“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Dua
Davina terdiam. Ia sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab ucapan papanya.
Bukan karena ia tidak punya jawaban, tapi karena semua kemungkinan yang ia takutkan kini berdiri tepat di depannya, menjelma dalam sorot mata Papa yang dingin dan penuh tekanan. Detik demi detik berlalu, terasa seperti jam pasir yang pasirnya jatuh tepat ke dadanya, menghimpit napas.
Papa Robby tidak mengulang pertanyaannya. Ia hanya menatap. Diam. Menunggu. Dan justru keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada teriakan.
Davina menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuh, kukunya menekan telapak hingga nyeri kecil itu menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap berdiri. Ia menarik napas panjang, dalam, seolah sedang mengumpulkan sisa keberanian yang terserak di lantai kamar itu.
“Iya, Pa,” ucap Davina akhirnya. Suaranya pelan, tapi jelas. “Aku yang minta Shaka membatalkan pertunangan.”
Alis Papa langsung bertaut. Rahangnya mengeras.
“Kenapa?” tanya Papa, datar, tapi ada api yang tertahan di sana. “Setelah semua yang Papa atur? Setelah semua yang Papa jaga demi kamu?”
Davina mengangkat wajahnya. Matanya basah, tapi ia memaksa diri untuk tidak menunduk lagi.
“Karena aku nggak mencintai Shaka, Pa.”
Kalimat itu jatuh seperti benda berat yang dijatuhkan ke lantai marmer. Bunyi retaknya tidak terdengar, tapi efeknya terasa di udara.
Papa tertawa pendek. Bukan tawa senang. Bukan pula tawa lega. Itu tawa yang dingin dan menusuk.
“Lancang sekali kamu,” katanya. Satu langkah maju. “Siapa yang membuat kamu jadi berani bicara seperti ini, Davina?”
Davina menggeleng pelan. Dadanya sesak, tapi kata-kata itu tetap keluar, jujur, tanpa lapisan lagi.
“Pa … aku mencintai Bang Kevin." Udara di kamar itu seakan membeku.
Papa berhenti melangkah. Matanya membesar sedikit, lalu menyempit dengan cepat, seperti predator yang baru saja mencium bau darah.
“Kalau aku menikah dengan Shaka, kasihan dia,” lanjut Davina, suaranya bergetar tapi tekadnya bulat. “Aku nggak pernah mencintainya. Buat apa dipaksakan? Aku akan menyakiti dia seumur hidup.”
Papa mendekat lagi. Kali ini jaraknya hanya satu lengan. Aura marahnya begitu pekat sampai Davina bisa merasakannya di kulit.
Belum sempat Davina menghindar atau berkata apa pun lagi, tamparan itu mendarat. Pipinya terasa panas.
Kepalanya terhempas ke samping. Pandangannya berkunang-kunang. Rasa panas menjalar cepat di pipinya, diikuti nyeri yang membuat lututnya hampir menyerah. Ia terhuyung, nyaris jatuh, dan refleks memegangi bibirnya.
Darah segar muncul di ujung bibirnya. Papa menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Lancang sekali kamu,” ulang Papa, lebih keras. “Sudah Papa bilang. Kamu harus menerima pertunangan ini kalau tidak mau Kevin celaka!”
Davina terengah. Air matanya jatuh deras sekarang, tapi bukan karena tamparan itu. Kata-kata Papanya jauh lebih menyakitkan.
Ia mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangan, lalu menatap Papa dengan mata merah dan berani yang bahkan membuat Papa terkejut sesaat.
“Pa,” katanya, suaranya serak tapi tegas. “Ini bukan kesalahan Bang Kevin.”
Papa mendengus. Tak menerima pengakuan sang putri.
“Aku yang mencintainya,” lanjut Davina. “Aku yang datang ke dia. Aku yang bertahan. Kalau Papa mau marah, marah ke aku. Jangan ancam dia.”
Papa tertawa lagi. Kali ini penuh ejekan. “Kamu masih berani membela dia?”
“Iya,” jawab Davina cepat, tanpa ragu. “Karena kami nggak salah.”
Papa mengangkat tangannya lagi, tapi Davina tidak menutup mata kali ini. Ia berdiri tegak, menerima apa pun yang akan datang.
“Dia hanya abang tiriku, Pa!” teriak Davina, emosinya akhirnya pecah. “Kami nggak sedarah. Kenapa Papa melarang kami jatuh cinta? Bukankah cinta kami bukan cinta terlarang?!”
Tamparan kedua datang lebih keras. Telinga Davina sampai berdengung.
Davina tidak sempat menahan diri. Tubuhnya terlempar ke samping, kakinya tersangkut ujung ranjang, dan ia jatuh tersungkur ke lantai. Dunia terasa berputar. Pipi kirinya berdenyut hebat. Pandangannya buram oleh air mata.
Papa berdiri di atasnya, napasnya memburu, wajahnya merah oleh amarah yang tidak lagi ditutupi.
“Kamu pikir Papa peduli soal darah atau tidak?” bentaknya. “Papa peduli soal nama baik keluarga ini!”
Davina berusaha bangkit, bertumpu pada tangannya. Rambutnya berantakan, wajahnya basah oleh air mata dan darah, tapi sorot matanya masih menyala.
“Papa yang menikah lagi,” katanya lirih tapi menusuk. “Papa yang membawa Bang Kevin ke dalam hidup kita. Tapi Papa juga yang melarang aku bahagia?”
Papa menendang kursi kecil di dekatnya hingga bergeser keras.
“Diam!” teriaknya. “Kamu pikir Papa membesarkan kamu supaya kamu melawan?”
Davina akhirnya berdiri, meski tubuhnya gemetar. “Aku bukan melawan, Pa,” ucapnya, suaranya melemah. “Aku cuma minta diizinkan mencintai.”
Papa menatapnya lama. Sangat lama. Tatapan itu bukan lagi sekadar marah. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih dingin.
Ia mendekat perlahan, lalu berhenti tepat di depan Davina. “Kamu sudah memilih jalanmu,” ucap Papa pelan. Terlalu pelan. “Dan Papa juga akan memilih jalan Papa.”
Davina mengernyit. Perasaannya tidak enak. “Apa maksud Papa?” tanyanya lirih.
Papa tersenyum tipis. Senyum yang tidak pernah Davina lihat sebelumnya.
“Ini maumu, kan!" seru Papa. “Membela Kevin. Mengorbankan masa depanmu. Menghancurkan semua yang Papa rencanakan.”
Davina menggeleng cepat. “Pa, aku nggak bermaksud ....”
“Sudah cukup,” potong Papa. Suaranya dingin, tanpa emosi. “Mulai hari ini, kamu anggap Kevin tidak pernah ada di hidupmu.”
Davina membeku. “Apa … apa maksud Papa?” suaranya bergetar hebat.
Papa menatapnya lurus. “Jangan harap,” ujarnya perlahan, penuh penekanan di setiap kata, “kamu bisa bertemu Kevin selamanya.”