dapat orderan make up tunangan malah berujung dapat tunangan.Diandra Putri Katrina ditarik secara paksa untuk menggantikan Cliennya yang pingsan satu jam sebelum acara dimulai untuk bertunangan dengan Fandi Gentala Dierja, lelaki tampan dengan kulit sawo matang, tinggi 180. Fandi dan Diandra juga punya kisah masa lalu yang cukup lucu namun juga menyakitkan loh? yakin nggak penasaran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gongju-nim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
008. Jebakan Jodoh
Diandra dan Sisilia tampak menegang, keduanya membalikkan badan. Terlihat seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri dihadapan keduanya. Sedangkan dibelakang pria itu tampak Fandi menatap Diandra dengan tajam. Diandra dan Sisilia menengadah menatap pria baja hitam itu. Baju kaos berwarna hitam, celana jeans berwarna hitam, lengkap dengan rompi anti peluru berwarna hitam juga. Diandra jadi curiga jika pria itu juga memakai dalaman berwarna hitam.
"Gua nggak ikut-ikutan ya Sil." Diandra tersenyum lembut menatap Sisilia yang terlihat memelas.
"Jangan aneh aneh lu, temenin gue." Sisilia memegang erat lengan Diandra, namun wanita itu malah melepaskan tangan Sisilia dengan paksa. "Lu mau kemana?" Sisilia berusaha menggapai Diandra yang tampak ingin kabur namun dihadang oleh pria baja hitam didepannya.
"Mau kemana atuh neng, kan akang disini. Jadi nggak ini mau nafkahin akang." Pria baja hitam menaik-turunkan alisnya pada Sisilia.
"Anu bang." Sisilia menjawab terbata kemudian terkekeh canggung. "Itu, cuma bercanda." Sisilia tertawa canggung, sedangkan pria baja hitam didepannya hanya menatap Sisilia yang tampak kikuk.
Diandra menahan tawanya, Sisilia yang biasa terlihat petantang petenteng itu kini tampak seperti ayam sakit. Lemah, letih, lunglai, tak berdaya. 'Sini Di, bantuin gue.' Itu yang Diandra tangkap dari gerak bibir Sisilia. Diandra menggeleng lalu semakin bergerak menuju Fandi yang berada beberapa langkah dibelakang pria baja hitam.
"Semangat Sil, lu pasti bisa." Diandra mengangkat kedua tangannya yang mengepal.
"Sialan lu. Sini." Sisilia berteriak geram lalu hendak mengejar Diandra namun kembali dihadang oleh pria baja hitam.
Diandra tertawa keras melihat Sisilia yang tampak tak berdaya dihadapan pria yang tak diketahui namanya itu. Wanita itu lalu menarik Fandi untuk masuk ke dalam pekarangan kosannya meninggalkan Sisilia yang tampak misuh misuh sendiri. Salah siapa tiba-tiba menggoda Abang tukang bakso hanya karna tampan.
"Kok kamu disini?" Diandra menatap Fandi menyipit.
"Kamu lupa kalo saya polisi, jelas saya disini." Fandi menyahut acuh.
"Enggak, maksud aku kamu dulu di lalu lintas. Emang polisi lalu lintas ikut kesini juga pas penangkapan gini. Kan ini didalam gang." Diandra bersedekap menatap Fandi garang.
"Saya nggak lagi di lalu lintas, udah pindah." Jelas Fandi lembut.
Diandra menganggukkan kepala, sebenarnya masih tidak mengerti kenapa lelaki itu bisa disini. Namun mengingat Fandi berprofesi sebagai polisi, Diandra tidak mau ambil pusing dengan penjelasan lelaki itu barusan.
"Saya tadi nelpon kamu, tapi nggak diangkat." Fandi yang merasa lelah setelah kejar-kejaran dengan targetnya tadi memilih duduk di tanah.
Fandi dan Diandra saat ini berada di pojokan pekarangan kos Diandra, tidak ada bangku disana. Beberapa anak kos juga berada disana sedang berbincang-bincang ringan. Pekarangan ini bagian luar, lebih tepat parkiran. Masih ada pagar lagi setinggi satu meter sebagai pembatas serta gerbang untuk akses masuk kedalam kosan.
"Nomor itu nomor kamu?" Diandra menatap Fandi yang duduk dihadapan.
"Iya, kamu kemana tadi. Masih pusing kepalanya?" Fandi bertanya lembut menatap gadis cantik dihadapannya.
Diandra menyelipkan rambut dikedua telinganya. Angin yang bertiup membuat rambut panjangnya berterbangan dan menutupi muka. Diandra tadi lupa membawa ikat rambut, bahkan ponsel saja tertinggal dikamar. Lalu wanita itu menengadah melihat langit, kenapa setiap dirinya bertemu Fandi selalu akan turun hujan.
"Ada ada yang nanya itu dijawab. Saya dibawah sini bukan diatas sana." Fandi mendengus sebal.
"Apa sih." Diandra menatao Fandi julid. "Dapat darimana nomor aku?"
"Dari mimpi semalam." Fandi tersenyum menggoda wanita didepannya. "Kamu masih sakit kenapa keluar pake baju kayak gini?" Wajah Fandi mulai tak enak dilihat.
Diandra memperhatikan penampilannya, celana pendek berwarna toska diatas lutut dengan baju kaos berwarna hitam. Tidak ada yang salah dengan pakaiannya, tadi siang sangat panas tidak mungkin dirinya memakai pakaian serba panjang saat berada di dalam kamar 'kan?
"Aku belum mandi." Diandra menjawab acuh. "Ini pakaian aku dari tadi siang." Diandra mengangkat kedua bahunya.
"Pantas bau." Fandi menjepit hidungnya dan bersingut mundur sedikit menjauh dari Diandra.
"Enak aja, aku masih wangi ya." Diandra menyahut galak membuat Fandi terkekeh.
'tampan.' Diandra berkata dalam hati. Gawat, sepertinya Diandra mulai terpelet pesona Fandi. Diandra menggelengkan kepala. Dirinya tidak boleh terjebak kedalam pesona seorang Fandi. Lagi.
"Pria baja hitam tadi siapa?"
"Pria baja hitam? Siapa?" Fandi tampak kebingungan membuat Diandra mendengus.
"Yang tadi didepan kamu. Yang sama Sisil didepan." Diandra menjelaskan dengan nada malas.
"Aneh aneh aja kamu, pria baja hitam." Fandi terkekeh. "Randu, teman saya."
Teman lagi, kemaren Jerry sekarang Randu. Besok siapa lagi. Kenapa juga orang-orang yang berada disekitar Diandra selalu bersinggungan dengan seorang pria bernama Fandi ini. Apakah tidak ada orang lain di dunia ini. Diandra mulai merasa lelah.
"Lo kemaren sakit Di? Sakit apa?" Seorang pemuda berjalan dari arah belakang Diandra.
Fandi memiringkan badannya untuk melihat siapa pria yang berbicara itu. Seorang pemuda yang sepertinya berusia diawal 20an dengan baju tanpa lengan berwarna hijau lumut dan celana basket sudah berada di hadapan Diandra. Diandra reflek memutar tubuhnya. Fandi yang melihat tatapan pemuda itu segera beranjak dan berdiri beberapa langkah dibelakang Diandra.
"Iya." Diandra menjawab singkat lalu mengangguk.
"Sakit apa?" Pemuda itu hendak menyentuh kening Diandra membuat Diandra mundur dan menabrak Fandi dibelakangnya.
"Cuma capek aja kok."
Diandra terlihat tak nyaman dengan kehadiran pemuda itu. Wanita itu lalu merangkul lengan kekar Fandi. Fandi sedikit keheranan dengan gelagat Diandra, lelaki yang menggunakan kaos polos bersama abu-abu berlengan pendek dengan jeans berwarna denim itu menatap pemuda dihadapannya. Pemuda yang hanya setinggi dagunya tampak menatap Fandi dengan tatapan menantang.
"Dia siapa sayang?" Fandi bertanya lembut sembari melepaskan rangkulannya Diandra di lengannya, lalu Fandi beralih merangkul pinggang ramping Diandra dengan posesif.
"Anak kos sini." Diandra sebenarnya risih dengan perkataan dan perlakuan Fandi namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Masuk sana. Mandi pake air panas. Kalo masih pusing nanti telpon aku ya." Tangan Fandi naik ke bahu Diandra dan mengusapnya pelan. "Kamu belum makan kan? Nanti aku pesanin makan."
Diandra menatap Fandi disebelahnya. Fandi ternyata sangat tinggi, Diandra hanya sedada lelaki itu saja. Wanita itu lalu mengangguk tanda mengerti, entah Fandi benar benar akan memesankannya makanan atau tidak, Diandra tidak perduli. Dirinya hanya ingin pergi dari sana secepat mungkin.
"Lo belum makan, Di? Kok ngga bilang gue. Gue pesanin ya, mau makan apa?" pemuda itu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengutak-atik ponsel tersebut.
"nggak perlu Hendro." Diandra menolak halus keinginan Pemuda itu.
Fandi melihat pemuda yang Diandra sebut Hendro itu dari atas sampai kebawah. Kulit putih bersih, mata sipit, hidung mancung, rambut diikat kebelakang menggunakan karet gelang, kurus. Jelas lebih unggul Fandi, dirinya hanya kalah di warna kulit saja. Bahkan Fandi yakin untuk urusan isi dompet juga masih unggul Fandi.
"Enggak perlu lah dek, beliin tunangan saya makanan segala. Beli buat kamu sendiri aja, biar agak berisi dikit." Fandi terkekeh sedikit dengan perkataannya yang sontak mendapat hadiah cubitan manis dari Diandra. "Sakit sayang." Fandi mengelus pinggangnya yang tadi dicubit Diandra.
"Nggak boleh gitu." Diandra berbisik pelan lalu memukul dada bidang Fandi.
"Iya, iyaa. Maaf." Fandi membuat tanda peace. "Masuk sana."