NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:11.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Aldric melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan.

Sepatu kulitnya menyentuh lantai marmer yang dingin, menimbulkan gema samar di ruang yang kini terasa hampa.

Ia melepaskan jasnya dan menggantungnya di dekat pintu lalu memandang ke sekeliling.

Ruang tamu itu bersih dan rapi, seperti biasa, tapi berbeda sunyi.

Tak ada suara tawa lembut Arlena, tak ada aroma masakan yang biasa menyambutnya dari dapur, tak ada langkah-langkah kecil yang ceria.

Rumah itu kini hanya menjadi bangunan besar yang sunyi.

Ia berjalan ke ruang tengah, duduk di sofa favoritnya, dan memandangi cangkir teh yang masih tersisa di meja.

Arlena yang membuatkan itu pagi tadi tanpa sadar, ia menghela napas panjang.

“Sepi sekali, ” gumamnya pelan.

Dua staf rumah hanya saling pandang dari jauh, tak berani mengganggu.

Mereka tahu meski Aldric tak mengucapkannya dan tengah merindukan kehadiran gadis yang mengubah warna di rumah itu.

Malam itu langit kota terlihat cerah, dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip malu-malu.

Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut yang samar dari kejauhan.

Di sebuah hotel mewah di pusat kota, lantai restoran pribadi telah disiapkan khusus oleh Tuan Maxim Hendricko untuk satu undangan istimewa: Aldric.

Sebuah pesan singkat diterima Aldric sore itu, hanya bertuliskan.

“Kami ingin mengundangmu makan malam dan ada hal penting yang ingin kami sampaikan.Maxim Hendricko.”

Awalnya ia sempat ragu. Namun, rasa tanggung jawab dan hubungan yang kini terjalin dengan Arlena membuatnya tidak berpikir dua kali.

Tepat pukul delapan malam, Aldric tiba di hotel dengan stelan jas berwarna navy gelap yang elegan.

Ia disambut oleh Dena, asisten pribadi keluarga Hendricko dan diantar ke ruang makan pribadi yang telah disiapkan dengan pencahayaan hangat dan pemandangan kota dari balik kaca jendela besar.

Tuan Maxim berdiri menyambutnya, mengenakan jas krem dengan kemeja putih.

Di sampingnya, Nyonya Alena tersenyum ramah sambil menggandeng lengan suaminya.

“Selamat malam, Aldric,” ucap Tuan Maxim sambil menjabat tangannya dengan tegas namun bersahabat.

“Terima kasih sudah datang.”

Mereka bertiga duduk di meja makan yang tertata rapi, di atas taplak putih dengan peralatan perak berkilauan.

Makanan Italia telah disiapkan sup jamur, lasagna daging, dan wine merah yang harum.

Namun bukan makanan yang menjadi sorotan malam itu.

Setelah beberapa percakapan hangat dan ringan, Tuan Maxim akhirnya menatap Aldric dengan pandangan yang lebih dalam.

“Kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah menjaga putri kami, bahkan ketika kami tak tahu keberadaannya,” ucapnya suaranya sedikit bergetar menahan emosi.

"Kamu tak hanya menyelamatkannya dari masa lalu yang gelap, kamu juga memberi dia cahaya untuk berharap.”

Aldric menunduk sedikit, merasa terharu namun tetap menjaga wibawa.

“Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar,” jawabnya dengan suara rendah.

“Kau bukan orang biasa, Aldric. Kami bisa melihat itu. Arlena berharga bagi kami dan kami melihat betapa berharganya dia juga bagimu.”

Malam itu berakhir dengan kehangatan yang tak terduga.

Bukan sekadar makan malam, tapi awal dari hubungan yang lebih dalam antara dua keluarga yang kini terikat oleh takdir dan oleh cinta seorang gadis bernama Arlena.

Suasana makan malam yang hangat perlahan mulai meredup seiring waktu yang terus berjalan.

Sisa-sisa obrolan ringan, tawa kecil, dan kenangan yang dibagikan malam itu mulai meresap dalam hati masing-masing.

Hingga akhirnya, Tuan Maxim menarik napas panjang dan menatap Aldric dengan sorot mata yang tenang namun penuh makna.

"Aldric.," ucapnya pelan, suaranya rendah tapi cukup jelas untuk mengundang perhatian semua yang duduk di meja itu.

"Besok, kami berencana membawa Arlena pulang bersama kami ke Singapura."

Ucapan itu mengalun tenang, namun dampaknya menghantam lembut ke dalam hati semua yang mendengarnya. Aldric menoleh secara refleks, menatap Arlena yang duduk di samping ibunya.

Gadis itu tersenyum lembut namun tak sepenuhnya bahagia dan senyum yang menyembunyikan kegamangan.

Arlena menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dan menatap Aldric.

Matanya tampak berkaca-kaca, namun ia berusaha tetap kuat.

“Aku senang akhirnya bisa kembali bersama papa dan mama. Tapi…” ucapnya lirih.

“Aku juga sedih…”

Tangannya bermain-main dengan ujung serbet di pangkuannya, seolah sedang mencari pegangan.

“Aku akan merindukan rumah yang selama ini menampungku. Tempat di mana aku merasa aman… tempat di mana aku mengenal banyak hal, termasuk kebaikanmu, Tuan Aldric.”

Aldric hanya diam, matanya tertuju pada Arlena dengan perasaan yang sulit diuraikan.

Ada kelegaan karena gadis itu akhirnya akan hidup bersama keluarganya yang sesungguhnya, tapi juga ada kekosongan yang mulai tumbuh.

Ia tahu rumah yang akhir-akhir ini dipenuhi tawa Arlena akan kembali sunyi dan lebih dari itu ia menyadari betapa besar tempat Arlena dalam hatinya.

Tuan Maxim meletakkan tangannya di bahu Arlena, seolah memberinya kekuatan.

“Kami tak ingin memisahkan hubungan baik ini, Aldric. Tapi Arlena sudah terlalu lama jauh dari kami. Kami ingin menebus waktu yang hilang,” katanya dengan tulus.

Aldric akhirnya mengangguk perlahan, tersenyum walau dengan sedikit berat hati.

“Saya mengerti… Arlena memang seharusnya bersama keluarganya. Kalian pantas mendapatkan waktu yang selama ini direnggut oleh keadaan.”

Malam itu ditutup dengan keheningan yang dalam, bukan karena ketiadaan kata, melainkan karena hati-hati yang saling terikat mencoba menerima kenyataan bahwa perpisahan mungkin tak bisa dihindari walau perasaan belum siap untuk berpisah.

Setelah makan malam usai dan percakapan mulai mereda, Tuan Maxim dan Nyonya Lena perlahan bangkit dari kursi mereka. Dengan senyum pengertian, mereka menatap Arlena dan Aldric, lalu Tuan Maxim berkata pelan,

“Kami beri kalian waktu berdua. Kami tunggu di kamar.”

Keduanya berjalan meninggalkan ruangan, membiarkan keheningan menggantung di antara Arlena dan Aldric.

Arlena menatap gelasnya, jari-jarinya memainkan sisa air mineral yang masih tersisa.

Tidak ada suara bahkan denting sendok pun tak terdengar.

Suasana menjadi sunyi, seperti menyesuaikan diri dengan hati mereka yang sama-sama tak ingin berucap terlalu cepat.

Terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu dari mana harus memulainya.

Aldric menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap Arlena, tatapan itu penuh keteguhan tapi juga menyimpan luka yang tak bisa diungkapkan.

“Maaf…” katanya lirih.

“Maaf, aku besok tidak bisa mengantarkanmu ke bandara.”

Arlena terdiam sejenak dan matanya perlahan naik menatap Aldric dan hanya ada senyuman kecil yang begitu tipis, hampir tak terlihat.

Tapi dari cara ia menganggukkan kepala, ada banyak perasaan yang tertahan.

“Tidak apa-apa,” katanya akhirnya.

“Aku mengerti…”

Tapi pada kenyataannya, hatinya tidak sepenuhnya mengerti.

Ia ingin setidaknya melihat senyum Aldric sebelum pergi.

Mendengar suaranya memanggil namanya untuk terakhir kalinya, bukan dalam bentuk kenangan, tapi nyata.

Jika memang Aldric memutuskan untuk tidak datang, maka ia harus menerimanya.

Karena mungkin. perpisahan memang tak selalu harus diiringi oleh lambaian tangan.

Kadang cukup dengan diam dan tatapan yang saling menyampaikan isi hati.

Aldric berdiri dengan langkah mantap dan menatap Arlena sekali lagi sebelum mengucapkan

“Aku pamit pulang dulu.” Suaranya tenang, namun ada getar halus yang sulit disembunyikan.

Arlena tetap diam, matanya mengikuti sosok Aldric yang perlahan menjauh.

Hatinya bergejolak antara ingin memanggilnya dan menerima kenyataan bahwa ini mungkin saatnya mereka berpisah.

Senyuman tipis masih terukir di bibirnya, meski dalam hatinya rasa sepi mulai merayap.

Ruangan itu terasa hampa setelah kepergian Aldric, seolah waktu berhenti sejenak, membiarkan kenangan mereka mengalir pelan di udara yang kini terasa sunyi.

“Selamat tinggal, Tuan... Terima kasih untuk semuanya,” suara Arlena bergetar, air matanya mengalir deras membasahi pipinya saat ia menangis sesenggukan.

Hatinya penuh campuran rasa sedih, terima kasih, dan harapan yang belum bisa terucap.

Setiap kenangan bersama Aldric berputar di pikirannya saat-saat bahagia, perjuangan, dan kehangatan yang pernah mereka bagi.

Namun kini ia harus melepas sosok yang begitu berarti membuatnya tak kuasa menahan kesedihan itu.

Ia tahu perpisahan ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan baru yang harus ia jalani sendiri.

Setelah puas menangis dan mengeluarkan segala rasa yang selama ini terpendam, Arlena perlahan bangkit dari tempat duduknya.

Dengan langkah yang masih gemetar, ia berjalan kembali ke kamar, membawa serta perasaan campur aduk di hatinya.

Di sana ia menutup pintu dan mencoba mengumpulkan kekuatan, menyeka sisa air mata yang mengalir, dan berusaha menenangkan pikirannya yang bergejolak.

Meski berat ia tahu harus bangkit dan melangkah maju, membawa kenangan indah itu sebagai bekal dalam menghadapi hari-hari yang akan datang.

Di kamar yang sunyi, Aldric duduk termenung, menatap buku harian Arlena yang terbuka di pangkuannya.

Air mata perlahan mengalir di pipinya, menandakan betapa dalamnya perasaan yang ia pendam selama ini.

“Aku mencintaimu, Arlena.” gumam Aldric.

Hatinya hancur menerima kenyataan bahwa harus berpisah dengan perempuan yang begitu berarti.

Dalam keheningan itu, ia menutup buku harian itu dan mengucapkan dengan berat hati.

“Selamat tinggal.”

Rasa kehilangan dan cinta yang tak terucapkan menyelimuti malam dan meninggalkan Aldric dalam kesendirian yang pilu.

1
Rohana Omar
up la 1 atu 2 bab baru hati nak bacanya....ni up 1 bab lepas tu tercari2 bab seterusnya......
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!