Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bila Cinta Berani Menoleh
Malam hari — Kamar Abyan
Langit di luar jendela berkabut. Dari lantai lima belas hotel, lampu-lampu kota Jakarta terlihat berpendar seperti kunang-kunang raksasa. Abyan masih terjaga, duduk di sofa kamar dengan laptop menyala di meja kopi. Tapi bukan laporan keuangan yang dibaca, melainkan sebuah folder bernama: KKN Garut 3 Tahun Lalu.
Dia membuka satu per satu foto-foto lama. Foto anak-anak kampung yang sedang bermain bola. Foto warga sedang gotong royong. Foto para mahasiswa KKN sedang senam pagi —dan di salah satu sudut foto itu, ada seorang gadis berkerudung biru muda dengan senyum kecil yang tidak menghadap kamera.
"Ziyanada Umaira"
Abyan menyandarkan punggung, menarik napas panjang. Entah sejak kapan, bayangan gadis itu makin sering mampir dalam pikirannya. Bukannya dia belum pernah dekat dengan perempuan sebelumnya.
Tapi ada yang beda dengan Nada. Dalam diamnya, ada kekuatan. Dalam tawanya yang ringan, ada luka yang tak diumbar. Gadis itu, seperti hujan pertama di musim kemarau, tak terduga tapi menyentuh.
Tok-tok.
“Bos, boleh masuk?” suara Rendi dari balik pintu. Abyan membuka.
Rendi masuk dengan wajah serius. Di tangannya ada map cokelat berisi rundown acara lamaran.
“Ini yang tadi dikirim Arya. Lo… udah baca?” Abyan meletakkan map itu ke meja tanpa membukanya.
“Nggak.”
“Lo serius nggak mau nikah sama Indira?” tanya Rendi pelan.
Abyan menatap ke arah jendela, lalu menjawab lirih,
“Dia terlalu sempurna untuk hidup yang bukan milikku.”
“Kalimat puitis itu artinya...?”
“Aku gak jatuh cinta, Ren.”
Rendi tersenyum.
"Akhirnya lo berani bilang juga.” Abyan menatapnya.
“Gue takut, sebenarnya.”
“Takut apa?”
“Takut melawan keluarga. Tapi lebih takut hidup dengan pilihan yang bukan gue banget.” Rendi mengangguk.
“Kalau begitu... sekarang lo tahu harus ngapain. Walau pun tidak mudah setidaknya ada usaha biar lo gak penasaran.”vAbyan berdiri, menatap malam. Lalu berkata dengan suara rendah,
“Kalau cinta berani datang... aku harus berani menoleh.” ucapnya mantap.
Pagi Hari – Lobi Hotel
Nada sedang berdiri di balik meja housekeeping, mencatat laporan harian di buku log. Kerudungnya tertata rapi serasi dengan warna baju kebesarannya kini, burgundy, wajahnya biasa saja.
Tapi hatinya? Sejak percakapan singkat dengan Abyan kemarin, dia tidak menyangka bisa kembali mengobrol santai dengan Abyan.
Benar. Tak ada yang berubah dari laki-laki itu, tetap hangat, bikin nyaman dan menyenangkan. Tapi Nada harus tetap membentengi hatinya, keadaaannya sekarang berbeda, isi kepalanya saat ini seperti habis dilempar ke mesin cuci.
Rosa mendekat, sambil membawa sebotol semprotan kaca.
“Masih mikirin yang kemarin?” bisiknya. Nada tersenyum kecil.
“Bukan mikirin... cuma merenung.”
“Kamu kelihatan kayak orang jatuh cinta yang pura-pura gak jatuh cinta.” Nada nyengir.
“Itu rumit banget bahasanya.” Rosa terkekeh.
“Kalau hidupmu gak dirumit-rumitkan, itu bukan Nada namanya.” Mereka tertawa. Tapi belum sempat Nada menjawab, sosok Abyan muncul dari arah lift.
Kali ini ia sendirian, tidak dengan Indira, tidak dengan siapapun. Mengenakan kemeja navy dan celana hitam, penampilannya tetap mencuri perhatian.
Tapi yang paling bikin jantung Nada berhenti berdetak sejenak adalah... Abyan menatap langsung ke arahnya. Dan… berjalan mendekat.
“Selamat pagi, Mbak Ziya,” sapanya tenang. Nada reflek menunduk sopan.
“Pagi, Pak.”
“Lagi sibuk?”
“Sama seperti kemarin, dan kemarin-kemarin,” jawabnya kalem. Tapi ia tidak bisa menutupi rona merah di pipinya.
“Kalau sempat... boleh kita ngobrol lagi?” tanya Abyan, lembut. Nada ragu sesaat.
“Boleh. Tapi... gak sekarang. Ada kerjaan menunggu.” Abyan mengangguk.
“Saya tunggu di taman belakang di jam istirahat, kalau sempat.” Nada hanya mengangguk.
Rosa memandang mereka bergantian, lalu dengan suara pelan di telinga Nada, ia bergumam:
“Nada, kalau semesta udah kasih celah, jangan tutup sendiri gerbangnya.”
“Jangan halu!” balas Nada meninggalkan Rosa yang geleng-geleng kepala.
Siang Hari – Taman Belakang Hotel
Nada datang. Dengan seragam masih lengkap, tangan sedikit kotor karena bersih-bersih dapur kafe. Tapi ia datang. Dan Abyan sudah duduk di bangku rotan dekat kolam ikan.
“Gak nyangka kamu datang,” kata Abyan saat melihatnya. Nada duduk pelan.
“Katanya mau ngobrol?” Abyan
tersenyum.
“Iya. Tapi kayaknya aku gugup sekarang.” Nada menatapnya heran.
“Bapak? Gugup?”
“Naaddd …”
“Eh maksudnya, Abang gugup?” ulang Nada,
“Jarang ketemu orang yang bikin aku mau jujur tanpa merasa takut.” Nada diam. Tidak tahu harus menanggapi apa. Abyan menarik napas.
“Nada, aku rasa kisah kita saat aku KKN belum usai.” Abyan menjeda ucapannya, Nada memilih diam menyimak dengan hati yang mulai tidak karuan.
“Mari kita lanjutkan kisah kita.” Ajak Abyan to the point
“Abang jangan berlebihan bercandanya,” balas Nada pelan.
“Aku serius.”
“ Tapi aku dengar Abang akan segera menikah.”
“Ckkk “ Abyan berdecak sambal memalingkan wajah.
“Semua pegawai hotel sudah tahu, jadi mulai sekarang sepertinya kita harus menjaga jarak.” Lanjut Nada dengan tatapan lurus ke depan.
“Walau bagaimana pun status kita hanya atasan dan bawahan, bahkan rasanya tidak layak untuk dikatakan teman.” Abyan menggeleng.
“Kamu beda. Dan aku tidak ingin menjadi pengecut.” Nada menatapnya lekat.
Hening. Keduanya diam. Tapi senyap itu terasa penuh.
“Bang Byan…” Abyan menoleh. Nada tersenyum.
“Abang... tahu aku siapa sekarang. Cleaning service. Lulusan SMA. Orang biasa.”
“Aku juga biasa.”
“Abang cucu pemilik hotel. Abang orang penting.” Abyan mendekat sedikit.
“Nada... kamu gak pernah biasa di mataku. Bahkan waktu kamu cuma diem duduk baca buku di bawah pohon jati. Kamu selalu bikin aku penasaran... tapi aku terlalu sombong buat mengakui jika waktu itu aku benar-benar telah jatuh cinta.” Nada tersentuh. Matanya berembun.
“Tapi sekarang Abang udah punya calon,” ucapnya lirih. Abyan terdiam sejenak. Lalu menatap langsung ke matanya.
“Aku punya rencana, bukan pilihan hati.” Nada tercekat.
“Dan hari ini... aku ingin pilihanku datang dari sini,” Abyan menyentuh dadanya sendiri.
“Aku gak minta kamu jawab sekarang, apalagi jatuh cinta lagi sekarang juga. Aku cuma minta satu hal…” Nada menatapnya, deg-degan.
“Jangan sembunyi lagi. Jangan pergi saat aku masih belajar menghampiri.” Nada menutup matanya sejenak. Lalu membuka.
“Abang, kamu mungkin berani menoleh... tapi mungkin aku tidak cukup berani untuk menetap.”
Malam Hari – Di Depan Pintu Kamar Abyan
Arya mengetuk pintu. Abyan membuka.
“Gue dengar dari Rendi... lo ketemu gadis cleaning service itu?” Arya menatapnya. Abyan tersenyum.
“Namanya Nada.” Arya mengangkat alis.
“Dan lo serius?”
“Gue lebih yakin sekarang... daripada waktu dikasih tahu soal lamaran itu.” Arya menggeleng pelan.
"Lo bakal kecewain keluarga.” Abyan berdiri tegak.
“Gue tahu. Tapi kalau mereka benar-benar peduli, mereka akan belajar menerima.” Arya terdiam. Lalu perlahan tersenyum.
“Lo bener-bener jatuh cinta ya?” Abyan mengangguk.
“Kali ini, jatuhnya gak sakit. Tapi dalam.”
Bayangan masa lalu, saat pertama jatuh cinta di usia remaja namun ditolak mentah-mentah kembali menghampiri. Gadis cantik, bintang pelajar di SMA nya menolak dengan terang-terangan pernyataan cintanya hingga membuat Abyan enggan untuk kembali jatuh cinta.
Namun saat KKN rasa itu kembali menyapa hatinya, untuk kedua kalinya Abyan jatuh cinta pada gadis SMA yang sederhana namun memiliki sejuta pesona.
Nada duduk di ranjang tipis dengan Rosa.
“Dia serius, Ros,” ucapnya lirih. Rosa tersenyum.
“Kamu percaya?” Nada mengangguk.
“Aku gak tahu masa depan. Tapi hari ini... aku percaya.”
“Kalau kamu diberi pilihan untuk terus bersembunyi atau melangkah ke cahaya... kamu pilih yang mana?” Nada memeluk bantal kecilnya.
“Aku gak mau lagi hidup dengan diam. Aku gak mau cerita ini cuma jadi kisah ‘andai saja’. Tapi sekali lagi aku bilang kalau aku cukup sadar diri untuk tidak memaksakan semua itu.” Rosa memeluknya.
“Akhirnya... Nada yang diam, mulai bersuara. Tapi tetep aja elehan” ejek Rosa mencebikkan bibirnya.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak