Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
“Aluna pergi kemana?” tanya Adam, entah kepada siapa. Dia menarik rambutnya dengan kasar, kini dia kehilangan arah.
Aluna mengatakan akan menjual rumahnya, dan siapa sangka dalam waktu singkat ini sudah selesai pembayaran.
“Kami gak tahu, Nak Adam,” jawab Pak Basri.
Pasangan suami istri itu hanya menggelengkan kepalanya melihat Adam yang seperti orang kehilangan arah. Ada rasa kasihan, tapi Aluna berpesan kepada mereka jangan memberitahukan siapapun kalau Aluna menukar rumah itu dengan tanah diujung desa dekat sawah. Biar sampai mereka tahu sendiri.
Pak Basri dan Bu Sarni juga sudah tahu kalau Aluna dan Adam akan bercerai, itulah alasan Pak Basri akhirnya berniat mendirikan rumah semi permanen untuk Aluna di tanahnya itu sebagai tambahan biaya penjualan rumah itu, meskipun Aluna tidak memintanya.
“Pak, sebaiknya Bapak langsung cari orang saja untuk membangun rumahnya. Kasihan Aluna nanti gak ada tempat,” ujar Bu Sarni kepada sang suami.
“Iya, Bu. Sepertinya kita ajak beberapa orang sekaligus biar cepat selesai.”
Sementara itu…
“Ada apa, Aluna?”
“Aku sudah bercerai dengan Mas adam, Bi.”
“Itu lebih baik. Sejak awal, Bibi gak setuju kamu menikah dengannya. Bukan tidak suka dengan Adamnya, tapi ibunya yang terlalu sombong itu. Tinggallah disini saja,” jawa Bi Yuli, adik kandung ibunya Aluna.
Mereka tinggal di desa yang berbeda, jarak dua desa dari desa tempat tinggal Aluna. Selama ini, Bi Yuli bukan tidak peduli pada Aluna, tapi karena berbeda desa tidak tahu jelas apa yang Aluna alami, karena tidak bisa mengawasi langsung. Keadaan ekonominya juga tidak bisa dibilang berlebih. Beliau masih punya dua anak yang masih kuliah, masih perlu biaya yang besar. Sehingga tidak sempat mau memperhatikan Aluna terus-terusan.
“Kami hanya menumpang beberapa hari, Bi,” ucap Aluna sambil memberikan satu botol susu untuk Kiya.
“Kenapa?”
“Aku menukar rumah Ayah dan Ibu dengan sebidang tanah. Nanti setelah rumahnya selesai dibangun, aku dan Kiya akan tinggal disana,” jawab Aluna menjelaskan.
“Kamu bangun rumah?”
“Bukan aku, Bi. Pak Basri sebelah rumah itu, aku diberikan bonus dibangun rumah semi permanen di tanah itu,” jawab Aluna.
“Hanya tukar rumah dan tanah?” tanya Bi Yuli.
“Gak Bi. Ada sisa uangnya aku simpan, untuk modal aku dan Kiya.”
Bi Yuli mengangguk, baginya itu lebih baik daripada rumah itu direbut orang lain. Setidaknya rumah itu bisa membantu Aluna dan anaknya.
“Kamu mau usaha apa?” tanya Bi Yuli lagi.
“Mungkin nanti aku akan mencoba jualan makanan aja, Bi. Agar tetap bisa jaga Kiya. Sambil berkebun di tanah itu, hasilnya bisa aku jual.”
“Baguslah kalau begitu. Maaf, Bibi gak bisa bantu. Tapi, kalau ada apa-apa, kabari Bibi,” ucap Bi Yuli menepuk pundak Aluna.
“Bibi menerima kami disini seperti ini aja aku sudah senang. Cukup doakan saja kami, Bi,” jawab Aluna.
“Rumah ini akan selalu terbuka untukmu.”
Aluna bersyukur, disaat semua keluarga ayahnya yang tinggal satu desa tidak ada yang peduli dengan dirinya dan Kiya, setidaknya masih ada Bi Yuli, adik ibunya satu-satunya. Hanya saja mereka jarang bertemu, sebab jaraknya cukup jauh.
**
Adam mengitari desa, dan sedikitpun tidak menemui jejak Aluna dan Kiya. Semua tempat yang diduga menjadi tujuan Aluna di datangi dan tetap tidak ada. Adam sama sekali tidak terpikir kalau Aluna pergi ke rumah Bi Yuli, sebab selama ini dia tidak tahu siapa saja keluarga Aluna, saking tidak pedulinya.
“Sudah pulang?” tanya Dimas ketika Adam baru saja memarkirkan mobil di depan rumah.
Adam menggeleng. “Gak ketemu, Pa.”
“Aluna hanya pakai motor, Adam. Gak mungkin dia pergi sejauh itu,” ucap Dimas.
“Aku sudah keliling desa, Pa. Tidak ada yang melihat Aluna.”
“Rumah orang tuanya?” tanya Dimas tidak percaya.
“Sudah Aluna jual pagi tadi dengan tetangganya.”
Pak Basri menghela nafas berat, alangkah malunya kalau sampai orang tahu Aluna kabur seperti ini. Dan beliau juga kepikiran Kiya, takut kalau cucunya hidup susah. Dia pasti akan mendapat cemoohan dari para tetangga.
“Berarti dia ada duit hasil menjual rumahnya. Bisa jadi dia pergi jauh,” gumam Pak Dimas.
Adam mengangguk pelan, kali ini dia benar-benar merasa kehilangan. Aluna bukan hanya menggertak, tapi dia benar-benar pergi. Dan sebelum kepergiannya, Aluna meninggalkan kado terbaik untuknya, sebuah gugatan perceraian.
“Kamu yang menceraikannya?” tanya Dimas lagi.
Adam mengangguk. “Dia yang meminta, Pa. Dan Aluna juga sudah mendaftarkan ke pengadilan. Aku pikir, ini adalah yang terbaik untuk kami.”
“Terbaik apanya? Ini hanya menambah masalah, Adam.”
“Maaf, Pa.”
Kring! Kring!
Ponsel Adam berdering dengan kencang, wajah Adam sumringah. Dia pikir Aluna yang menelpon untuk mengabari keberadaannya. Sehingga tanpa melihat si penelpon, Adam langsung menjawab panggilan itu.
“Halo, Aluna. Kamu dimana?” tanya Adam.
Terdengar helaan nafas kesal diujung saja. “Aluna. Aluna. Aku bukan Aluna. Dan ingat, Adam, istrimu itu bukan hanya Aluna! Aku juga istrimu!”
“Laras, maaf. Aku sedang ada masalah disini. Nanti aku telpon lagi ya.” Adam menghela nafas berat setelah tahu yang menelponnya bukanlah Aluna, melainkan Laras.
“Hey Adam, aku tidak mau tahu kamu punya masalah dengan jalang itu atau apa. Aku ingin mengingatkan kalau disini aku juga istrimu dan sedang mengandung anakmu! Kau telah mengingkari janji bilang weekend mau datang, ini sudah hampir weekend lagi kau tidak datang! Apa aku memang tidak berarti lagi?” tanya Laras.
Adam memijat pelipisnya, Dimas hanya diam. Dia tahu perasaan Adam saat ini, ditinggalkan Aluna dan Laras menuntut perhatian. Tapi, ini adalah pilihan yang Adam ambil sendiri. Adam sudah tahu resikonya akan terjadi seperti ini.
“Aku janji weekend ini akan kesana,” jawab Adam.
“Janji kau itu sekarang tidak lagi bisa dipercaya seperti dulu. Kau sudah banyak berbohong, dan aku tidak akan percaya lagi. Berikan alamat desa tempat tinggalmu dan aku akan menyusul kesana!” ucap Laras.
Adam menggeleng cepat. “Tidak! Kau tidak perlu kesini, Laras. Biar aku menyelesaikan masalah disini dulu, setelah itu aku akan langsung kesana.”
“Kenapa? Kamu sepertinya takut sekali aku datang kesana. Aku tidak mau tahu, kalau kamu tidak memberikan alamatnya, aku akan bunuh diri,” jawab LAras.
“Laras, tolonglah. Jangan berbuat nekat, nanti aku akan kesana.”
Disaat Adam sedang membujuk Laras, Bu Ratna keluar dari rumahnya. Mendengar Adam sedang bertelponan dengan Laras, dia langsung merebut ponsel Adam.
“Berikan alamat desa itu, aku akan menyusulmu kesana!” teriak Laras.
“Oh, Mama tunggu Laras, ini ya alamatnya,” jawab Bu Ratna sembari menyebutkan alamat lengkap tempat mereka tinggal kepada sang menantu.
“Mama, jangan!” teriak Adam yang berusaha merebut kembali ponselnya dari tangan sang ibu.
“Mama juga ingin bertemu menantu Mama, Adam,” jawab Ratna mendelik ke arah Adam.
Punya istri dan mertua cuma dijadikan mesin atm berjalan doang!
Gimanaa cobaa duluu Adam liatnya.. koq bisaa gituu milih Laras.. 🤔🤔🤦🏻♀️🤦🏻♀️😅😅
Terimakasih Aluna kamu sudah mau membantu Adam membuka kebusukan Laras semoga Adam bisa secepatnya menyelesaikan masalahnya dengan Laras dan bisa lebih dewasa lagi kedepannya 💪