NovelToon NovelToon
The Painters : Colour Wars

The Painters : Colour Wars

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:830
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.

Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.

Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kandang Cat

Suara deru mesin pesawat militer Altheron perlahan mereda saat roda-roda logamnya mencium landasan. Di tengah langit Jerman yang kelabu, udara terasa dingin menusuk tulang. Namun tak ada yang lebih dingin dari suasana yang menunggu Ajie di fasilitas bawah tanah milik Altheron.

Pintu kargo pesawat terbuka perlahan. Di tengah gelapnya kabin, Ratna berdiri tegak mengenakan jaket kulit hitam dan sarung tangan taktis, wajahnya setegas baja, membawa Ajie yang tak sadarkan diri dengan borgol elektromagnetik di tangan dan lehernya. Dua tentara bayaran berotot mengikuti di belakang, membawa koper besi berisi catatan tubuh Ajie dan potongan armor miliknya yang hancur.

"Selamat datang kembali, Junkcore," suara datar menyambut dari tepi landasan. Di sana berdiri Director Cain, pria paruh baya dengan setelan hitam tanpa noda, mata tajam seperti mesin pemindai.

"Kita punya banyak pekerjaan," lanjut Cain tanpa senyum.

Ratna hanya mengangguk. "Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan. Ini... bukan manusia biasa."

Cain menoleh sekilas pada Ajie yang tergolek di atas tandu darurat. "Justru karena itu dia ada di sini."

 

Lorong fasilitas bawah tanah itu terasa seperti perut monster mekanik. Lampu putih redup berderet sepanjang dinding baja. Kamera mengikuti setiap langkah. Bau antiseptik, logam panas, dan... sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—seperti udara berwarna.

Ajie masih tak sadarkan diri saat mereka melewati ruang observasi. Tubuhnya bergerak sedikit, tapi sistem penahan pada tandu langsung menstabilkan setiap getaran. Di balik kaca dua arah, para ilmuwan dengan jas putih memperhatikan dengan intens, mencatat dan membisikkan teori.

"Ruangan 09. Isolasi penuh. Lapisi dindingnya dengan titanium dan pelindung resin organik," perintah Cain. "Dia bereaksi terhadap lingkungan. Bahkan warnanya."

Ratna melirik. "Kau yakin kita bisa menahan dia?"

Cain berjalan tanpa menoleh. "Kita tak perlu menahan. Kita hanya perlu mengerti."

 

Dari balik kaca observasi, Ajie tampak seperti pasien biasa—jika tak menghitung bekas luka di wajahnya dan aliran cat aneh yang mengendap samar di bawah kulitnya, seperti kilatan pelangi yang tertahan.

Ruangan isolasi itu senyap. Dindingnya berlapis tebal, cahaya dari atas didesain agar tidak merangsang reaksi warna. Bahkan seragam tahanan Ajie—jumpsuit abu-abu polos—dipilih agar tak memicu insting warna.

"Berapa lama lagi sampai dia bangun?" tanya Cain sambil menatap monitor.

"Hitungan jam. Tapi denyut nadinya... berubah-ubah seperti... kode," gumam seorang ilmuwan. "Kami belum pernah lihat struktur biokimia seperti ini. Zat dalam tubuhnya bukan sekadar radioaktif—tapi hidup."

Cain tersenyum dingin. "Maka kita beri dia waktu. Saat dia sadar, kita akan tanya langsung."

 

Ajie membuka mata.

Semua putih. Bukan cahaya surgawi, tapi lampu neon steril di langit-langit logam. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berat. Tangan, kaki, bahkan lehernya—semua terkunci.

Kepalanya berdenyut. Ingatan terakhir yang ia miliki... Ratna. Ledakan. Melly berteriak. Kemudian gelap.

"Di mana aku...?"

Suaranya serak. Tiba-tiba, suara terdengar dari speaker di langit-langit.

"Selamat datang kembali, Tuan Ajie."

Ia menoleh. Tak ada wajah. Hanya suara. Dingin. Kontrol penuh.

"Kau sedang berada di fasilitas penelitian Altheron. Negara Jerman. Kami... ingin mengenalmu lebih jauh."

Ajie mendengus. "Kalian penculik. Bukan ilmuwan."

"Hanya manusia yang penasaran," jawab suara itu. "Kau bukan lagi hanya manusia. Tubuhmu mengandung zat WN-13, proyek yang tak pernah disetujui, tapi... bocor. Kau adalah hasilnya."

Ajie berusaha meronta, namun tak berguna. Borgol di tangannya menyengat dengan listrik kecil.

"Aku bukan hasil dari kalian. Aku hanya teknisi cat bodi di Jakarta!" teriaknya.

"Dan sekarang kau adalah bukti bahwa seni bisa jadi senjata. Kami akan bantu mengarahkan potensi itu. Jika kau mau bekerja sama, tentu saja."

Ajie menunduk, keringat dingin mengalir. Dalam kepalanya, suara Melly, Faisal, teriakan orang-orang yang ia tolong... semua berputar. Ia ingin marah. Tapi juga takut.

"Dan jika aku menolak...?"

"Kalau begitu, kami akan belajar dari tubuhmu. Dengan atau tanpa izinku."

 

Dari balik ruang observasi, Cain menatap ke arah Ajie yang kembali terdiam.

Ratna berdiri di sampingnya, lengan terlipat.

"Dia tak akan menyerah semudah itu," katanya.

Cain melirik, seolah menimbang. "Maka kita buat dia menyerah. Kita mulai dengan... memperlihatkan siapa dia sekarang. Biarkan dia lihat apa yang tak bisa lagi dia kembalikan."

Ratna mengernyit. "Kau ingin menghancurkan mentalnya?"

Cain menjawab dingin, "Kami tak butuh pahlawan. Kami butuh senjata."

 

Di dalam ruang isolasi, Ajie mulai merasakan lagi denyut dalam tubuhnya. Warna. Cat. Tapi aneh... warnanya tak stabil. Kuning terasa getir. Merah seperti bergetar tak karuan. Ungu memanas sendiri.

Ia menyentuh dinding. Hanya logam dingin. Tapi tubuhnya bereaksi. Jantungnya berdetak tak beraturan. Nafasnya mulai cepat.

"Apa yang kalian lakukan padaku...?" gumamnya.

Cahaya di ruangan tiba-tiba berubah sedikit. Panel terbuka di tembok, memperlihatkan layar hologram besar.

Di layar, rekaman rumah ibunya. Tetangganya. Kota Jakarta.

"Apa ini!?"

"Semacam pengingat," kata suara di speaker. "Bahwa dunia terus berjalan. Dan kau tak lagi termasuk di dalamnya."

Ajie menatap, matanya memerah. Ia berteriak, tapi tak terdengar di luar. Dinding terlalu tebal.

"Percayalah," lanjut suara itu. "Akan lebih mudah... jika kau bergabung dengan kami."

Ajie menunduk. Tapi dalam hatinya, sesuatu tumbuh.

Bukan rasa takut. Tapi bara kecil. Marah. Tekad. Warna yang mulai menyala lagi.

1
lalakon hirup
suka di saat tokoh utama nya banyak tingkah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!