NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

GARIS DUA

Begitu Asha menuruni anak tangga, langkahnya terhenti ketika melihat Lilia berdiri di bawah, memeluk sebuah buku tulis dan map berwarna biru. Rambut kecilnya dikuncir dua, sedikit berantakan setelah seharian beraktivitas, namun wajahnya tampak cerah.

“Tante Asha…” Panggilnya pelan sambil mendekat, langkah kakinya kecil tapi bersemangat.

Asha tersenyum lembut. “Iya, sayang? Ada apa?”

Lilia mengangkat kedua benda di tangannya. “Aku ada PR. Besok sekolah lagi. Ayah mau jemput aku bentar lagi, jadi… bisa nggak, Tante bantuin aku ngerjain?”

Nada suaranya penuh harap, mata mungilnya berbinar seperti takut ditolak tapi juga penuh percaya pada Asha.

Asha berjongkok, merapikan poni Lilia yang menutupi kening. “Tentu bisa. Kamu mau ngerjain di mana, sayang?”

Lilia menunjuk ke ruang tamu. “Di sana aja, Tante. Enak, banyak cahaya… terus dekat cemilan.”

Anak itu terkekeh kecil, membuat Asha ikut tertawa.

"Iya udah, ayo!"

Mereka berjalan bersama menuju ruang tamu. Lilia meletakkan buku-buku di meja, lalu duduk bersila di karpet empuk. Sementara, Asha duduk di sampingnya, sedikit membungkukkan badan untuk membaca halaman pertama PR yang dibuka Lilia.

“Ini matematika, Tante,” Kata Lilia mulai membuka pensilnya. “Aku ngerti sebagian… tapi yang ini susah.”

“Coba Tante lihat dulu, ya…” Kata Asha meraih buku tugas itu dari pangkuan Lilia. Gerakan tangannya pelan, seolah takut merusak halaman yang sudah penuh coretan pensil kecil. "Hoek!"

Asha menutup mulutnya. Perutnya tiba-tiba merasa di aduk. "Hoek!"

Lilia sontak menoleh. Mata bulatnya melebar, penuh kebingungan dan kekhawatiran yang polos. “Tante… sakit?” Tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik seakan takut membuat keadaan Asha semakin buruk.

"Sayang... Tante ke air dulu sebentar ya, Nak." Ucap Asha beranjak dari duduknya, langkahnya terburu-buru menuju westafel kamar mandi dekat dapur.

Di sana, begitu mencapai wastafel, Asha menumpahkan isi perutnya. Suara muntahnya terputus-putus, menggema pelan di ruangan kecil itu. Tangannya berpegangan pada tepi wastafel agar tetap berdiri, sementara napasnya tersengal, seperti baru saja melewati gelombang yang tak terduga.

Air matanya mengalir tipis akibat rasa mual yang hebat, bukan karena sedih—hanya tubuhnya yang bereaksi berlebihan.

"Non?" Suara Bik Yuni diikuti ketukan pintu memanggil. "Non Asha kenapa, Non?"

Bik Yuni berdiri gelisah di depan pintu kamar mandi. Ia sudah mengetuk dua kali, memanggil Asha dengan suara cemas, namun tak ada jawaban dari dalam selain bunyi air yang mengalir pelan. Dada perempuan setengah baya itu mulai terasa sesak oleh rasa khawatir.

“Ya Allah… Non Asha, kenapa ya…?" Gumamnya lirih bercampur cemas.

Tanpa menunggu lebih lama, ia kemudian berbalik dan berjalan cepat menuju kamar Adit. Langkahnya tergesa, hampir berlari. Pintu kamar Adit diketuknya dengan sedikit panik.

“Den Adit! Den!”

Pintu terbuka hanya dalam hitungan detik. Adit muncul, wajahnya kaget sekaligus bingung, rambutnya sedikit berantakan karena baru hendak beristirahat. “Ada apa, Bik?” Tanyanya.

“Non Asha, Den… di kamar mandi… kayaknya nggak enak badan. Saya panggil nggak nyaut.”

Raut Adit langsung berubah tegang. Tanpa bertanya lagi, ia berjalan cepat meninggalkan Bik Yuni, menuju koridor. Suara langkahnya terdengar tegas, nyaris berlari. Begitu sampai di dekat kamar mandi, ia mengetuk pintu dengan telapak tangan yang sedikit gemetar.

“Sayang, kamu kenapa?” Adit menahan napas. Ditempelkannya telinganya sedikit ke pintu.

Hening.

Ia mengetuk lagi, lebih lembut tapi penuh urgensi.

“Kamu baik-baik aja kan, sayang? Buka pintunya, sayang… atau jawab aku, please.”

Masih tidak ada jawaban.

Hanya ada bunyi napasnya sendiri, bercampur kecemasan yang semakin menebal. Dinding-dinding rumah yang biasanya hangat terasa seperti menahan napas bersama mereka.

Adit menelan ludah, merasa jantungnya mulai berdebar lebih keras. "Say—"

Sepotong kalimat Adit terputus, begitu gagang pintu diputar dan terbuka. Asha muncul dengan wajah pucat penuh keringat. Bibirnya bergetar, tapi bukan kedinginan.

"Sayang, kamu sakit?" Bisik Adit memegang kedua bahu Asha.

"Non Asha mungkin hamil, Den." celetuknya lirih, tapi tegas. Seolah kata itu tanpa sengaja lolos dari pikirannya.

Adit dan Asha serempak menoleh menatap wanita paruh baya itu.

Ekspresi Adit membeku. Mata yang tadinya penuh kekhawatiran kini membesar, tercampur antara terkejut, tak percaya, dan secercah harapan yang entah dari mana muncul. Tenggorokannya terasa kering seketika. “Bik… apa?” Suaranya pecah, nyaris berbisik. "Hamil?"

"Iya, Den." Angguk Bik Yuni, ragu. "Kalau Bibik si cuma nebak aja, Den. Soalnya, tanda-tandanya kayak lagi ngidam. Tapi... takut Bibik salah, coba Den periksa ke dokter."

Adit mengangguk menatap Asha lagi. "Sayang, Bik Yuni ada benarnya. Kita ke dokter, yuk!" Ujarnya, kali ini lebih mantap. “Biar kita tahu apa yang terjadi. Aku nggak mau kamu nahan sendiri.”

Hening sejenak.

"Mas..." Kata Asha lemah. "A-Aku mungkin cuma masuk angin aja atau mabuk kemarin di mobil."

"Enggak-enggak, sayang." Geleng Adit. "Kita ke dokter, ya. Gak ada salahnya kan, buat kita memastikan kalau kamu hamil. Hmmm?"

"Tapi..."

“Sayang…" Potong Adit lembut. "Kamu lihat sendiri kondisimu." Ia mengusap pelan lengan Asha yang dingin. “Kalau memang cuma masuk angin, dokter bisa bilang begitu. Tapi kalau ada kemungkinan lain… aku nggak mau kamu mengabaikan tubuh kamu.”

"Asha menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena sakit fisik—tapi karena bayangan tentang apa yang mungkin terjadi. Tentang apa yang mungkin berubah.

“Mas… aku takut,” Bisiknya jujur, suaranya pecah. " Aku takut pergi ke rumah sakit ataupun hal-hal berbau kesehatan. Setiap diagnosa dokter itu seakan membunuh mental aku, Mas. Ayah... Ibu, udah cukup buat aku trauma."

Sementara, Adit kemudian meraih pipi Asha dengan kedua tangannya, memaksa Asha menatap matanya. Tatapannya hangat, teduh, dan begitu tulus. “Aku ada di sini,” Katanya pelan. “Apa pun hasilnya… kita hadapi bareng-bareng. Kamu nggak sendirian.”

Bik Yuni menunduk, pura-pura sibuk memegang apron-nya, tapi jelas matanya berair karena ikut terharu.

"Kita ke dokter ya, sayang. Biar kamu tenang.” Desak Adit, kali ini dengan nada yang berbeda—lebih lembut, lebih dalam, dan penuh permohonan yang hampir terdengar seperti doa.

Asha mengerjapkan mata perlahan. Tubuhnya masih lemah, tapi hatinya justru bergetar karena tatapan Adit… tatapan yang tidak memaksa, hanya memohon agar ia tidak menanggung semuanya sendirian. Detik berikutnya, ia hanya mengangguk tanpa suara.

****

Asha duduk di tepi ranjang periksa, tubuhnya dibalut selimut tipis yang diberikan perawat. Wajahnya masih pucat, rambutnya sedikit menempel di pelipis karena keringat dingin yang belum sepenuhnya hilang. Tangan kecilnya meremas lengan baju Adit—erat—seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang.

Adit berdiri di sampingnya, tidak beranjak sedetik pun sejak pemeriksaan dimulai. Satu tangannya menggenggam tangan Asha, ibu jarinya mengusap punggung tangan istrinya berulang-ulang, mencoba menyalurkan ketenangan yang sebenarnya juga tidak ia miliki.

“Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?” Tanya Adit, begitu sang dokter mulai kembali duduk di kursinya.

Seorang perawat membantu Asha turun dari ranjang pasien, menuntunnya duduk di dihadapan seorang wanita paruh baya, tepat disamping suaminya.

Dokter tersenyum hangat, senyum yang langsung memotong tegangnya udara di ruang periksa. Ia menatap Adit dan Asha bergantian, kemudian berkata dengan nada menenangkan:

“Tidak perlu khawatir, Pak. Ini hal yang normal terjadi pada usia kehamilan muda.”

Adit mengerutkan kening. Degup jantungnya makin cepat. “Ma—maksud dokter?” Suaranya nyaris tercekat.

Dokter mengangguk pelan, “Istri Anda tengah hamil, Pak. Selamat, ya.”

Waktu seketika berhenti.

Asha menatap dokter itu dengan mata yang membesAsha menoleh padanya, masih dengan ekspresi tak percaya.ar, seolah belum yakin pendengarannya benar. Bibirnya sedikit terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Napasnya tercekat di tenggorokan. “Ha—hamil?” Suara itu akhirnya lolos pelan, bergetar. Tangannya otomatis berpindah ke perutnya, menyentuhnya perlahan seakan tidak percaya.

Adit di sampingnya tampak sama terkejutnya. Dadanya naik turun cepat, sorot matanya berkaca-kaca, campuran antara lega, syok, dan bahagia yang datang begitu tiba-tiba hingga ia tak tahu harus mengucap apa. “Sayang…” Lirihnya menoleh Asha.

Asha tersenyum bahagia, matanya berair menahan haru. “Mas… anak kita," Suaranya lirih, rapuh.

Dokter kembali menatap layar, kemudian menurunkan tablet di tangannya. Senyumnya tetap hangat, tapi kini ada keseriusan yang lebih terasa di matanya. “Namun…” Ia menatap Asha dengan penuh perhatian.

“Kehamilan ini perlu dijaga baik-baik ya, Bu Asha.”

Asha yang masih memegang tangan Adit perlahan menegakkan tubuhnya, menunggu penjelasan. Adit otomatis merapat, seolah ingin menjadi perisai sekaligus penyangga bagi istrinya.

“Kehamilan muda seperti Anda termasuk kategori rawan. Bukan berbahaya,” Ucap Dokter menenangkan dengan nada hati-hati, “Apalagi di usia tiga puluh tahun seperti Bu Asha, tubuh wanita mulai berubah. Kondisinya tidak sekuat saat usia dua puluh tahunan. Karena itu, kehamilan di usia ini membutuhkan perhatian ekstra.”

Adit melempar senyum, menenangkan. "Kita jaga baik-baik anak kita, sayang."

Asha mengangguk tanpa suara. Wajahnya tegang dan pucat.

"Tenang Bu Asha," Lanjut sang dokter bernama Mira, di nametag yang terpasang pada jubah putihnya. “Ini bukan masalah besar. Hanya perlu istirahat lebih, pola makan teratur, dan hindari stres. Saya beri vitamin serta penguat kandungan untuk membantu ya, Bu.”

“Jadi… selama dijaga, semua baik-baik saja, kan Dok?” Tanya Adit, suaranya penuh harap.

“Betul, Pak Adit,” Jawab dokter yakin. “Selama istrinya tidak kelelahan, tidak terlalu banyak aktivitas, dan emosinya dijaga stabil… kehamilan ini dapat berjalan dengan sehat.”

Asha akhirnya menatap Adit—mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya sejak kabar itu diumumkan, Asha menampilkan senyum kecil, tipis, tapi nyata.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!