Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 - 0 Privasi
Bagaskara tersenyum tipis, hampir tak tampak, tetapi mata Aliya menangkap segala sesuatu yang tak diucapkan.
Ada gelagat salah tingkah yang samar di wajah suami, sebuah kegugupan halus yang membuat sudut matanya sesaat berkilat.
Senyum itu setipis kertas, namun bagi Aliya cukup untuk membuat rencananya pagi ini berhasil.
“Ehem!” Dia berdehem keras, sengaja memecah keheningan yang mulai menipis.
Suara itu seperti pancingan, dan berhasil. Bagaskara yang tadi larut dalam lamunan mendadak gelagapan, mencari-cari kata yang menghilang bersama helaan nafasnya.
“Ah?” Dia menjawab, suaranya masih setengah terperangkap di antara kantuk dan pertanyaan.
“Hari ini gimana?” Aliya mengulang pertanyaan yang tadi sempat dia lontarkan.
“Apa?” Bagaskara balik bertanya, wajahnya masih belum sepenuhnya kembali normal.
“Keadaannya, apa sudah enakan?” Aliya menambahkan, matanya tak melepaskan pandangan dari reaksi pria di depannya.
Bagaskara tertawa kecil, napasnya berat. “Kelihatannya gimana? Apa aku sudah lebih baik?” jawabnya mencoba menutupi gugup dengan candaan yang setengah-serius.
“Disuruh tanya dibalas tanya juga, kan? Aku kan enggak ngerasain, Kakak yang ngerasain.” Aliya duduk di tepi tempat tidur tanpa menunggu izin.
Tindakan itu sederhana, namun bagi Bagaskara ada kehangatan dan kedekatan yang tiba-tiba memenuhi ruang kecil itu.
Bagaskara membuang napas, suara kasar yang keluar entah untuk menyingkirkan rasa canggung atau kebosanan.
“Oh iya, Kakak beneran nggak ingat pelakunya?”
Bagaskara menggeleng, kejadian semalam berlalu begitu cepat, kejadian yang tak terduga, semua jadi kabur karena adrenalin dan ketakutan.
“Enggak, terlalu cepat,” jawabnya pendek.
Aliya mengangguk, bibirnya bergerak seperti sedang menyusun rencana. “Aku sudah tanya beberapa orang di sana. Barusan aku telepon Amar untuk menyelidiki.” Nada suaranya serius, bukan pura-pura.
Bagaskara meneguk udara. “Nggak perlu, Al.”
“Nggak perlu gimana? Ini jelas kejahatan, harus diselidiki.” Aliya membalas, suaranya tegas.
Matanya berbinar, ia tak mau duduk diam saat sesuatu yang menyerang orang yang dicintainya berlalu tanpa jejak.
“Aku merasa ini cuma kecelakaan, aku yang kurang fokus semalam.” Kata-kata itu keluar pelan, seolah ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari orang lain.
“Kurang fokus kenapa? Mikirin aku kah?” goda Aliya, menggoda dengan cara yang membuat Bagaskara tak bisa menahan decakan sebal.
“Diam, berarti memang mikirin aku, ya?” Aliya mencondongkan kepala, senyumnya melebar.
Bagaskara menghindar, namun nada suaranya pagi itu hangat. Panggilan 'Al' yang keluar dari bibirnya terasa akrab, panggilan yang hanya boleh digunakan oleh yang dekat.
Hingga akhirnya, ponsel Aliya bergetar di genggamannya. Setelah melihat nama yang muncul, ia menerima panggilan itu. “Halo, Ma ...” Suaranya berubah menjadi lebih sopan, panggilan pada ibunda selalu membawa nuansa lain.
Bagaskara menoleh, menyiapkan diri, khawatir nanti justru diajak bicara oleh mertuanya. Sementara itu, Aliya berbicara seperti biasa, jujur, lugu, dan terkadang ceroboh. Kali ini, cerobohnya berpotensi menjadi bahan gosip.
“Kelihatannya mendingan sih ... luka di beberapa bagian, katanya ditabrak.” suara Aliya terdengar tenang, sementara Bagaskara hanya menjadi pendengar, matanya menunggu titik-titik yang tak diucapkan.
“Apa? Malam pertama apaan? Belum apa-apa udah lecet ... belum sempet lah, Ma, semalam ditinggalin di hotel sendiri soalnya.” Ucapannya polos, terlalu polos hingga membuat Bagaskara terkejut.
Mata pria itu membulat, bukan karena cemburu, melainkan karena takut. Kebohongan mungkin belum ada, namun pengakuan semacam itu gampang disalahartikan.
Aliya terus bicara, tanpa jeda, mengurai detail yang bagi Bagaskara terasa terlalu terbuka. “Iya, Ma ... aku ditinggalin gitu aja.” Sekilas nada suaranya sendu, tapi tetap lugas.
Bagaskara menahan diri, dia berharap Aliya akan menutup mulutnya, namun ibarat terbuka, mulut itu terus mengeluarkan sesuatu yang tak sepantasnya dibagikan. “Enggak, Ma, aku sudah cukur kok.” Aliya menambah, seolah menanggapi satu per satu asumsi yang mungkin muncul.
“Al kam—” Bagaskara mulai panik, dia tahu arah pembicaraan mereka dan wajahnya sudah merah karena malu.
“Shuuut, bentar, Mama lagi ngomong.” Aliya memotong, seolah enggan diganggu.
.
.
Mendengar itu, Bagaskara sadar betapa berbahayanya lidah sang istri. Ia mencoba meraih ponsel, namun Aliya masih terus bicara.
“Kak Bagas normal lah!” Aliya menangkis, suaranya sedikit menegaskan hingga Bagaskara semakin memerah.
Jujur saja, Bagaskara tidak mengerti semua yang dibicarakan oleh mertuanya, namun firasatnya mengatakan bahwa obrolan itu bisa menimbulkan salah paham besar.
“Ya belum, dikasih lihat saja belum gimana mau tahu berdiri atau enggak–” Suara di telepon semakin blak-blakan, mengusik batas-batas yang Bagaskara anggap privasi.
“Ya Tuhan, Aliya!” Sampai akhirnya Bagaskara tak lagi bisa menahan diri.
Dengan cepat ia merampas ponsel dari tangan istrinya, memutus panggilan tanpa basa-basi. Tindakan itu tegas, lantas ia menonaktifkan ponsel Aliya untuk sementara, memastikan tak ada sambungan lain yang akan mengungkap lebih banyak lagi.
Setelah tarikan napas panjang, ia menatap Aliya. Ada garis kekhawatiran di dahinya, namun matanya melembut. “Apa yang kalian bicarakan? Hem?”
Aliya menampakkan ekspresi sebal, lalu mencebik. Diamnya lama, dia sengaja memberi kesan tak bersalah, mencoba membuat Bagaskara melewatkannya. Namun pria itu tak mudah teralihkan. “Cepat katakan apa, Aliya apa?”
“Ya itu ... Mama nanya-nanya, aku cuma jawab pertanyaannya saja. Kakak kenapa jadi semarah sih?” Ia balik menuduh, suaranya manis tapi menantang, sebuah cara licik untuk menipiskan ketegangan.
“Bukan marah, cuma tanya.”
Bagaskara menahan nada yang ingin menjadi keras, dia ingin Aliya paham batasan, beberapa hal tetap harus disimpan sebagai privasi.
“Tanya kok bentak-bentak? Sambil melotot lagi! Kan bisa baik-baik,” protes Aliya, dan hal itu membuat Bagaskara menarik napas, lalu melunak sejenak.
“Iya, aku tanya baik-baik ....” katanya, menata kata-kata. “Tadi kamu bicara apa? Kenapa terdengar seperti ke arah adegan dewasa?”
Aliya tertawa kecil, tapi ada rona malu di pipinya. “Emang.” Kata itu keluar tanpa ragu, polos dan lugu, seolah tak mengerti batas apa yang telah ia langgar.
Sontak Bagaskara menunduk, memijat pangkal hidungnya seperti untuk menekan rasa malu yang mencuat. “Ya Tuhan, Aliya,” gumamnya lembut, hampir seperti doa.
“Kenapa? Kan nggak ada salahnya, sama Mama doang kok.” Aliya bersikap santai, namun di balik itu ada niat baik, ia tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, hanya terlalu lugas pada orang yang menurutnya terpercaya.
Bagaskara melunak, namun ia tetap keras di satu titik. “Aliya dengar ... masalah itu masuk kategori privasi, tidak semuanya harus kamu adukan, paham?”
Aliya terdiam. Sekejap. Dia menimbang, lalu mengangguk pelan. “Iya paham,” katanya akhirnya, suaranya tentatif tetapi patuh, sebuah pengakuan sederhana yang membuat Bagaskara sedikit lega.
Pria itu masih menggenggam ponsel istrinya, bukan untuk menguasai, melainkan untuk memastikan tak ada lagi kata-kata yang keluar tanpa filter. “Jangan iya-iya saja. Terapkan, sampai terjadi lagi kamu bahas masalah yang sifatnya privasi ... aku tidak akan segan menghukummu.”
Aliya menirukan nada sinis. “Hukum dengan cara apa? Ci-pok sampai bengkak? Atau peluk sampai sesek napas?”
.
.
- To Be Continued -
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...