NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Keesokan paginya, suasana di luar rumah sakit tampak lebih sibuk dari biasanya.

Dena, dengan raut wajah serius, menjemput pasangan yang telah lama mencari cahaya harapan mereka: Tuan Maxim Hendricko dan istrinya, Ny. Alena.

Mobil hitam mewah berhenti tepat di depan pintu masuk hotel bintang lima tempat mereka akan menginap sementara.

Dena turun lebih dulu, membuka pintu, dan menyambut mereka dengan hormat.

"Selamat pagi, Tuan Maxim, Nyonya Alena. Terima kasih sudah datang secepat ini. Tuan Aldric ingin bertemu terlebih dahulu sebelum Anda bertemu dengan Arlena," ucap Dena sopan.

Wajah Tuan Maxim tegas, penuh wibawa, namun mata tajamnya tampak bergetar saat mendengar nama yang selama ini hanya hidup dalam doa-doa panjang dan kenangan kosong.

"Di mana dia?" tanyanya singkat.

"Dia masih di rumah sakit, tapi Tuan Aldric ingin menjelaskan terlebih dahulu... agar tidak ada kejutan yang memperburuk kondisi putri Anda."

Nyonya Aleba memegang lengan suaminya, suaranya bergetar saat berkata, "Apakah dia... benar-benar hidup? Dan selamat?"

Dena menunduk hormat. "Ya, Nyonya. Tapi dia mengalami banyak hal buruk. Karena itu, Tuan Aldric ingin memastikan semua berlangsung tenang."

Mereka dibawa ke lounge hotel, di mana Aldric sudah menunggu.

Ia bangkit dari duduknya saat melihat pasangan itu masuk. Ia menatap langsung ke arah Maxim Hendricko, pria yang kekuatannya mengguncang pasar Asia Tenggara, namun kini berdiri sebagai seorang ayah yang kehilangan.

“Terima kasih sudah datang,” ujar Aldric dengan tegas.

“Sebelum Anda bertemu Arlena, izinkan saya menjelaskan segalanya. Tentang bagaimana dia ditemukan… tentang apa yang telah dia lalui.”

Maxim menatap Aldric tajam, namun mengangguk.

“Baik. Katakan semuanya.”

Aldric menarik napas dalam, lalu mulai menceritakan kisah panjang Arlena dari masa lalunya yang kelam, penculikan sejak bayi, penyiksaan, perdagangan manusia, hingga bagaimana gadis itu bertahan hidup.

Suasana ruangan menjadi sunyi, hanya tersisa desahan napas dan sesekali isak tertahan dari Nyonya Amara.

Setelah semuanya diceritakan, Maxim menutup matanya sejenak. Tangannya mengepal. “Aku ingin melihat anakku,” ucapnya.

Aldric mengangguk. “Kita akan menunggu waktu yang tepat. Biarkan aku mempersiapkan Arlena. Dia masih sangat rapuh. Tapi aku janji… dia akan tahu bahwa keluarganya tidak pernah berhenti mencintainya.”

Dengan hati-hati, Aldric mengeluarkan sebuah map berwarna biru tua dari tas kulitnya.

Di dalamnya, tersimpan beberapa lembar foto yang selama ini ia simpan dengan rapi.

Ia meletakkannya perlahan di atas meja kaca di depan Tuan Maxim dan Nyonya Alena.

"Ini... beberapa foto Arlena selama tinggal bersama saya," ujar Aldric pelan, suaranya dalam namun tenang.

"Sebagian saya ambil secara diam-diam saat dia belajar, memasak, bahkan saat dia tertawa kecil. Mungkin tidak sempurna, tapi... saya ingin kalian mengenalnya sebelum bertemu langsung."

Tuan Maxim meraih selembar foto pertama. Tangannya gemetar.

Dalam foto itu, Arlena tampak sedang memotong sayuran di dapur, wajahnya fokus namun damai.

Di foto lain, ia terlihat sedang menyiram bunga di taman, cahaya matahari sore membingkai siluet tubuh mungilnya.

Ada pula gambar Arlena yang sedang tertidur di sofa dengan buku terbuka di dadanya.

Nyonya Apena menutup mulutnya, menahan tangis yang tak terbendung.

Matanya terpaku pada foto Arlena yang mengenakan apron, wajahnya tersenyum malu-malu sambil memegang semangkuk salad buah.

"Ini... dia..." bisiknya.

"Dia tumbuh... jadi gadis yang kuat... dan cantik."

Tuan Maxim menatap tajam pada Aldric. “Kau yang menjaga dia selama ini?”

Aldric menatap mata pria itu, tegas namun penuh empati.

“Saya tidak tahu siapa dia saat itu. Tapi saya tahu dia pantas mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan kasih sayang. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.”

Sunyi mengisi ruangan. Lalu, Nyonya Amara dengan suara lirih berkata, "Terima kasih... karena tidak membiarkan kami kehilangan dia untuk kedua kalinya."

Aldric menunduk singkat. “Saya janji, dia akan segera kembali ke dalam pelukan kalian. Tapi mohon... biarkan dia tahu bahwa cinta kalian masih ada. Itu yang akan menyembuhkannya.”

Aldric bergegas menyibak kerumunan dokter dan perawat yang berdiri cemas di depan kamar perawatan.

Degup jantungnya semakin cepat, tubuhnya terasa dingin, seolah darahnya berhenti mengalir.

"Apa yang terjadi?!" serunya panik, menatap salah satu dokter senior.

Dokter itu menoleh cepat, wajahnya tegang. "Dia... Nona Arlena mencoba melompat dari jendela. Untung kami masuk tepat waktu."

Tanpa menunggu jawaban, Aldric mendorong pintu ruangan dan masuk.

Di dalam, Arlena duduk di pojok ruangan dengan selimut membungkus tubuhnya. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan tangisnya masih membekas.

Aldric menutup pintu perlahan, berjalan mendekat, lalu berlutut di depannya.

"Arlena..." bisiknya lembut. “Kenapa…?”

Arlena menggigit bibirnya, air mata jatuh satu-satu dari matanya yang redup.

"Aku lelah, Tuan... Aku terus bermimpi buruk... Suara mereka... tawa mereka... sentuhan mereka... aku merasa kotor, tidak berharga..."

Aldric mengangkat tangannya, menggenggam jemari Arlena yang gemetar.

"Dengar aku baik-baik. Kamu tidak kotor. Kamu korban. Dan kamu hidup… kamu kuat karena kamu bertahan."

"Aku tidak punya siapa-siapa..."

Aldric menggeleng, suaranya bergetar penuh ketegasan.

"Kamu punya aku... dan kamu punya orang tua kandungmu. Mereka datang, Lena. Mereka mencintaimu. Dan mereka—kami—tak akan biarkan kamu sendirian lagi."

Arlena memandangnya dengan mata membesar.

"O-orang tuaku... yang sebenarnya?"

Aldric mengangguk perlahan, air matanya hampir pecah melihat luka yang tak terlihat itu menggerogoti gadis di hadapannya.

“Ya. Dan mereka tak pernah berhenti mencarimu.”

Arlena menutup wajahnya dan menangis untuk pertama kalinya bukan karena sakit, tapi karena harapan yang mulai menyala kembali dalam hatinya yang remuk.

Aldric mendekapnya dalam diam, menjaga agar ia tidak kembali merasa sendiri.

Di luar ruangan, para dokter mundur pelan, membiarkan kesembuhan sejati dimulai dengan kasih, dan perlindungan.

Dokter masuk perlahan ke dalam ruangan, membawa peralatan medis dengan langkah hati-hati agar tidak mengejutkan Arlena yang masih terduduk lemah di pelukan Aldric.

Aldric mengangguk singkat, memberi isyarat bahwa tak apa dokter mendekat.

Arlena hanya melirik sekilas, tubuhnya masih gemetar ringan.

Ia tidak lagi menolak, tetapi jelas terlihat rasa trauma yang membayang di matanya.

“Maaf ya, Nona Arlena. Saya pasang infusnya lagi supaya tubuhmu cepat pulih,” ujar dokter dengan suara selembut mungkin, mencoba menenangkan.

Dengan cekatan dan penuh kehati-hatian, dokter membersihkan area di pergelangan tangan Arlena lalu memasang kembali selang infus.

Jarum menembus kulit pucatnya, dan Arlena sedikit meringis, tapi tidak melawan.

Aldric tetap menggenggam tangan kirinya, memberi kekuatan dalam diam.

“Sedikit lagi, Lena. Kau akan sembuh… dan semua ini akan segera berlalu.”

Selang infus sudah terpasang. Dokter mengecek tekanan darah sebentar, lalu menatap Aldric.

“Kami akan terus memantau kondisinya. Untuk saat ini, tolong tetap temani dia… itu yang paling dia butuhkan.”

Aldric mengangguk, tidak melepaskan tatapan dari Arlena yang mulai menutup mata lagi.

Bukan karena menyerah, tapi karena tubuh dan jiwanya terlalu lelah.

Di sisi ranjang, Aldric tetap duduk, bertekad untuk tidak bergeser sejengkal pun hingga Arlena benar-benar merasa aman.

1
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!