Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Insiden di Taman Mawar
Bab 27: Insiden di Taman Mawar
Sore hari di Puncak selalu datang lebih cepat.
Langit di atas Vila Adhitama, yang tadi pagi biru cerah, kini berubah warna menjadi abu-abu pekat.
Awan mendung menggantung rendah, seolah-olah langit sedang menekan atap vila.
Udara menjadi semakin dingin dan basah, tapi tidak ada hujan.
Hanya angin kencang yang menderu, menggoyangkan pucuk-pucuk pohon pinus di kejauhan dengan suara berdesing yang menakutkan.
Wuuush.
Yuni duduk di kamarnya di Sayap Timur.
Dalam kegelapan.
Dia belum menyalakan lampu kristal di langit-langit, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.
Dia hanya membiarkan cahaya abu-abu dari jendela yang mengisi ruangan.
Ponselnya masih mati, tergeletak tak berdaya di atas tumpukan bantal.
Dia tidak berani menyalakannya.
Dia tidak punya kekuatan mental untuk melihat notifikasi yang meledak.
Takut melihat ribuan komentar jahat yang sedang berpesta pora mengoyak harga dirinya.
Tok. Tok.
Ketukan di pintu.
Pelan. Ragu-ragu.
Bukan ketukan pelayan. Bukan ketukan Juan yang biasa.
"Yuni?"
Suara Juan.
Tapi suaranya terdengar... berbeda.
Yuni tidak menjawab.
Dia memeluk lututnya lebih erat di atas karpet.
Menyembunyikan wajahnya di antara lutut.
"Yuni, aku tahu kamu di dalam. Pintu dikunci dari dalam."
"Buka. Please."
Ada nada memohon di sana.
Yuni menghela napas panjang. Udara di kamar itu terasa sesak.
Dia tidak bisa bersembunyi selamanya di sini seperti pengecut. Kontraknya masih berjalan. Dia masih karyawan yang dibayar.
Dia berdiri.
Kakinya terasa berat saat melangkah ke pintu.
Memutar kunci kuningan itu. Klik.
Membuka pintu sedikit.
Juan berdiri di sana.
Wajahnya tegang. Alisnya bertaut.
Dia sudah berganti pakaian. Tidak lagi memakai kemeja formal sarapan.
Kemeja linen putih santai yang sedikit kusut, lengannya digulung sembarangan. Celana pendek selutut warna khaki.
Rambutnya sedikit berantakan, seolah dia baru saja menyisirnya dengan jari berulang kali karena frustrasi.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Juan langsung.
Matanya memeriksa wajah Yuni dengan intensitas yang tidak biasa. Mencari jejak air mata. Mencari tanda-tanda kehancuran.
"Nggak," jawab Yuni jujur. Suaranya serak.
"Bella sialan," umpat Juan pelan. Rahangnya mengeras.
"Aku udah labrak dia. Aku udah suruh dia hapus story-nya sekarang juga."
Yuni mendongak. Sedikit harapan muncul. "Terus?"
"Dia bilang udah telanjur viral. Masuk akun gosip kampus."
"Katanya kalau dihapus sekarang malah makin curiga. Orang bakal mikir ada sesuatu yang disembunyiin. Katanya damage control-nya mending didiemin aja sampai orang lupa."
"Alasan," desis Yuni. Matanya panas.
"Dia menikmati ini. Dia menikmati engagement-nya."
"Aku tahu. Dia emang ratu drama yang hidup dari atensi."
Juan mengulurkan tangan, menyentuh bahu Yuni. Ragu-ragu, lalu meremasnya pelan.
"Jangan dipikirin. Mereka cuma netizen. Orang asing. Nggak kenal kamu. Nggak tahu perjuangan kamu."
"Tapi mereka ngehina aku, Juan. Mereka bilang aku pembantu. Dukun. Dan kamu... kamu nggak ada di sana."
Kalimat itu keluar seperti tuduhan.
Juan terdiam.
Ada rasa bersalah yang nyata di matanya.
Dia menurunkan tangannya.
"Maaf. Aku kejebak sama Om Pras. Bahas warisan Kakek yang rumit."
"Aku salah. Aku lengah."
"Aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi sendirian sama serigala-serigala itu."
"Sekarang..." Juan mencoba tersenyum. Senyum yang dipaksakan untuk memberi semangat.
"...kita harus keluar."
"Apa? Nggak mau!" Yuni mundur selangkah. Masuk kembali ke kamarnya.
"Aku nggak mau keluar. Di luar sana ada Bella. Ada Clarissa. Aku nggak mau jadi badut sirkus lagi."
Juan menahan pintu dengan kakinya.
"Bukan jadi badut," kata Juan lembut tapi tegas. "Jadi pemenang."
"Ada acara minum teh sore di taman mawar. Oma yang minta. Tradisi keluarga."
"Semua orang kumpul di sana. Ayah, Ibu, Tante Lisa."
"Kalau kamu ngumpet di kamar, kamu kalah. Bella menang. Clarissa menang."
"Mereka bakal mikir kamu mental tempe. Cewek lemah yang cuma bisa nangis di kamar."
"Kamu bukan cewek lemah, Yuni. Kamu yang debat sama Ayahku soal semikonduktor."
Juan mengulurkan tangannya lagi.
Telapak tangannya terbuka. Mengundang.
"Ayo. Tunjukkan ke mereka kalau kamu nggak serapuh itu."
"Pakai baju yang paling bagus yang kita beli kemarin. Yang mahal."
"Dandan yang cantik. Pakai lipstik merah kalau perlu."
"Bikin mereka nyesel udah ngeremehin kamu."
Yuni menatap tangan Juan.
Tangan yang besar dan kokoh.
Tangan yang semalam berdarah karena memanjat talang air demi menemuinya.
Dia melihat ada plester luka di punggung tangan itu.
Yuni menarik napas panjang.
Mengisi dadanya dengan sisa-sisa keberanian yang dia punya.
Dia tidak akan membiarkan mereka menang.
"Oke," katanya.
"Tunggu sepuluh menit."
Sepuluh menit kemudian.
Yuni keluar kamar.
Dia mengenakan midi dress warna cream berbahan linen tebal.
Potongannya sederhana, tapi elegan. Membalut tubuhnya dengan pas.
Warna cerah itu kontras dengan mendungnya sore.
Dia memakai kalung emas tipis dengan liontin kecil (pemberian ibunya, satu-satunya perhiasan emas asli yang dia punya).
Rambutnya digerai, disisir rapi, membingkai wajahnya.
Wajahnya dipulas blush on tipis dan lipstik warna coral agar tidak terlihat pucat dan sakit.
Dia berdiri tegak.
"Cantik," komentar Juan. Tulus.
"Ayo."
Mereka berjalan berdampingan menuju taman samping.
Taman mawar kebanggaan Oma.
Di sana, di tengah-tengah ribuan bunga mawar putih, merah, dan peach yang sedang mekar sempurna, sebuah meja panjang sudah disiapkan di atas paving block.
Taplak meja renda putih berkibar pelan tertiup angin.
Teko teh perak mengeluarkan uap panas.
Kue-kue kecil warna-warni disusun di piring bertingkat tiga. High tea ala Inggris di tengah Puncak.
Semua orang sudah ada di sana.
Oma duduk di kursi rotan besar dengan sandaran tinggi, memimpin meja. Memakai selendang wol.
Pak Adhitama dan Bu Linda duduk di sampingnya, berbincang pelan.
Clarissa dan Bella duduk berhadapan di ujung meja.
Mereka tertawa-tawa kecil sambil melihat ponsel Bella.
Pasti membahas komentar netizen. Pasti menertawakan Yuni.
Saat Juan dan Yuni muncul dari balik gapura tanaman rambat, tawa mereka berhenti.
Hening.
Semua mata tertuju pada Yuni.
Menilai.
Apakah dia hancur? Apakah dia menangis?
Yuni menegakkan kepala. Dagu diangkat sedikit.
Berjalan lurus. Tidak menunduk.
Juan menggandeng tangannya erat. Sangat erat. Mengirimkan sinyal: Aku di sini.
"Sore, Oma. Sore, semuanya," sapa Juan. Suaranya berat.
"Duduk," kata Oma. Tanpa ekspresi.
Mereka duduk di kursi kosong yang tersisa.
Tepat di sebelah Clarissa.
Aroma mawar di taman itu begitu kuat, bercampur dengan aroma tanah basah dan teh Earl Grey. Memabukkan.
"Teh, Yuni?" tawar Bu Linda. Manis seperti biasa, seolah tidak ada drama yang terjadi.
"Terima kasih, Tante."
Yuni menerima cangkir teh porselen tipis itu. Tangannya stabil. Tidak gemetar.
Dia menyesap teh panas itu. Menenangkan.
"Gimana istirahatnya, Yuni?" tanya Clarissa tiba-tiba.
Senyumnya miring. Sinis.
"Nyenyak? Atau... keganggu notifikasi HP yang berisik?"
Bella terkikik di sampingnya. Menutup mulut dengan tangan.
"Maaf ya Kak Yuni. Netizen emang mulutnya pedes. Jahat banget ih mereka."
"Tapi followers aku naik sepuluh ribu lho dalam satu jam gara-gara konten Kakak. Thanks ya. Kakak bawa hoki."
Yuni meletakkan cangkirnya pelan di tatakan.
Ting.
Bunyi denting yang jernih.
Dia menatap Bella. Lalu menatap Clarissa.
"Sama-sama, Bella," jawab Yuni tenang.
Suaranya rendah tapi jelas.
"Senang bisa bantu kamu cari nafkah lewat hujatan orang lain."
"Mungkin lain kali kamu bisa bikin konten yang lebih... berbobot? Biar followers-nya naik karena prestasi atau bakat, bukan karena sensasi murahan."
Boom.
Serangan balik.
Hening di meja teh.
Bella melongo. Mulutnya terbuka lebar. Dia tidak menyangka Yuni yang "udik" bisa menyindir sepedas dan seintelek itu.
Juan tersenyum tipis. Bangga. Dia menahan tawa.
Clarissa menyipitkan mata. Dia tidak suka melihat Bella kalah.
"Wah, Yuni pinter ngomong ya. Khas anak Sastra. Jago merangkai kata."
"Tapi ngomong-ngomong soal Sastra dan bunga..."
Clarissa berdiri. Mengibaskan rok dress sutranya.
"Aku mau petik mawar buat Tante Linda. Katanya ada mawar hitam langka yang baru mekar di ujung sana."
"Yuni, mau ikut? Katanya anak Sastra suka bunga dan alam. Sekalian foto-foto, mumpung di vila bagus."
Ini jebakan.
Yuni tahu itu. Juan tahu itu.
Tapi menolak di depan Oma akan terlihat pengecut dan antisosial.
"Boleh," kata Yuni. Dia berdiri.
"Jangan jauh-jauh," kata Juan cepat, memegang lengan Yuni. "Mendung. Mau hujan."
"Cuma di situ kok, Ju. Posesif amat. Takut pacarnya ilang?" cibir Clarissa.
Yuni melepaskan tangan Juan pelan. "Sebentar aja."
Yuni mengikuti Clarissa.
Mereka berjalan menjauh dari meja teh. Masuk ke lorong-lorong semak mawar yang berduri.
Tanahnya agak becek sisa embun dan gerimis tadi siang.
Yuni berjalan hati-hati dengan sepatu flat barunya, menghindari lumpur.
Clarissa berjalan di depan dengan heels runcing 10 cm, entah bagaimana caranya dia tidak terperosok. Bakat alam orang kaya.
Mereka sampai di sudut taman yang agak tersembunyi oleh tanaman pagar teh-tehan yang tinggi.
Jauh dari pandangan meja teh. Jauh dari Juan.
Clarissa berhenti.
Di depan semak mawar merah darah yang rimbun.
Dia berbalik.
Senyum manisnya hilang seketika.
Seperti topeng yang dilepas paksa.
Digantikan tatapan dingin yang menusuk. Kebencian murni.
"Denger ya, Cinderella," desis Clarissa.
Suaranya rendah, berbisa.
"Aku nggak tahu guna-guna apa yang kamu pake ke Juan."
"Atau jampi-jampi apa yang kamu kasih ke Oma sampai dia belain kamu tadi siang."
"Tapi jangan pikir kamu udah menang."
Clarissa maju selangkah.
"Kamu itu cuma mainan. Pelarian sesaat."
"Juan itu milikku. Dulu, sekarang, dan selamanya. Kami satu level. Satu dunia."
"Kamu? Kamu cuma debu di sepatu mahalnya. Kamu cuma fase pemberontakan dia."
Yuni membalas tatapan itu. Dia tidak mundur.
"Kalau Juan milikmu, kenapa dia ada di sebelahku sekarang?"
"Kenapa dia gandeng tanganku, bukan tanganmu?"
"Kenapa dia buang foto wisuda kalian?"
Wajah Clarissa memerah padam. Urat di lehernya menonjol.
"Berani ya kamu..."
Clarissa maju lagi. Mengintimidasi.
"Aku kasih peringatan terakhir. Tinggalin Juan. Sekarang. Malam ini."
"Atau aku bikin hidupmu di kampus neraka."
"Aku punya koneksi ke Rektorat. Aku donatur yayasan."
"Aku bisa bikin beasiswamu dicabut dalam satu kali telepon."
Ancaman itu.
Beasiswa.
Itu nyawa Yuni. Itu masa depannya.
Yuni mundur selangkah karena kaget dan takut.
Kakinya menginjak tanah lembek di pinggir jalan setapak yang licin.
Sret.
Terpleset.
"Ah!"
Yuni kehilangan keseimbangan.
Tubuhnya oleng ke samping.
Ke arah semak mawar tua yang penuh duri tajam.
Clarissa ada di depannya. Jaraknya hanya satu lengan.
Dia bisa saja mengulurkan tangan untuk menahan Yuni.
Refleks manusia normal.
Tapi dia tidak melakukannya.
Dia hanya diam.
Menonton.
Melipat tangan di dada.
Bahkan... ada senyum tipis yang kejam di bibirnya.
Yuni jatuh.
Tangannya refleks menahan tubuh agar wajahnya tidak menghantam tanah.
Masuk ke dalam rimbunan mawar.
Jleb. Sret.
Duri-duri tajam setajam jarum menusuk lengan dan telapak tangannya.
Menggores kulit halusnya.
"Awh!" Yuni menjerit tertahan.
Perih yang menyengat.
Darah merah segar langsung menetes di baju cream-nya yang bersih.
"Ups," kata Clarissa dingin.
"Ati-ati dong. Jangan kikuk. Dasar orang kampung."
Yuni meringis kesakitan. Mencoba bangun, tapi tangannya tersangkut duri lagi.
Tiba-tiba.
Ada suara langkah kaki berlari.
Cepat. Berat. Menghentak tanah dengan keras.
"YUNI!"
Teriakan itu membelah udara sore.
Juan.
Dia muncul dari balik tanaman pagar, menerobos semak.
Wajahnya pucat karena panik. Napasnya memburu.
Dia tidak melihat ke arah Clarissa.
Dia langsung melompat ke arah Yuni yang terduduk di tanah becek.
Berlutut.
Tidak peduli celana mahalnya kotor kena lumpur.
"Kamu nggak apa-apa?"
Juan menarik tangan Yuni dari semak duri dengan sangat hati-hati.
Melihat darah yang mengalir di lengan Yuni.
Melihat baju Yuni yang ternoda merah.
Rahangnya mengeras sampai berbunyi.
Matanya yang tadi cemas, kini berubah gelap. Berkilat marah.
Dia menoleh ke Clarissa yang masih berdiri diam.
Tatapan yang belum pernah Yuni lihat sebelumnya.
Tatapan membunuh.
"Apa yang kamu lakuin ke dia?" bentak Juan.
Suaranya menggelegar di taman yang sunyi itu. Burung-burung terbang kaget.
Clarissa terkejut. Mundur selangkah. Wajahnya pucat.
"A-aku nggak ngapa-ngapain, Ju! Sumpah! Dia kepeleset sendiri! Dia kikuk banget!"
"Bohong!" teriak Juan.
"Aku liat dari jauh! Aku nyusul kalian!"
"Kamu ada di depannya! Kamu bisa tolongin dia! Tapi kamu diem aja!"
"Kamu sengaja, kan?"
Juan berdiri.
Menjulang tinggi di hadapan Clarissa.
Aura marahnya begitu kuat hingga Clarissa terlihat mengecil.
"Denger ya, Clarissa."
Suara Juan rendah, bergetar karena menahan emosi.
"Sekali lagi..."
"Sekali lagi kamu sentuh dia, atau biarin dia celaka sedikitpun..."
"Aku nggak peduli bapakmu siapa. Aku nggak peduli bisnis kita. Aku nggak peduli sejarah kita."
"Aku bakal hancurin kamu."
"Ngerti?!"
Clarissa gemetar. Matanya berkaca-kaca karena takut.
Dia belum pernah melihat Juan semarah ini. Juan yang selalu sopan dan tenang.
Juan kembali berlutut di samping Yuni.
"Kita masuk," katanya lembut pada Yuni.
Dia menyelipkan tangannya di bawah lutut dan punggung Yuni.
Mengangkat tubuh Yuni.
Menggendongnya ala bridal style.
Tanpa ragu. Tanpa peduli berat.
"Aku obatin lukamu."
Juan membawa Yuni pergi.
Berjalan tegap melewati lorong taman.
Meninggalkan Clarissa yang berdiri mematung di tengah taman mawar, dikelilingi kelopak bunga yang berguguran tertiup angin.
Sendirian.
Kalah telak.
Yuni menyandarkan kepalanya di dada Juan.
Dia bisa mendengar detak jantung Juan yang berpacu kencang.
Dug. Dug. Dug.
Seperti drum perang.
Dia melihat noda darah di kemeja putih Juan.
Darah Yuni.
Dia merasakan lengan Juan yang kokoh dan hangat menopang tubuhnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak sandiwara kontrak ini dimulai...
Yuni merasa aman.
Benar-benar aman.
Ini bukan skenario.
Ini bukan akting untuk Oma.
Kemarahan itu nyata.
Kekhawatiran itu nyata.
Dan Yuni sadar... hatinya mulai retak.
Bukan retak karena takut atau sakit.
Tapi retak karena... perasaan yang seharusnya dilarang keras di Pasal Tiga.
Dia mulai jatuh cinta pada pelindungnya.