Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 24
Beberapa kali pertemuan dengan Aruna membuat hati Raka perlahan-lahan berubah. Awalnya ia hanya mengagumi sosok perempuan itu sebagai pemilik kebun yang berani mengambil alih kendali, yang tidak segan turun ke lapangan dan berdiskusi langsung dengan para pekerja. Aruna tegas, tapi juga sabar. Cerdas, namun tetap lembut dalam bersikap. Di balik segala kelelahan hidup yang tampak dari sorot matanya, ada semacam ketabahan yang membuat Raka diam-diam menaruh hormat.
Tapi seiring waktu, kekaguman itu tumbuh menjadi sesuatu yang lain. Lebih dalam. Lebih diam-diam. Lebih sulit dihindari.
Raka mulai memikirkan Aruna bukan lagi sebagai "Ibu Aruna, pemilik kebun" atau "atasan yang harus ia hormati", tapi sebagai sosok perempuan yang... ia rindukan kehadirannya. Yang senyumnya bisa membuat pagi hari terasa lebih terang. Yang kata-katanya, bahkan yang paling singkat sekalipun, bisa menggema di pikirannya lama setelah pertemuan usai.
Dan perasaan itu membuatnya gamang.
Ia tahu batasnya. Aruna masih bersuami, walaupun dari cerita-cerita singkat yang kadang terlontar di antara obrolan mereka, rumah tangganya jauh dari kata harmonis. Tapi tetap saja status itu ada. Dan ia bukan laki-laki yang dengan mudah mengabaikan prinsip atau kehormatan orang lain.
Namun, bagaimana caranya ia menjelaskan pada dirinya sendiri bahwa setiap kali melihat Aruna berjalan di antara barisan tanaman itu, jantungnya berdetak lebih cepat? Atau ketika mereka duduk di saung, berdiskusi soal perkembangan tanah, panen, dan pengairan, hatinya merasa tenang seperti pulang ke rumah?
Raka menghela napas panjang. Di sela sore yang mulai mendung, ia berdiri sendirian di sisi kebun, memandangi barisan tanaman sayur yang baru ditanam. Udara lembap menyentuh kulitnya, tapi pikirannya lebih sibuk dengan badai dalam dadanya.
"Kenapa aku bisa jatuh cinta pada perempuan yang jauh lebih tua dariku?" gumamnya dalam hati, lirih.
Ia sendiri tidak tahu jawabannya. Tapi mungkin... ini bukan tentang usia. Mungkin ini tentang bagaimana seseorang membuatnya merasa nyaman dan dihargai. Mungkin ini tentang kehangatan dan wibawa yang menyatu dalam diri Aruna. Tentang matanya yang teduh saat mendengarkan. Tentang caranya mempercayakan tanggung jawab bukan hanya sebagai pekerjaan, tapi juga sebagai bagian dari sesuatu yang ia perjuangkan.
Mungkin... ini tentang kenyamanan.
Di sekelilingnya, para pekerja sudah mulai membereskan alat. Langit berubah menjadi abu-abu tua. Tapi yang lebih pekat adalah suasana dalam pikirannya. Ia tidak mungkin mengatakannya. Tidak sekarang. Mungkin tidak akan pernah.
Tapi perasaan itu, bagaimanapun ia mencoba menyangkal, tetap tumbuh. Dan setiap hari, saat melihat Aruna datang ke kebun dengan langkah tenangnya dan suara lembutnya, rasa itu semakin sulit ditepis.
Raka mengusap wajahnya pelan, lalu menarik napas dalam. Ia harus tetap waras. Ia harus tetap pada jalurnya. Ia hanya berharap, Tuhan tahu bagaimana cara melindungi perasaan yang tumbuh di tempat yang salah waktu dan semoga hatinya cukup kuat untuk menjaga semuanya tetap terkendali.
Namun satu hal yang tak bisa ia bohongi:
Dekat dengan Aruna membuatnya merasa hidup. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ingin memperjuangkan sesuatu yang bukan hanya tentang pekerjaan... tapi tentang seseorang.
Seseorang yang mungkin... tidak akan pernah bisa ia miliki sepenuhnya.
___
Malam mulai merangkak naik, menyelimuti rumah besar itu dengan keheningan yang menyesakkan. Di kamar utama, Bagas sedang merapikan koper terakhirnya. Setelan kerja sudah disusun rapi, dokumen penting diselipkan ke tas tangan, dan tiket pesawat sudah tersimpan di dompetnya. Besok pagi, ia akan berangkat ke Indonesia bagian timur perjalanan kerja yang akan memakan waktu beberapa hari.
Biasanya, momen seperti ini selalu meninggalkan percakapan panjang di antara mereka. Aruna akan mengeluh singkat, menyiratkan keberatan dengan caranya sendiri, lalu berakhir dengan tatapan mata yang seolah meminta Bagas menunda keberangkatannya. Tapi malam ini... tidak ada itu semua.
Aruna hanya muncul sebentar di ambang pintu, memastikan semua persiapan Bagas baik-baik saja, lalu berlalu tanpa banyak bicara. Ekspresinya datar, bahkan senyum pun tak muncul di bibirnya. Seolah kepergian Bagas tak berarti apa-apa.
Di sisi lain rumah, Aruna duduk sendiri di teras belakang, menatap kosong ke arah taman yang tertutup bayangan malam. Lampu taman menyala redup, menyisakan siluet pepohonan dan bebungaan yang bergoyang pelan ditiup angin. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang berkecamuk, tak menentu. Ia seharusnya merasa sedikit kehilangan. Atau setidaknya rindu yang datang lebih awal, seperti biasanya. Tapi entah mengapa, perasaan itu tidak muncul malam ini.
Dan ia tahu kenapa.
Mungkin ini titik jenuhnya. Terlalu lama berjuang sendirian dalam ikatan yang seperti benang kusut. Terlalu sering kecewa, terlalu sering mengalah. Atau... mungkin karena kini ada seseorang yang tanpa sadar telah mengisi kekosongan itu.
Sosok itu... Raka.
Aruna menggigit bibirnya pelan. Bahkan saat menyebut nama itu dalam hati pun, ia bisa merasakan getar halus dalam dadanya. Sejak kapan perasaan ini muncul, ia tak bisa memastikan. Yang jelas, semakin sering mereka bertemu, semakin ia merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Ketulusan di mata Raka, perhatian yang tak pernah dibuat-buat, dan kenyamanan yang perlahan menumbuhkan keinginan yang tidak seharusnya.
Terlebih kini Raka sendiri. Hubungannya dengan Rita telah berakhir. Kata-kata Raka saat itu masih terngiang di telinganya tentang hilangnya kecocokan, tentang perpisahan yang sebenarnya telah lama dipendam. Dan sejak saat itu, Aruna tak bisa berhenti memikirkannya.
"Kenapa perasaan ini harus datang sekarang..." gumamnya lirih.
Ia tahu ini salah. Ia masih istri Bagas. Masih terikat oleh janji dan nama, meski hatinya sudah jauh dari rasa yang sama. Tapi rasa bersalah itu tak cukup kuat untuk menutupi kejujuran perasaannya sendiri. Ia mulai menyukai Raka. Mungkin lebih dari sekadar menyukai. Mungkin... ia menginginkannya. Sebagai teman bicara. Sebagai seseorang yang mengisi ruang kosong di hatinya. Sebagai seseorang yang hadir, saat yang lain terlalu sibuk dengan dunia di luar rumah.
Dan Raka... Raka yang tidak pernah menuntut apa-apa. Yang tak pernah mencoba mengambil posisi siapa pun. Hanya hadir dengan caranya sendiri, dengan tenangnya, dengan tutur katanya yang lembut tapi selalu mengena. Kehadiran yang membuat Aruna merasa dihargai. Dipahami.
"Apakah ini salah?" tanyanya dalam hati.
Ia tahu jawabannya tak semudah ya atau tidak. Tapi saat ini, dalam kesepiannya, dalam keretakan hubungannya dengan Bagas, dalam kebimbangan yang menggantung di antara tanggung jawab dan rasa... Aruna membiarkan pikirannya sedikit nakal.
Bagaimana jika ia benar-benar mencoba mendekati Raka? Bagaimana jika ia, dalam diam, ingin mengisi kekosongan itu dalam hati pria yang juga sedang kehilangan? Bukan karena ingin melukai siapa pun. Bukan karena ingin menghancurkan rumah tangganya sendiri. Tapi karena di antara semua luka dan letihnya, Raka adalah satu-satunya yang membuatnya merasa hidup kembali.
Aruna menunduk. Napasnya berat. Perasaannya semakin sulit ditebak.
Malam itu, suara koper yang ditutup oleh Bagas terdengar dari dalam kamar. Tapi suara itu tidak lagi menggema di hati Aruna seperti dulu. Yang ada hanya keheningan, dan detak pelan dari sesuatu yang mulai tumbuh tanpa bisa ia cegah.
Rasa yang belum tentu benar, tapi juga tak bisa ia anggap salah.
Untuk sekarang, ia hanya bisa diam. Menunggu waktu, sambil berharap ia tidak terlambat mengenali apa yang sebenarnya ia inginkan.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor