan, seolah ingin membungkam semua keluhan Taeri. Taeri tidak membalas, namun juga tidak menolak. Ia membiarkan Azey merajai bibirnya, merasakan amarah dan ketidakberdayaannya bercampur aduk.

"Wah, ternyata Tuan Azey memang hot banget," gumam seorang mahasiswi yang menyaksikan adegan tersebut.

Azey mengakhiri ciuman dengan kasar, napasnya yang panas menggelitik bibir Taeri yang bergetar. Matanya berubah menjadi obsidian dingin, seolah ciuman tadi hanya jeda dari badai yang siap meledak.

Dengan suara yang dalam dan mengancam, ia berbisik, “Jangan berani mendekati pria mana pun di kampus ini.” Tatapan matanya menghujam, tak memberi celah untuk bantahan. “Jika kau melanggarnya… aku pastikan kau takkan pernah menginjakkan kaki di kampus ini lagi. Selamanya.”

Taeri menelan ludah, berusaha meredam gemuruh di dadanya. Ia balas menatap Azey dengan alis terangkat, menantang. “Tak perlu mengancam,” desisnya, kekesalan merayapi setiap suku kata. “Aku tak serendah dirimu.”

Ia mengibas tangannya di udara, seolah mengusir lalat pengganggu. “Sekarang pergilah. Aku muak melihat wajahmu.”

Tanpa menunggu reaksi, Taeri berbalik dan berjalan cepat menuju gerbang kampus, rambutnya mengibas liar, menyiratkan gejolak dalam dirinya. Ia tak ingin terlihat lemah, tak ingin Azey melihatnya hancur.

Di belakangnya, Azey terpaku beberapa saat, menatap punggung Taeri yang menjauh. Rahangnya mengeras, amarah membara di matanya. Tanpa sepatah kata pun, ia masuk kembali ke mobilnya, pintu tertutup dengan bunyi dingin yang menggantung di udara.

Dari lantai dua gedung kampus, Yuna bersandar di pagar, matanya terpaku pada sosok Taeri yang berjalan tergesa. Alisnya bertaut, hatinya diliputi tanya.

“Taeri menghilang semalam… bahkan dua hari,” gumamnya lirih pada diri sendiri. “Dan sekarang… tinggal bersama seorang pembunuh?” Napasnya tercekat, bayangan Taeri yang gemetar saat menyebut nama pria itu kembali menghantuinya.

Namun, pemandangan yang baru saja disaksikannya terasa janggal.

Ciuman. Di depan gerbang kampus.

Seolah mereka adalah sepasang kekasih yang lama terpisah.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Taeri?” bisiknya getir.

Tanpa ragu, Yuna berbalik dan berlari menuruni tangga, telapak tangannya berkeringat, perpaduan antara panik dan keinginan melindungi sahabatnya. Ia harus menemui Taeri, memastikan keadaannya baik-baik saja… atau setidaknya mengetahui kebenaran yang disembunyikan.

Di ambang pintu kelas, senyum Taeri langsung merekah begitu matanya menangkap sosok Yuna. Senyum yang terlampau cerah, kontras dengan atmosfer pagi yang dipenuhi bisik-bisik mencurigakan.

"Yuna!" serunya ceria, seolah tak ada keanehan yang terjadi. "Ya ampun, berasa lama banget nggak ketemu! Aku kangen tahu, sama kamu!"

Tanpa jeda, Taeri merentangkan tangan, memeluk Yuna erat. Aroma sampo favorit Taeri menyeruak lembut, namun getaran halus di lengannya tak luput dari perhatian Yuna.

"Kamu apa kabar dua hari ini? Baik-baik aja, kan?" tanya Taeri cepat, nadanya terlalu ringan... seolah berharap Yuna takkan membahas apa pun.

Yuna tak langsung membalas pelukan itu. Ia merasakan tubuh Taeri sedikit menegang, senyumnya terasa dipaksakan. Ada yang tidak beres.

Perlahan namun pasti, Yuna melepaskan pelukan itu, menangkup kedua bahu Taeri, memaksa sahabatnya itu menatap matanya. "Taeri... apa yang terjadi sama kamu dua hari ini?" Suaranya rendah, namun setiap kata membawa kecemasan yang nyata.

"Kamu hilang tanpa kabar. Ponselmu mati. Aku udah kayak orang gila nyariin kamu." Napas Yuna tercekat, tatapannya tak goyah. "Terus sekarang kamu muncul di kampus sambil... ciuman—sama pria yang dituduh membunuh orang dua hari lalu."

Suara Yuna bergetar. Ia berusaha memahami sahabatnya yang tiba-tiba terasa begitu asing. "Please, jangan pura-pura semuanya baik-baik aja. Aku mohon, jujur sama aku, Taeri."

Taeri terdiam sesaat. Kilasan bayangan tangan Azey yang memaksa, ciuman yang mencuri napasnya, kembali menghantam benaknya. Ia mengerjap cepat, menelan kecemasan itu dalam-dalam. Yuna tak boleh tahu.

"Aku..." Taeri menarik napas, lalu memasang senyum tipis yang dipaksakan. "Waktu itu, habis dari rumahmu, aku langsung ke kantor polisi. Aku mau laporin soal kasus pembunuhan di bar."

Yuna menegang, namun Taeri buru-buru melanjutkan sebelum pertanyaan sempat terlontar.

"Dan ternyata bukan Tuan Azey pelakunya," ucapnya santai. "Ada orang yang sengaja mau menjatuhkan nama baiknya. Terus, dia nyari aku... buat ngelindungin aku sebagai saksi."

Yuna membuka mulutnya, namun Taeri sudah menarik tangannya lebih dulu.

"Udah ah, ayo masuk kelas. Jangan mikir yang aneh-aneh," ujarnya cepat, menggandeng Yuna menuju pintu seolah dunia sedang tidak mencurigai mereka. Langkahnya terburu-buru—seolah semakin cepat ia berjalan, semakin jauh pula ia bisa lari dari kebenaran yang sedang ia coba kubur dalam-dalam.

Di ruang kantor yang kedap suara, Azey duduk di ujung meja rapat panjang seperti seorang raja yang mengamati wilayah kekuasaannya. Dua bawahannya berdiri membatu di hadapannya, menunggu kata-kata yang akan menentukan nasib mereka. Tatapan Azey sedingin es, mampu membekukan keberanian siapa pun.

“Bagaimana perkembangan kasus keluarga Taeri?” tanyanya, suaranya bagai bilah pisau yang mengiris keheningan. “Apa kau sudah memastikan semuanya terkubur dalam-dalam, Grigio?”

Grigio menunduk dalam, nyaris membungkuk. “Sudah selesai sesuai perintah, Tuan. Minsok menjadi kambing hitam, lalu ‘bunuh diri’ setelah kami rampas senjatanya. Kasus ditutup, tidak ada yang berani menggali lebih dalam.” Nada bicaranya pongah, namun matanya penuh ketakutan.

Azey menyeringai tipis, seringai seorang predator yang puas dengan mangsanya. Ia membuka laci dengan gerakan lambat, mengeluarkan sebuah chip hitam kecil, lalu memainkannya di antara jari-jarinya. Benda itu tampak seperti jantung yang berdenyut di tangannya.

“Bagus. Kalau begitu, kita berangkat ke Sisilia. Dokumen keluarga Beletti harus menjadi milik kita, secepatnya. Sepertinya bajingan itu menyembunyikan sesuatu yang sangat berharga.”

Ia melemparkan chip itu ke atas meja dengan bunyi yang memekakkan telinga. “Di dalamnya tersimpan cetak biru sistem keamanan Mansion Giovani. Jika sampai bocor… kalian tahu akibatnya. Manfaatkan setiap celah sekecil apa pun untuk menyusup ke sarang mereka.”

Leonardo dan Giorgio bertukar pandang, bukan karena ragu, tapi karena berebut kesempatan untuk membuktikan kesetiaan mereka. Leonardo maju selangkah, suaranya bergetar karena keinginan untuk menyenangkan Azey.

“Tuan, kami akan menyusup ke sana seperti hantu dan membawa dokumen itu kepada Anda. Kami jamin, tidak akan ada jejak yang tertinggal.”

Giorgio menyeringai lebar, seringai seorang algojo yang haus darah. “Lalu… bagaimana dengan Giovani dan antek-anteknya? Perlu kami bereskan sekalian, Tuan? Atau kita biarkan mereka menjadi badut di Sisilia barat?” Nada suaranya mengejek, seolah nyawa seseorang tidak lebih berharga dari debu.

Azey memutar penanya di antara jari-jari, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus mengancam. Matanya terpaku pada chip hitam di atas meja. Benda itu adalah kunci, dan kunci itu harus digunakan dengan tepat.

“Biarkan Giovani bermain-main. Untuk saat ini,” kata Azey, suaranya dingin dan menusuk. “Kita butuh mereka untuk mengalihkan perhatian anjing-anjing polisi di Sisilia barat. Mereka adalah gangguan yang berguna.” Ia mencondongkan tubuh ke depan, menekan pen ke meja hingga hampir patah. “Jika polisi terlalu ikut campur… kita yang akan turun tangan. Tanpa ampun.”

Leonardo mengangguk cepat, wajahnya tegang karena takut melakukan kesalahan. Giorgio tersenyum lebar, senyum yang membuat bulu kuduk meremang. “Tentu, Tuan. Kami akan menyiapkan segalanya. Kapan pun Anda siap, kami siap menghabisi mereka.” Nada bicaranya santai, seolah sedang merencanakan piknik.

Hari mulai merunduk ke arah sore, sinar matahari menembus jendela kelas dengan lembut. Taeri menghembuskan napas panjang sambil merapikan tasnya. Ia menoleh ke Yuna, senyum tipis muncul di bibirnya meski matanya masih menyimpan sisa ketegangan.

“Yun, aku harus pulang duluan,” katanya sambil menunduk sebentar. “Kapan-kapan kita bicara lagi, ya. HP-ku juga lagi rusak… aku akan beli yang baru segera.”

Tanpa menunggu jawaban panjang, Taeri meraih tangan Yuna dan menggandengnya, langkahnya ringan tapi mantap, menandakan keinginan untuk segera pergi dari keramaian kampus.

Dalam perjalanan menuju gerbang, langkah mereka pelan tapi stabil. Yuna tak bisa menahan rasa penasarannya lagi. “Jadi… ini benar-benar? Kamu sudah tinggal sama Tuan Azey sekarang?” tanyanya, nada suaranya setengah kaget, setengah menahan kekhawatiran.

Taeri menoleh sekilas, bibirnya menegang. “Mendadak banget, ya… Yun,” jawabnya pelan, mencoba terdengar biasa, padahal hatinya masih berdegup cepat.

Yuna menatapnya lekat, alisnya mengerut. “Padahal… baru kemarin kamu masih takut padanya. Dan sekarang… kalian… berciuman di depan semua orang?” Ujung jarinya menekan tangan Taeri, genggaman itu mengerat, menekankan betapa bingung dan cemasnya Yuna.

“Udah, nggak usah khawatir,” kata Taeri sambil menarik napas panjang, mencoba terdengar tenang. “Aku nggak akan kenapa-kenapa. Lagian… aku bisa jaga diri sendiri.”

Ia tersenyum tipis ke arah Yuna. “Kamu sehat-sehat ya. Mungkin kita bakal jarang ketemu.” Sekilas, mata Taeri melirik Azey yang berdiri tegap di depan gerbang, tatapannya tajam dan tak bisa diabaikan. Jantung Taeri berdegup lebih cepat, tapi ia menahan diri, menunduk sedikit sebelum berkata, "Dah, sekarang aku pergi dulu."

Taeri berbalik dan melangkah menuju mobilnya. Tangan Yuna seakan enggan melepaskan genggaman, tetap tertaut di jemari Taeri. Hatinya berdesir. Semoga kamu baik-baik saja, Tae, batin Yuna, menatap sahabatnya yang perlahan menjauh, bayangan Azey yang dingin selalu mengintai di belakangnya.

Sampai di mobil, Azey membuka pintu dan masuk lebih dulu. Taeri menyusul dengan langkah cepat tapi tegang. Azey menoleh padanya, senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Bagaimana kelasmu, sayang? Ada yang tidak nyaman?" tanyanya, tangannya lembut menyentuh pipi Taeri.

Taeri spontan menarik wajahnya, menolak sentuhan itu. Suaranya tajam, napasnya sedikit cepat. "Satu-satunya hal yang membuatku tidak nyaman... itu kamu. Pria gila!"

Ia menepiskan tangan Azey yang masih menggenggam pipinya. "Lagipula... untuk apa sih pakai capek-capek diantar jemput? Aku punya mobil sendiri, sama mahalnya dengan mobilmu!"

Taeri menunduk sebentar, menahan amarah, lalu memalingkan wajahnya dan membelakangi Azey, punggungnya tegang seperti mencoba membentengi diri dari aura pria itu yang terlalu dominan.

Azey menyunggingkan senyum licik, tangannya melingkari pinggang Taeri dan menarik tubuhnya hingga duduk di pangkuannya. "Sayang... apa yang kau bicarakan?" suaranya rendah, mengandung nada menantang. "Bagaimana bisa kau tidak nyaman dengan pria yang memelukmu saat tidur... bahkan kau pernah memohon setiap kali kita bersama?"

Tanpa menunggu jawaban, ia mencondongkan tubuh dan menempelkan bibirnya di leher Taeri, napasnya hangat, membuat bulu kuduk gadis itu meremang. Tangannya menelusup ke bawah dress Taeri, mengusap paha gadis itu dengan lembut.

"Ini... semua karena kau," bisik Taeri, suaranya berubah kesal tapi sinis. "Dengan tidak tahu malu memaksaku... pria mesum, seandainya kau tidak menjebakku... sudah lama aku pergi."

Taeri sedikit meronta, tangannya mencoba mendorong tubuh Azey, tapi tubuhnya terlalu dekat, terlalu mengekang. Jantungnya berdetak kencang, napasnya tersengal, antara takut dan marah, sementara Azey hanya menatapnya dengan senyum dingin yang membuatnya semakin tak berdaya.

"Ponsel sialan itu hancur!" desis Taeri, matanya menyala marah. "Semua gara-gara kau, dasar maniak! Kau harus bertanggung jawab dan membawaku ke mall sekarang juga."

Meski kata-katanya penuh amarah, tubuh Taeri masih terperangkap di pangkuan Azey. Setiap tarikan napasnya terasa berat, mencoba menekan gejolak emosi yang menyesakkan dada.

Senyum obsesif terukir di wajah Azey, seolah dialah dalang dari semua kekacauan ini. "Kenapa menyalahkanku, manis?" bisiknya, tatapannya mengunci setiap inci wajah Taeri. "Kau sendiri yang melemparnya ke arahku dalam amarahmu yang menggemaskan."

Tangan Azey bergerak naik, menyusuri pahanya dengan gerakan lambat dan provokatif. Sentuhan itu bagai sengatan listrik yang membakar kulit Taeri. Ia tersentak, rahangnya mengeras menahan luapan emosi. Gerakan itu adalah peringatan: kau boleh marah, tapi kau tetap milikku.

"Singkirkan tanganmu dari tubuhku!" desis Taeri, suaranya bergetar antara marah dan jijik. Ia mencoba menepis tangan Azey, tapi cengkeramannya terlalu kuat. "Kenapa kau selalu memperlakukanku seperti objek? Seolah kau berhak menyentuhku sesukamu!"

Mata Azey berkilat penuh nafsu, seolah tantangan Taeri adalah bahan bakar untuk obsesinya. "Aku tidak hanya menghormati tubuhmu, sayang," bisiknya, suaranya serak dan penuh ancaman tersembunyi. "Aku memujanya. Setiap inci dari dirimu."

Ia mencengkeram dagu Taeri, memaksanya untuk menatap matanya yang gelap dan penuh keinginan. "Sekarang, ayo kita beli ponsel baru. Aku tidak suka melihat wajah cantikmu berkerut karena marah."

Azey menurunkan Taeri dari pangkuannya dengan gerakan posesif, seolah dia adalah boneka yang bisa dipermainkan sesuka hati. "Dan mungkin, setelah itu, kita bisa bersenang-senang sedikit," tambahnya dengan senyum licik yang membuat Taeri merinding.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!