Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
☀️☀️☀️
Tania membanting pintu kontrakan dengan kasar begitu mereka tiba di rumah. Napasnya terengah-engah, rambutnya berantakan, dan wajahnya terlihat kusut penuh lelah. Dengan gerakan dramatis, dia menjatuhkan tubuhnya di sofa reyot ruang tamu yang mulai usang.
“Aku lelah, Mas…” keluh Tania sambil memijit kakinya sendiri. “Tiap hari bangun pagi, pulang malam. Berdiri lama, mengaduk jus tanpa henti. Rasanya kaki ini mau copot!”
Damar yang baru saja meletakkan tas bahan baku minuman di sudut ruangan, mendesah pelan. Dia berjalan mendekat, duduk di samping istrinya, lalu meraih tangan Tania dengan lembut. “Bersabarlah, Tan. Kita sedang merintis. Kalau nanti stand minumanku sudah besar dan dikenal banyak orang, aku janji akan memperkerjakan pegawai. Kau bisa istirahat di rumah, tudak usah bantu di stand lagi.”
Tania mendengus, menarik tangannya dari genggaman Damar. “Sampai kapan, Mas? Sampai kapan aku harus begini terus?” suaranya meninggi, matanya membelalak.
Damar terdiam sejenak, berpikir. “Mungkin sekitar dua atau tiga bulan ke depan,” jawabnya pelan, mencoba menenangkan.
“Apa?! Tiga bulan lagi?!” Tania berteriak, berdiri dari sofa dengan gerakan cepat. “Aku tidak sanggup, Mas! Rasanya aku mau mengibarkan bendera putih saja sebagai tanda menyerah!”
Damar menatap istrinya dengan sorot mata yang lelah. Hatinya panas mendengar keluhan demi keluhan yang terus mengalir dari mulut Tania. Saat itu juga, pikirannya melayang pada sosok lain—Niken, mantan istrinya.
Dulu, Niken tak pernah diminta pun selalu menawarkan diri untuk membantu. Dia rela berdiri lama di samping Damar, mencatat pesanan, bahkan ikut membersihkan peralatan tanpa satu keluhan pun. Dan setiap kali Damar mulai ragu atau merasa penat, Niken selalu menyuntikkan semangat dengan kata-kata manis, seolah meyakinkan Damar bahwa semua usaha mereka akan berhasil suatu hari nanti.
Tapi Tania? Damar harus mengakui, istrinya yang sekarang justru membuat kepalanya semakin pusing. Tania hanya melihat semua ini sebagai beban, bukan mimpi yang sedang mereka bangun bersama. Alih-alih menjadi partner yang menguatkan, Tania hanya menuntut dan mengeluh tanpa henti.
“Tan….” Damar berdiri perlahan, menatap istrinya dengan tatapan serius. “Aku tahu ini tidak mudah. Aku juga lelah. Tapi kalau kita berdua menyerah sekarang, apa yang akan kita punya nanti?”
Tania mendengus, memalingkan wajah. “Aku tidak tahu, Mas. Aku cuma tahu aku tidak mau hidup seperti ini terus.”
Damar menarik napas panjang, menahan kecewa yang mulai menggerogoti dadanya. Mungkin benar, dia telah salah menilai. Perbedaan antara Niken dan Tania semakin jelas terlihat sekarang. Dulu dia menganggap Niken terlalu serius, terlalu kaku, makanya dia tergoda pada sosok Tania yang ceria dan penuh tawa. Tapi siapa sangka, pada akhirnya, yang paling dia butuhkan adalah seseorang yang kuat mendampingi di masa-masa sulit, bukan hanya seseorang yang bisa tertawa bersamanya di saat senang.
Dalam diam, Damar hanya bisa menatap istrinya yang terus mengomel. Di dalam hatinya, dia mulai bertanya-tanya : Apakah dia sudah membuat kesalahan besar?
"Mas, jangan melamun. Buatkan sesuatu untukku di dapur. Aku lapar," rengek Tania.
"Aku tidak memasak apapun," sahut Damar.
"Kalau begitu, pergi beli makanan di luar. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau perutku lapar!" Tania sedikit meninggikan suara dan membuat Damar geleng-geleng kepala.
Suasana rumah kontrakan malam itu terasa pengap. Damar dan Tania baru saja selesai makan malam sederhana — nasi goreng buatan Damar yang dimasak seadanya karena Tania mengaku terlalu lelah untuk menyentuh dapur. Setelah menyapu sisa-sisa piring di meja, Damar berniat duduk sebentar di ruang tamu untuk melepas penat.
Namun belum sempat dia mengangkat kaki, suara Tania terdengar dari arah kamar. “Mas, tolong siapkan air hangat buat aku mandi, ya. Sama…. ganti juga sprei di kasur. Aku mau pakai yang baru, yang bunga-bunga itu.”
Damar mendongak dengan dahi mengernyit. “Apa? Tania, aku ini suamimu, bukan pembantumu. Harusnya kau yang melayani aku, bukan aku yang sibuk melayani kamu.”
Tania muncul dari balik pintu kamar, berdiri dengan tangan bersedekap. Matanya melotot kesal. “Apa susahnya sih, kerja sama Mas? Aku juga sudah bantu kamu di stand jualan tadi, berdiri dari pagi sampai malam. Sekarang kamu tidak mau bekerja sedikit untukku?”
Damar menggeleng pelan, hatinya mulai panas. “Tan, aku capek juga. Jangan seenaknya nyuruh-nyuruh begini dong.”
Tania mendengus, suaranya meninggi. “Jangan jadi suami patriarki, Mas, kecuali uangmu sudah ada tujuh lemari! Kamu itu siapa? Sultan? Jangan sok minta dilayani kalau kita masih sama-sama susah!”
Damar terdiam, matanya berkedip pelan, menahan emosi yang menggelegak di dada.
“Ya sudah, kalau tidak mau bantu, biar aku sendiri. Tapi malam ini kamu tidur di luar!” bentak Tania. Dengan gerakan cepat, dia membalikkan badan dan masuk ke kamar, membanting pintu keras-keras di belakangnya.
Damar mengembuskan napas panjang, meremas rambutnya sendiri dengan frustrasi. Dalam hati, dia tahu kalau dia membiarkan ini, pertengkaran akan semakin panjang. Mau tak mau, dia akhirnya berdiri, melangkah ke dapur untuk menyiapkan air hangat.
Sambil menunggu air mendidih, Damar berjalan ke lemari kecil mereka, menarik sprei baru bermotif bunga-bunga merah muda, seperti permintaan Tania. Dengan pelan dia masuk ke kamar, memperhatikan istrinya yang kini rebahan di kasur sambil bermain ponsel, pura-pura tak peduli.
Damar membuka seprai lama, melipatnya, lalu mulai memasang yang baru. Semua dilakukan dalam diam, dengan hati yang terasa makin berat. Sesekali dia melirik Tania yang sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda terima kasih.
Begitu air hangat selesai direbus, Damar menuangkannya ke ember kecil di kamar mandi, mencampurnya dengan air dingin, lalu memanggil pelan, “Tania, air hangatnya sudah siap.”
Tania hanya melirik sekilas, mengangguk tanpa suara. Damar berdiri di ambang pintu kamar mandi, memejamkan mata sejenak. Dalam hati, dia merasakan lagi perbedaan mencolok antara kehidupannya dulu bersama Niken dan sekarang bersama Tania.
Dulu, semua terasa sangat ringan. Niken selalu melakukan segalanya 24 jam untuk Damar. Tapi saat ini, sepertinya Damar harus berbesar hati menghadapi kelakuan dan tabiat istri mudanya yang anti mainstream itu.
Bersambung....