NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 Hari-Hari Yang Merepotkan

Langit mulai berwarna jingga, pertanda bahwa sore telah tiba. Herald menatap ke arah jendela, melihat matahari yang perlahan bergerak ke ufuk barat.

"Heh, akhirnya selesai juga... Lagi-lagi, aku tidak melakukan apa-apa sepanjang hari," gumamnya dengan nada lelah.

Perutnya mulai berbunyi, mengingatkannya bahwa sudah saatnya makan. Dengan langkah ringan, dia berniat kembali ke kamar untuk beristirahat dan mengisi perutnya yang kosong.

Namun, baru beberapa langkah ia berjalan—

"Pengawal..."

Herald berhenti seketika.

Suara itu... berasal dari balik pintu.

[Barusan...?]

Dia mengerutkan kening. Mungkinkah itu hanya khayalannya karena terlalu lapar? Tapi tidak, suara itu terdengar jelas.

"A-anu ... Pengawal..."

Kali ini, suaranya lebih tegas, meskipun tetap terdengar ragu-ragu. Tidak ada lagi keraguan—itu adalah suara Clara.

Dengan sedikit bingung, Herald mendekat ke pintu dan menempelkan telinganya.

"T-Tuan Putri, apakah Anda memanggil saya?" tanyanya untuk memastikan.

"Mm... masuklah."

Jawaban yang singkat, tetapi cukup membuat Herald terkejut. Clara, yang selama ini mengurung diri, akhirnya memanggilnya.

Tanpa menunggu lebih lama, dia segera membuka pintu dan melangkah masuk.

"Permisi, aku masuk."

Begitu memasuki ruangan, Herald terkejut bukan main.

"K-kenapa kamarnya jadi begini!?"

Ruangan itu benar-benar kacau. Selimut tergeletak sembarangan di lantai, bantal berserakan, buku-buku berhamburan ke mana-mana, pakaian keluar dari lemari, dan berbagai barang lain berantakan tanpa arah.

Di tengah kekacauan itu, berdirilah Clara—gadis dengan rambut panjang yang sedikit kusut, wajahnya terlihat agak canggung.

Herald menoleh padanya, masih dengan ekspresi bingung. "Tuan Putri... Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"

Clara terdiam sesaat, seolah berpikir bagaimana harus menjawab.

"Itu... aku sedikit ceroboh, jadi ya... begini jadinya."

Jawaban itu terdengar aneh. Namun, mengingat Clara adalah seorang tunanetra, Herald bisa membayangkan bagaimana ini bisa terjadi.

Dia menghela napas panjang.

"Heh... jadi, apa yang harus aku lakukan? Apakah kamu ingin aku yang merapikannya?" tanyanya, meskipun sudah bisa menebak jawabannya.

Clara mengangguk pelan, sambil memainkan jari-jarinya, terlihat sedikit gelisah.

Herald mengangkat alisnya. "Tapi, kenapa aku? Kamu bisa saja memanggil para pelayan untuk membereskan ini. Tugasku hanya mengawalmu, bukan jadi—"

Clara langsung menggeleng dengan cepat. "Tidak, tidak, tidak! Aku mau kamu yang membereskannya."

Herald menghela napas sekali lagi.

[Kenapa malah aku yang harus membereskannya...]

Meskipun protes dalam hati, dia mulai menyadari sesuatu—ini pertama kalinya Clara meminta bantuan. Mungkin, ini adalah caranya untuk mencoba membuka diri... walaupun dengan cara yang merepotkan.

Entah apa yang ada dalam pikiran Clara, tetapi bagi Herald, ini sudah sangat menyebalkan. Tugasnya hanya mengawal, bukan membersihkan kamar yang berantakan.

"Apakah kamu mau membantuku...?"

Suara Clara terdengar lembut, penuh permohonan. Wajahnya yang polos dengan ekspresi memelas membuat Herald merasa seakan-akan tak bisa mengalihkan pandangannya. Dia mencoba berpaling, berusaha mengabaikan tatapan itu, tapi tak bisa—wajah Clara tetap tergambar jelas di pikirannya.

"Heh..." Herald menghela napas berat, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, aku akan membersihkannya."

Meskipun marah dan frustasi, dia tahu dia tak bisa menolak begitu saja. Clara tersenyum lembut, senyum yang terlihat tulus, dan itu membuat Herald merasa seolah tak bisa membantah.

Setelah beberapa jam yang melelahkan, ruangan itu akhirnya kembali rapi. Kamar yang semula kacau balau kini tampak lebih tertata.

"Terima kasih karena sudah membersihkan kamar ini," ucap Clara dengan senyuman penuh makna.

"Heh... sama-sama," jawab Herald dengan napas terengah-engah, merasa seperti baru saja bertarung melawan sebuah badai.

Dia segera meminta izin dan meninggalkan kamar itu, perasaan lelah menyelimuti tubuhnya. Hari ini lebih menguras tenaga daripada yang dia perkirakan. Begitu sampai di kamarnya, Herald langsung jatuh ke kasur tanpa mengganti pakaiannya. Begitu terbaring, tubuhnya langsung tertidur.

Di tengah malam, perutnya yang keroncongan membangunkannya. Tanpa banyak berpikir, dia pergi mencari makanan, kemudian kembali tidur dan melanjutkan kelelahan yang tertunda.

Pagi kembali menyapa, dan Herald menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Dia berdiri di samping pintu kamar Clara, menunggu dan berharap hari ini berjalan lebih lancar—meskipun kebosanan mulai menggerogoti dirinya.

Namun, waktu berjalan begitu lambat, dan seperti kemarin, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu.

Sore tiba, dan Herald pun berniat kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

"Satu lagi hari yang membosankan," gumamnya pelan, memasang ekspresi datar.

Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara memanggil namanya.

"Pengawal..."

Dia berhenti, mengenali suara itu.

"Iya, ada apa?" jawab Herald dengan nada yang sedikit lelah.

"Masuklah ke sini."

Suara Clara terdengar singkat, namun ada nada yang berbeda. Perasaan tidak enak tiba-tiba menghampiri Herald.

[Perasaanku tidak enak...]

Tapi, karena ini tugasnya, Herald pun mengerahkan langkahnya menuju pintu dan membukanya.

Pintu terbuka, dan di baliknya, pemandangan yang sangat familiar menyambut Herald. Kamar Clara kembali berantakan, tidak jauh berbeda dari sebelumnya.

"Kenapa kamar Anda bisa berantakan seperti ini lagi?" Herald bertanya dengan nada datar, namun jelas ada sedikit kekesalan yang mulai mengintip.

Clara, dengan wajah canggung, menjawab, "E-e... tadi aku sedikit ceroboh, dan... tanpa sengaja menjatuhkan beberapa barang."

"Sedikit ceroboh?" Herald mengamati ruangan dengan teliti. Kekesalan mulai membakar di dalam hatinya. [Sedikit ceroboh apanya? Ruangan ini sudah seperti habis diterjang badai!]

Herald menahan napas, berusaha menekan emosinya yang hampir meluap.

"Jadi, Tuan Putri, apakah Anda ingin aku membersihkan ruangan ini lagi?" tanyanya dengan nada berat, berusaha tidak terlalu menunjukkan rasa marah yang hampir tak terkendali.

Clara menatap Herald dengan senyuman lebar yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Senyuman itu lebih lebar daripada yang pertama, dan sesaat kemudian, dia mengangguk pelan.

"Heh, baiklah, aku akan membersihkannya."

Kali ini, Herald tidak bisa lagi menahan perasaan frustrasinya. Namun, meskipun dia merasa kesal, dia tahu ini adalah tugas yang harus ia lakukan—tidak peduli seberapa berat pun itu.

Keesokan harinya, seperti hari-hari sebelumnya, Clara memanggil Herald untuk membersihkan kamarnya lagi. Setiap kali, Herald merasa kesal dengan kelakuan gadis itu. Sudah tiga hari berturut-turut kamar yang dibersihkannya kembali berantakan.

Alasan yang diberikan Clara, "agak ceroboh," seolah-olah mengolok-olok dirinya. Jawaban itu terasa seperti cemoohan yang tidak berarti. Hal itu semakin memperburuk suasana hati Herald. Ia tidak bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiran gadis itu, namun perasaan kesalnya semakin membesar setiap kali harus membersihkan kamar yang sama.

Hari berikutnya dan hari-hari seterusnya, Clara terus meminta agar kamarnya dibersihkan. Herald mulai curiga bahwa kejadian ini tidaklah kebetulan. Mungkinkah Clara melakukannya dengan sengaja? Namun, ketika ia bertanya, Clara hanya tersenyum polos dan dengan nada ringan menjawab, "Oh, tidak sengaja kok." Kalimat itu terdengar konyol di telinga Herald, tetapi ia tidak bisa marah—bagaimanapun juga, ia adalah pelayan di rumah ini, dan Clara adalah tuannya.

Hari demi hari berlalu, dan kekesalan Herald semakin memuncak. Pada hari ketujuh, ia merasa batas kesabarannya sudah terlampaui. [Dasar kau, putri sialan,] gerutunya dalam hati. [Kukira dia orang baik, tapi ternyata... dia cuma pura-pura.]

Memasuki hari kedelapan, Herald sudah mempersiapkan rencana. Ia tidak akan membiarkan Clara terus bersikap begitu tanpa konsekuensi. Ia sudah muak dengan tingkah laku yang semakin menunjukkan bahwa gadis itu tidak hanya ceroboh, tetapi juga sengaja menyusahkan orang lain.

Pukul tiga sore, seperti biasa Herald mempersiapkan dirinya untuk bertugas membersihkan kamar Clara. Namun kali ini, dia sudah siap dengan rencananya. Saat mendekati pintu kamar Clara, dia mendengar suara-suara kecil dari dalam, suara benda-benda jatuh dan langkah kaki yang terburu-buru. Ada sesuatu yang tidak beres.

Setelah beberapa saat mendengarkan, Herald merasa ini adalah waktu yang tepat. Dengan perlahan, ia mendekati gagang pintu. Ternyata pintunya tidak terkunci. Ini kesempatan emas. Herald membuka pintu secara perlahan dan sedikit menyembunyikan kepalanya di balik celah pintu, mengamati Clara yang tengah sibuk mengacaukan kamarnya.

Namun, apa yang dilihatnya membuat matanya terbelalak. Clara bukan hanya ceroboh. Ia sengaja merusak segala sesuatu di dalam kamar. Ia berjalan dengan hati-hati, tangannya meraba-raba udara, dan setiap kali ia menyentuh sesuatu, ia dengan sengaja melemparkan benda itu ke tempat lain. Ruangan yang semula rapi kini sudah setengahnya berantakan.

Herald merasa marah. Semua curiga dan rasa kesalnya selama ini akhirnya terjawab. Clara memang sengaja melakukannya. [Aku sudah tahu,] bisiknya dalam hati, [ternyata dia memang sengaja.]

Dengan langkah cepat, Herald membuka pintu lebih lebar dan berjalan mendekat ke Clara. Begitu ia berdiri tepat di belakang Clara, gadis itu sepertinya merasakan kehadatannya. Clara berbalik dengan cepat dan menghadap ke arah Herald.

[Ada orang di belakangku?] Suaranya terdengar terkejut, namun masih tenang.

"Siapa di sana?" Clara bertanya, tapi tidak ada jawaban.

Herald berdiri diam di sampingnya, dan akhirnya menjawab dengan suara berat yang membuat Clara terdiam, "Ini aku."

Keringat dingin mulai muncul di dahi Clara saat ia mendengar suara itu. Ia tahu siapa yang baru saja berbicara—suara itu tak bisa salah.

Dengan nada yang semakin berat, Herald melanjutkan, "Aku sudah melihat semua yang kamu lakukan tadi. Sekarang, bisakah kamu menjelaskan apa yang sedang kamu lakukan, Tuan Putri?"

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!