Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Meeting
Arunika melangkah masuk ke gedung pusat Arummuda dengan tenang, gaun kerjanya sederhana tapi berwibawa. Rambut hitamnya digelung rapi, tatapannya lurus tanpa ragu. Semua orang menoleh, seakan merasakan aura yang berbeda darinya.
Sejak fajar tadi, ia sudah membuat keputusan, kalau Roman ingin menyingkirkannya, maka ia harus lebih dulu masuk ke dalam permainannya. Ia harus menggali, mencari celah, menguak semua rahasia yang selama ini ditutupi.
Di ruang rapat, Roman sudah duduk di kursi ujung meja. Wajahnya tegas, tapi sorot matanya penuh kewaspadaan ketika melihat Arunika masuk.
“Kau datang lebih awal, Arunika." ucapnya singkat sembari tersenyum.
Arunika tersenyum tipis, menunduk sedikit. “Aku hanya ingin menunjukkan, aku sudah siap membantu ayah.”
Nada suaranya lembut, tapi tatapan matanya menusuk. Roman nyaris tak berkedip, seakan sedang mengukur seberapa jauh Arunika telah berubah.
Tak lama, pintu terbuka. Rafael masuk dengan setelan hitam elegan, langkahnya berwibawa, dingin seperti biasanya. Semua kepala otomatis menoleh, tapi matanya langsung mencari sosok Arunika, yang tak dia temui beberapa hari lalu.
Dan saat menemuinya, Rafael justru merasakan sesuatu yang berbeda. Arunika duduk tenang, wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tidak ada gurauan kecil, tidak ada lirikan penasaran yang biasanya ia lemparkan. Justru tatapannya dingin, fokus penuh pada dokumen di hadapannya.
Rafael mendudukkan diri, melempar berkas ke meja.
“Baik, kita mulai. Proyek pembangunan Trilon akan menjadi langkah terbesar. Aku ingin efisiensi penuh, tanpa kebocoran sedikit pun.”
Suaranya tajam, tapi pikirannya tidak bisa fokus. Dari sudut matanya, ia terus mencuri pandang ke arah Arunika.
'Ada yang salah. Dia berubah ... apa yang sudah dia ketahui?'
Arunika mengangkat kepala, menatap Roman dengan mata dingin. “Proyek sebesar ini butuh transparansi penuh. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Kalau ada kebohongan sekecil apa pun, semuanya bisa runtuh.”
Ruangan mendadak hening. Roman menoleh perlahan, ekspresinya tetap terkendali, tapi jarinya mengetuk meja pelan. “Kau bicara seakan meragukan orang-orang di sekitarmu.”
Arunika tersenyum samar. “Aku hanya belajar dari pengalaman, Ayah. Rahasia yang disembunyikan terlalu lama selalu berakhir menjadi bom waktu.”
Rafael hampir menjatuhkan pulpen di tangannya. Ia menatap Arunika tajam, kini semakin yakin gadis itu tahu sesuatu. Roman menyamarkan kekakuannya dengan tawa kecil. “Kau sudah dewasa rupanya dan sangat … berhati-hati.”
“Tentu saja,” jawab Arunika pelan, tapi nadanya menusuk. “Aku hanya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti sebelumnya.”
Tatapan Arunika melayang ke Roman, menusuk dalam. Rafael yang duduk di sampingnya bisa merasakan ketegangan tak kasat mata itu. Dan untuk pertama kalinya, Rafael tak bisa fokus pada rencana proyek, karena pikirannya hanya dipenuhi oleh satu hal.
'Apa yang sebenarnya sudah Arunika dengar?'
Rapat berakhir menjelang siang. Para direksi dan investor keluar satu per satu dari ruang rapat dengan wajah serius, membicarakan angka dan strategi. Roman lebih dulu berjalan keluar, menyisakan Rafael dan Arunika yang masih membereskan berkas.
Arunika berdiri tenang, merapikan dokumen ke dalam map kulit. Rafael memperhatikannya dari kejauhan. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak, gerakan Arunika kali ini begitu berbeda, kaku, dingin, nyaris tak memberi celah untuk dirinya.
Begitu Arunika hendak keluar, Rafael melangkah cepat, tangannya menahan pintu. “Tunggu.”
Arunika berhenti, menoleh pelan. Tatapannya datar, bukan tatapan gadis yang biasanya sedikit gemetar di hadapan Rafael.
“Ada apa, Tuan Rafael?” suaranya terdengar formal, dan kaku. Untuk pertama kali dia memanggil Rafael dengan sebutan begitu formal.
Rafael mendekat, menunduk sedikit agar wajah mereka sejajar. “Apa yang terjadi padamu? Dua hari aku tidak pulang, dan sekarang kau … seperti orang lain.”
Arunika menghela napas singkat, menatap matanya lurus. “Mungkin karena aku sudah belajar, jangan terlalu bergantung pada siapa pun ... termasuk pada Anda.”
Kata-katanya membuat Rafael terdiam. Rahangnya menegang. “Kau bicara seperti itu … apa yang sebenarnya sudah kau ketahui, Arunika?”
Sejenak, mata Arunika berkilat, ada luka yang berusaha ia sembunyikan. Tapi kemudian senyumnya tipis, penuh ironi.
“Kalau aku tahu sesuatu, apakah kau pikir aku akan memberitahumu?”
Rafael mendekat lebih rapat, suaranya rendah tapi menekan. “Arunika … jangan bermain-main denganku.”
Arunika melangkah ke samping, melewati Rafael dengan tenang. Saat bahu mereka hampir bersentuhan, ia berbisik lirih cukup untuk membuat darah Rafael berdesir.
“Tenang saja, aku tidak akan mengkhianatimu. Aku hanya tidak ingin dikhianati lagi.”
Rafael menoleh cepat, tapi Arunika sudah berjalan pergi, langkahnya mantap, meninggalkan aroma dingin yang tak bisa ia pahami. Untuk pertama kalinya, Rafael merasa dirinya bukan lagi sosok yang mengendalikan permainan. Ada sesuatu yang tumbuh dalam diri Arunika dingin, tenang, tapi berbahaya.
Arunika melangkah cepat melewati lobi perusahaan Arummuda. Tatapannya dingin, meski dalam hati ia penuh dengan gejolak. Ia tahu Roman akan sibuk di kantor, dan ini adalah kesempatan untuk kembali ke rumah Arummuda, menggali kebenaran yang selama ini disembunyikan.
Dia membuka ponsel, memesan taksi online. Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti di depan lobi. Tanpa berpikir panjang, Arunika segera masuk ke dalamnya.
Namun, di detik yang sama, lift di lobi berdenting terbuka. Rafael keluar, langkahnya tegap dan aura dinginnya langsung menyapu ruangan. Pandangannya menangkap sosok Arunika yang baru saja menutup pintu mobil. Ada sesuatu yang membuat rahangnya mengeras.
'Dia … tidak memberitahuku ke mana dia akan pergi.'
“Marco!” Rafael memanggil dengan suara berat. Marco yang baru saja tiba terburu-buru mendekat. Rafael menunjuk arah mobil. “Cari tahu apa yang dia sembunyikan dariku ... Arunika berubah dan aku tidak suka itu.”
Marco hanya mengangguk tegas. “Baik, Tuan.”
Beberapa menit kemudian, informasi mengalir cepat melalui jaringan mata-mata Rafael. Salah satu pelayan di rumah Arummuda, yang memang diam-diam menjadi informan Rafael memberi kabar.
[Semalam Nona Arunika kembali ke rumah. Dia … terlihat panik, cemas. Saya hanya mendengar samar-samar, Nona mungkin tanpa sengaja mendengar percakapan Tuan Roman dengan Tuan Zhilo.]
Rafael yang mendengarnya langsung merasakan amarah menguar. Jemarinya mengepal di atas pahanya. “Roman…” gumamnya dingin. “Berani sekali kau menyentuhnya ... atau Arunika telah tahu jika dia bukan anak kandung, Roman? Marco ikuti mobil yang ditumpangi Arunika, segera!" perintah Rafael tidak sabar.
Namun, saat itu juga ponsel Marco berdering. Suara seorang pengemudi online yang ditugasi menjemput Arunika masuk.
“Pak, saya sudah di depan perusahaan seperti yang dipesan … tapi penumpang saya tidak ada. Katanya dia sudah masuk mobil lain.” Bahkan, taksi online semuanya telah bekerja sama untuk Rafael dalam mengawasi Arunika. Agar mereka tahu kemana Arunika pergi jika memesan taksi online.
Rafael spontan menoleh ke arah jalanan dengan tatapan tajam. Marco menjawab cepat, “Apa maksudmu?!”
“Ada yang mengaku menjemputnya lebih dulu. Mobil hitam, saya bahkan sempat melihat Nona itu naik ke dalam.”
Rafael merasakan darahnya berdesir dingin. Rahangnya mengeras. “Sial.”
Sementara itu, di dalam mobil, Arunika baru menyadari ada yang tidak beres. Ponselnya berbunyi, panggilan dari nomor sopir taksi online yang seharusnya menjemputnya. Dengan cepat ia angkat.
[Selamat siang, Nona. Saya sudah menunggu di depan lobi, tapi … Anda belum naik, kan?]
Arunika terdiam. Napasnya tercekat. “Apa? Tapi aku sudah di mobil…”
Seketika itu juga, suara tawa rendah dari kursi pengemudi membuat tubuhnya merinding.
“Maaf, Nona Arummuda. Tapi seseorang sedang menunggumu.”
Arunika menoleh cepat, berusaha membuka pintu, tapi kuncinya sudah dikunci otomatis. Dari kaca spion, ia melihat tatapan dingin si sopir. Mobil melaju semakin cepat, meninggalkan pusat kota. Arunika baru saja menyadari dia tidak naik taksi online, sedang berada di mobil penculik. Seketika ponsel Arunika kehilangan sinyal.
"Kenapa tidak ada sinyal," gumam Arunika.
"Mobil ini telah di pantau dan tentu saja ponsel Anda tak bisa digunakan," sahut sang sopir masih dengan seringainya.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh