NovelToon NovelToon
Hamil Anak Sang Pewaris

Hamil Anak Sang Pewaris

Status: tamat
Genre:CEO / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:29.2k
Nilai: 5
Nama Author: bgreen

Laura Clarke tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis. Pertemuannya dengan Kody Cappo, pewaris tunggal kerajaan bisnis CAPPO CORP, membawanya ke dalam dunia yang penuh kemewahan dan intrik. Namun, konsekuensi dari malam yang tak terlupakan itu lebih besar dari yang ia bayangkan: ia mengandung anak sang pewaris. Terjebak di antara cinta dan kewajiban.

"kau pikir, aku akan membiarkanmu begitu saja di saat kau sedang mengandung anakku?"

"[Aku] bisa menjaga diriku dan bayi ini."

"Mari kita menikah?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bgreen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

panggilan sayang

Kody melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi, langkahnya sedikit tergesa setelah menyelesaikan urusan administrasi.

Setelah seminggu penuh kecemasan di rumah sakit, akhirnya ada secercah harapan. Dokter mengizinkan Laura pulang.

Kondisi Laura sudah jauh membaik dan memungkinkan untuk dirawat di rumah.

Terapi untuk kakinya akan tetap dilakukan sesuai jadwal yang telah diatur oleh dokter.

Kecelakaan itu memang meninggalkan trauma, namun dokter meyakinkan bahwa kelumpuhan di kaki Laura hanya bersifat sementara.

Kody percaya, dengan terapi yang teratur dan dukungan penuh darinya, Laura pasti bisa kembali berjalan seperti sedia kala.

*

Ceklek...

Pintu kamar terbuka perlahan, Kody masuk dan mendapati Laura duduk di kursi roda dekat jendela.

Punggungnya tegak, namun ada sesuatu yang rapuh dalam posisinya.

Pandangannya kosong, seolah jiwanya tersedot ke pemandangan di luar jendela.

Kody bisa merasakan aura kesedihan yang menguar dari tubuh istrinya.

Cahaya matahari pagi menimpa wajah Laura, menyoroti garis-garis kelelahan dan pucatnya kulitnya.

Kody mendekat perlahan, hatinya mencelos melihat betapa rapuhnya Laura saat ini.

"Laura," ucap Kody lembut.

Laura menoleh perlahan, matanya sayu namun ada sedikit binar saat melihat Kody.

"Ayo kita pulang," ucap Kody, berusaha menyembunyikan emosinya.

Laura mengangguk pelan, senyum tipis terukir di bibirnya.

Kody mendorong kursi roda Laura keluar dari kamar, menyusuri lorong rumah sakit menuju parkiran.

*

Di parkiran, sopir dan pengawal Kody sudah siap menunggu. Mereka membungkuk hormat saat melihat Kody dan Laura.

Tanpa ragu, Kody menggendong Laura dengan hati-hati, membawanya masuk ke dalam mobil.

Mobil melaju dengan kecepatan stabil, meninggalkan rumah sakit dan membawa mereka menuju mansion mewah mereka.

*

Setibanya di mansion yang megah, Kody hendak menggendong Laura masuk, namun Laura menahan diri.

"Biarkan aku memakai kursi roda," ucap Laura, suaranya terdengar lebih tegas dari yang Kody duga.

"Tidak, aku akan menggendongmu," balas Kody, tatapannya penuh tekad. Ia tak peduli dengan kursi roda itu; yang ia inginkan adalah menjaga Laura tetap aman dan nyaman.

"Turunkan aku, Kody," pinta Laura, ada sedikit nada putus asa dalam suaranya.

"Tidak," jawab Kody singkat, melangkah mantap masuk ke dalam mansion yang luas, mengabaikan protes Laura.

Aroma bunga segar dan kemewahan langsung menyambut mereka.

"Kenapa kau sangat keras kepala?" Laura mendesah, menatap Kody dengan kesal.

Kody berhenti di tengah foyer yang luas, memandangi Laura yang kini menatapnya dengan tatapan kesal.

Senyum tipis tersungging di bibirnya. "Kau ingin langsung ke kamar atau bersantai di ruang tengah?" tanyanya lembut, suaranya meredakan ketegangan.

Laura menghela napas panjang, menyerah pada kelembutan Kody. "Aku ingin duduk di bangku dekat danau," pintanya, membayangkan ketenangan air dan angin sepoi-sepoi.

"Baiklah, baby," ucap Kody, senyum tampannya merekah, membuat matanya berbinar.

Laura terkejut. Panggilan itu... baby? Selama pernikahan mereka, Kody tak pernah memanggilnya dengan panggilan sayang apapun.

Mereka selalu memanggil nama masing-masing, Kody dan Laura, seolah itu sudah cukup.

Panggilan itu terasa asing, namun entah mengapa, juga menghangatkan hatinya.

*

Setelah sampai di bangku tepi danau, Kody meletakkan Laura dengan hati-hati, memastikan istrinya duduk senyaman mungkin.

Pemandangan danau yang tenang dengan airnya yang berkilauan diterpa sinar matahari pagi itu memang menyejukkan.

Sejak pertama kali Laura tinggal di mansion ini, ia sangat menyukai tempat ini.

Kadang ia bersantai sambil membaca buku, menikmati angin sepoi-sepoi, atau berjalan-jalan kecil di pinggiran danau.

Tempat itu adalah pelariannya, tempat favoritnya saat ia merasa bosan atau penat.

Namun, kenangan manis saat ia hamil, berjalan di tepi danau sambil berbicara sendiri dengan bayi yang ada dalam kandungannya, tiba-tiba menyeruak dalam benaknya.

Senyumnya memudar, wajahnya kembali diliputi kesedihan. Air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya.

Laura berusaha tegar, mencoba mengikhlaskan kepergian bayinya, namun luka itu masih terasa begitu perih.

"Baby, kau ingin makan atau minum sesuatu?" tanya Kody lembut, menyadari perubahan suasana hati Laura.

Ia tahu, istrinya pasti sedang memikirkan bayi mereka yang telah tiada.

"Kenapa kau memanggilku begitu?" ucap Laura kaget, tatapannya bingung. Ia benar-benar tidak terbiasa dengan panggilan baby yang keluar dari mulut Kody.

"Kau tak suka? Kalau begitu, aku akan panggil Honey atau kau lebih suka di panggil Sweetie," ucap Kody lembut, mencoba menggoda Laura.

"Selama ini kita memanggil satu sama lain dengan nama. Kenapa tiba-tiba kau memanggilku begitu?" tanya Laura, rasa penasarannya semakin besar.

"Aku rasa kita harus mulai menggunakan panggilan sayang. Karena kita sudah menikah, walaupun sedikit terlambat," jawab Kody, senyumnya tulus. Ia ingin memperbaiki hubungan mereka, memulai sesuatu yang baru.

"Tidak. Aku tak terbiasa kau memanggilku begitu," tolak Laura, pipinya merona. Ia merasa aneh, namun juga ada perasaan hangat yang menjalar di hatinya.

"Kau hanya perlu membiasakannya saja, Baby. Aku akan terus memanggilmu dengan panggilan Baby agar kau terbiasa," ucap Kody, nada suaranya penuh tekad.

"Kody..." Laura ingin menolak, namun Kody langsung mengalihkan pembicaraan.

"Siapkan buah-buahan dan camilan di sini," perintah Kody pada pelayannya yang berdiri tak jauh dari mereka.

Ia berusaha untuk tidak membahas pembicaraan tadi, memberikan Laura waktu untuk mencerna semuanya.

Laura terlihat kesal, namun ia tidak membantah. Ia lalu memalingkan wajahnya yang awalnya memandangi Kody di sampingnya, beralih melihat ke pemandangan danau.

Angin sepoi-sepoi membelai rambutnya, membawa serta aroma bunga yang menenangkan.

Meskipun kesal, Laura tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Kody. Sesuatu yang membuatnya merasa... sedikit bahagia.

Sejak Laura pertama kali melontarkan permintaan cerai, respons Kody hanya diam.

Tidak ada penolakan yang tegas, pun juga tidak ada persetujuan.

Pria itu justru semakin intens dalam perhatiannya, seolah tak ingin membiarkan Laura sendirian barang sedetik pun.

Saat di rumah sakit, Kody bahkan membawa seluruh pekerjaannya.

Ruangan rawat inap Laura seringkali berubah menjadi kantor sementara, dengan tumpukan berkas dan laptop yang menyala.

Asistennya harus bolak-balik dari kantor ke rumah sakit, membawa dokumen-dokumen penting yang harus Kody tanda tangani.

Semua itu dilakukan Kody sembari menjaga Laura, memastikan setiap kebutuhannya terpenuhi.

Entah apa yang sebenarnya berputar di benak Kody saat Laura meminta cerai.

Sikapnya yang tak terduga itu membuat Laura semakin bingung.

Dalam benaknya, ikatan di antara mereka telah putus setelah bayi mereka tiada.

Kody menikahinya karena dirinya mengandung anaknya, sebuah pernikahan yang didasari tanggung jawab, bukan cinta, setidaknya itulah yang Laura yakini.

Kini, anak itu sudah tiada, dan bagi Laura, tidak ada lagi alasan untuk mereka tetap bersama.

Ia juga tak ingin menjadi beban bagi Kody dengan kondisinya yang lumpuh sementara ini.

Namun, setiap kali Laura mencoba membahas soal perceraian, Kody seakan tak menggubris ucapannya.

Pria itu akan mengalihkan pembicaraan, atau bahkan pura-pura tidak mendengar.

Hal itu membuat Laura bertanya-tanya, mengapa Kody menolak untuk bercerai dengannya.

Apakah Kody akan menunggunya bisa berjalan kembali baru kemudian mereka berpisah? Pikiran itu terlintas, memberikan sedikit pencerahan sekaligus rasa sakit.

Akhirnya, Laura memilih diam dan tidak membahasnya lagi. Sebuah tekad baru muncul dalam hatinya: ia harus sembuh, harus segera bisa berjalan dengan normal kembali. Bukan untuk Kody, tapi agar Kody bisa menceraikannya tanpa beban.

1
putrie_07
🥵🥵🥵🥵🔥
putrie_07
aq lbih suka yg Eropa 👍👍
Diana Tamboto
keren ceritanya, ngak bertele2
Mia Camelia
yaa tak terasa udh tamat aja, kok connie dan black gk di ceritaiin ? geneva juga gk di jelasiin ? yah kurang detail thor😂😂😂
bgreen: kisah ( Black dan Connie) ( Hugo dan Geneva ) ( Lukas dan Fia ) di judul yang berbeda, reader...

bisa cek di IG Bgreenhai untuk info lebih lanjut 😍🙏👍
total 1 replies
Mia Camelia
haduh kody jadi nyosor duluan nih😄☺☺
suka banget thor ,sama sifat kody yg begini😂😄
Mia Camelia
lanjut thor, cerita bagus banget, jdi makin penasaran👍😍🤭😄🤣
yumi chan
good jod thor
Nurjannah Ibrahim
ttp semangat Thor lanjut..
nur adam
lnjut
Nurjannah Ibrahim
lanjut thor
Lucyana H
visulnya lebih suka yg asia,
aurel
hai Thor aku sudah mampir jangan lupa mampir juga di karya aku " istri ku adalah kakak ipar ku "
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!