Pertemuan pertama begitu berkesan, itu yang Mada rasakan saat bertemu Rindu. Gadis galak dan judes, tapi cantik dan menarik hati Mada. Rupanya takdir berpihak pada Mada karena kembali bertemu dengan gadis itu.
Rindu Anjani, berharap sang Ayah datang atau ada pria melamar dan mempersunting dirinya lalu membawa pergi dari situasi yang tidak menyenangkan. Bertemu dengan Mada Bimantara, tidak bisa berharap banyak karena perbedaan status sosial yang begitu kentara.
“Kita ‘tuh kayak langit dan bumi, nggak bisa bersatu. Sebaiknya kamu pergi dan terima kasih atas kebaikanmu,” ujar Rindu sambil terisak.
“Tidak masalah selama langit dan bumi masih di semesta yang sama. Jadi istriku, maukah?” Mada Bimantara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - Bertemu (Lagi)
“Terima kasih, selamat sore dan hati-hati di jalan.” Mada menutup pertemuan dengan arahan darinya.
Pembawa acara mengakhiri kegiatan dan seluruh peserta meninggalkan aula, begitu pula dengan Rindu. Mada sudah berdiri, hendak menemui Rindu. Baru ingat ada gadis itu sebagai SPG dan sempat saling pandang.
Sebagai pria normal, Mada meyakini kalau Rindu itu menarik. Namun, bukan berarti dia menyukai apalagi mencintai. Masih terlalu awal menyimpulkan hal itu. Hanya saja penasaran dan tidak ingin Rindu dengan sifat galaknya saat berperan di pameran nanti.
“Balik ke ruangan Pak?” tanya salah satu rekan kerja Mada dan hanya dijawab dengan dehaman.
“Kebetulan,” seru Mada saat berpapasan dengan Rindu hendak menuju toilet.
“Sore, pak,” sapa gadis itu sambil mengangguk.
“Kamu--”
“Mas Mada.”
Bukan hanya Mada yang menoleh, Rindu pun sama. Arba tanpa wajah berdosa mendekat.
“Mas, antar aku pulang ya,” ujar Arba dan Mada menatap heran wanita itu.
“Antar pulang?”
“Hm, aku nggak bawa mobil. Sekalian makan malam di rumah, mau ya.”
“Kamu nggak bawa mobil apa urusannya denganku,” seru Mada.
Rindu merasa berada di waktu dan tempat yang salah. “Permisi pak,” ujar Rindu lalu mengangguk pada Arba.
Mada hendak menahan Rindu, tapi urung karena Arba malah menarik tangannya. “Ayo, mas.”
Refleks Mada menghempas tangan Arba.
“Arba, dengar ya. Terlepas kamu anak dari tante Amira atau pewaris perusahaan papimu, di sini kamu magang dan aku atasan kamu. Hargai posisiku dan jangan bersikap begini. Karena apa, aku tidak nyaman. Bukan urusanku kamu tidak bawa mobil dan bukan tugasku untuk antar kamu pulang.”
Arba menghentakan kaki dengan kesal saat Mada meninggalkannya.
“Ck, gagal lagi.”
Hampir jam sepuluh malam saat Rindu mengucap salam lalu membuka pintu dan heran mendapati semua penghuni rumah ada di ruang tamu. Entah ada masalah apa atau mendiskusikan hal apa, Bude terisak dan Pade menunduk. Sedangkan Maman meski masih dengan wajah songong, memijat dahinya.
Biasanya saat ia pulang hanya ada Bude Sari yang masih melek dan Maman entah sudah nongkrong di mana. Namun, kali ini personil trio kwek-kwek dalam formasi lengkap.
“Bude kenapa?”
Rindu menempati sofa tunggal lalu meletakkan di lantai goody bag berisi seragam BImantara Property. Bukan menjawab, Bude Sari malah menangis.
“Ini ada apa?”
“Siap-siap kita hengkang dari rumah ini,” sahut Maman.
“Jaga mulutmu, Man.”
“Ya memang begitu pak, kalian nggak bisa bayar pasti disita terus kita harus cari tempat tinggal lagi.”
Rindu belum paham dengan perdebatan Pakde Yanto dan Maman. “Maksudnya gimana?”
Pakde Yanto menjelaskan kalau rumah itu dijadikan agunan untuk hutang piutang dan masalahnya bukan agunan ke bank, tapi pinjaman ke orang. sedikitnya Rindu paham kalau pakde Yanto ini berusaha dengan lintah darat.
“Kita mau tinggal di mana, kalau diusir dari sini. Mana sisa hutangnya masih banyak.”
Merasa tidak tahu harus berbuat apa, Rindu hanya diam dan mendengarkan keluarga itu berdebat. Bukan tanpa empati atau simpati, tapi Rindu tidak terlibat atau tahu kapan proses pinjam meminjam itu. Baru paham kenapa keluarga ini terlilit hutang karena ulah Maman yang tidak jelas juga Pakde Yanto yang senang berjudi.
Hanya bisa mengurut dada saat Bude Sari menunjuk-nunjuk wajah suaminya menyalahkan pria itu.
“Sudah, semua sudah terjadi. Kita pikirkan besok, aku ngantuk, capek.” Pakde Yanto beranjak menuju kamarnya. Begitupun Bude Sari dan Maman.
Rindu menghela nafas, sudah pasti masalah ini akan berimbas juga padanya.
***
Hari pernikahan Gilang -- Putra pertama Arya dan Sarah, semua yang hadir terutama pasangan pengantin terlihat bahagia. Bahkan Sarah beberapa kali menyusut matanya sejak selesai ijab qabul. Saat ini sedang break untuk persiapan resepsi.
“Harusnya kamu bahagia bukan menangis terus,” seru Arya sambil merangkul Sarah.
“Aku bahagia kok, akhirnya Gilang menikah, tinggal pikirin Mada dan Gita.”
“Sayang, sudahlah. Mada masih muda, biarkan saja dulu dan Gita masih kuliah. Jangan buat dia stres karena kekhawatiran kita."
“Aku bukan khawatir, cuma takut kalau--”
“Ssst, udah. Lihat tuh kamu jadi perhatian anak-anak,” bisik Arya.
Sarah menatap pada Mada yang mencebik dan Gita terkekeh.
“Mama sama papa mesra terus,” ujar Gita yang bergelayut manja di lengan Mada.
“Hooh, nggak tahu tempat. Nggak kasihan sama kita yang jomblo.”
“Makanya cari pacar sana,” usir Sarah.
“Pacar mah gampang Mah, aku ‘kan maunya cari istri.”
“Hah, serius kembaranku ini mau cari istri,” seru Moza yang baru bergabung. Wanita itu menggendong putrinya sedangkan Dewa menuntun putra mereka. Saat ijab qabul, anak-anaknya rewel sampai harus melipir menjauh agar proses akad nikah Gilang tidak terganggu.
“Ayo, sini sama Opa,” ujar Arya mengajak kedua cucunya mendekat. Sedangkan Moza menghampiri Mada dan memeluk pria itu.
“Kangen,” ucap Moza.
“Halah, bohong. Telpon gue aja di reject terus.” Meski mulut mencebik, tapi tangan Mada membalas pelukan Moza.
“Bukan aku, tapi anak-anak. Ponsel aku suka dimainin mereka.”
“Udah, jangan lama-lama.” Dewa menarik tubuh istrinya dari pelukan Mada.
“Posesif,” ejek Mada dan Gita tergelak sendiri melihat drama kakaknya. “Bang, nanti kita colab ya,” ajak Mada menunjuk panggung dimana panitia mempersiapkan alat musik.
“Oke,” jawab Dewa.
“Aku nggak mau nyanyi ya, malu,” cetus Moza.
“Apalagi aku, nggak bisa nyanyi.” Gita mencibir lalu dirangkul oleh Mada bahkan menyapit bibirnya dengan tangan, membuat gadis itu berontak dan berteriak.
“Yah, terus siapa dong. Masa Papa, bisa bubar acara," ejek Moza.
“Sembarangan kamu, memang suara papa menakutkan begitu. Suaraku bagus ya, sayang.”
“Bagus, bagus banget. Lebih bagus lagi kalau diam,” ujar Sarah sambil memangku cucu perempuannya. Arya berdecak sedangkan yang lain terkekeh.
Obrolan dan canda keluarga itu pun terhenti karena harus bersiap untuk resepsi saat salah satu orang WO menginterupsi.
Arya sudah menyampaikan agar Mada tidak jauh darinya saat resepsi nanti. tentu saja akan mengenalkan pada para kolega dan rekanan yang hadir. Bagaimanapun Mada adalah penerus Arya yang akan memimpin Bimantara Property.
Baru separuh waktu acara pesta, Mada sudah bosan dan lelah. Padahal dia bukan pemeran utama di acara tersebut. Mendapati Arya sedang fokus berbincang, Mada pun perlahan menjauh dan kabur.
Alunan lagu mengiringi sejak acara dimulai. Mada menempati kursi kosong tidak jauh dari pintu masuk sambil membuka ponsel. Ada pesan masuk dari Bayu dan Erlan, mereka sudah dalam perjalanan untuk menghadiri pesta tersebut. Suara yang dia dengar rasanya tidak asing, Mada pun menatap ke arah panggung.
“Loh, dia ‘kan ….”
mendingan Rindu la,jaaaauuuh banget kelakuan kamu dan Rindu...
gimana mau jatuh cinta ma kamu
😆😆😆😆
kamu gak masuk dalam hati Mada Arba,lebih baik sadar diri...
jauh jauh gih dari Mada
babat habis sampai ke akarnya...
🤬🤬🤬🤬🤬