NovelToon NovelToon
Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Violetta Queenzya

kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..

berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.

hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

tlah kembali...

     "TOLONG! Bibi-bibi, tolong angkat Nyonya!" teriak Maya, suaranya parau karena tangis. Ia menunjuk Rara yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai.

    Para maid yang baru saja datang berhamburan langsung berlutut di samping Rara, wajah mereka pucat pasi. "Ya Allah, Nyonya Rara kenapa, Sus Maya?!" tanya salah seorang maid dengan suara gemetar, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

    Maya menatap mereka dengan mata sembab, air matanya tumpah. "Dengar kabar Tuan Axel kecelakaan, kondisinya kritis," suara Maya tercekat, "ditambah lagi... Nyonya Besar... beliau sudah tiada." Setiap kata yang keluar dari bibir Maya terasa seperti belati yang menusuk hati mereka semua.

     Dengan usapan minyak kayu putih di pelipisnya, kelopak mata Rara perlahan terbuka. Pandangannya kosong sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kemudian, ingatan pahit itu menyerbu.

    "Kak Maya... kita harus segera ke rumah sakit," bisik Rara, suaranya parau, air mata kembali menggenang. "Oma... Oma meninggal. Dan Mas Axel... dia kecelakaan."

    Maya meraih tangan Rara, menggenggamnya erat. "Iya, Sayang. Kita sudah dalam perjalanan. Jangan khawatir. Kamu harus kuat." Meskipun hatinya sendiri hancur, Maya berusaha menampilkan ketenangan untuk Rara.

    Mereka melesat menuju rumah sakit dengan pengawalan ketat bodyguard. Di dalam mobil, setiap detik terasa seperti jarum jam yang berputar begitu lambat, menyiksa. Rara terus memanjatkan doa dalam hati, napasnya tersengal menahan isak tangis. Pikirannya melayang pada Oma dan Axel.

     Begitu mobil berhenti di lobi rumah sakit, Rara langsung menerobos keluar, berlari terseok-seok menuju ruang gawat darurat atau tempat Axel dirawat. Matanya mencari-cari Rico.

   "Kak Rico! Bagaimana keadaan Mas Axel?!" seru Rara dengan suara yang dipenuhi kepanikan dan putus asa begitu melihat Rico berdiri di lorong.

    Rico menatap Rara dengan sorot mata yang menyiratkan beban berat. "Nyonya Rara... Tuan Axel... kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor jantung secepat mungkin," jelas Rico, suaranya tertahan. "Benturan akibat kecelakaan itu... menyebabkan jantung Tuan tergores parah."

    Bak disambar petir di siang bolong, tubuh Rara tersentak, terhuyung mundur ke belakang. Wajahnya pias, matanya melebar tak percaya. Untungnya, Maya dengan sigap memeganginya, menopang tubuh Rara agar tidak ambruk.

   Di tengah keterkejutan itu, sebuah keputusan bulat muncul di benak Rara. Tanpa berpikir panjang, tanpa ragu sedikit pun, ia menatap Rico dengan sorot mata penuh tekad. "Ambil saja jantungku, Kak Rico! Siapa tahu cocok!" serunya, suaranya mantap penuh keyakinan yang mengalahkan rasa takut.

   Rara bergegas mencari Dokter Mark, memaksa untuk segera melakukan pemeriksaan. Rico terkesiap, buru-buru menahan langkah Rara.

    "Nyonya Rara, jangan lakukan ini! Jangan!" cegah Rico, suaranya diliputi ketakutan. "Bagaimana kalau Tuan Axel marah? Dia tidak akan memaafkan saya jika terjadi sesuatu pada Anda!"

    Rara berbalik, menatap Rico dengan pandangan memohon, kedua tangannya terkatup di depan dada. "Tolong, Kak Rico. Tolong jangan sampai Mas Axel tahu kalau Rara yang mendonorkan jantung. Kumohon..." Ada keputusasaan dan ketulusan yang luar biasa dalam suaranya.

     Tak lama kemudian, hasil pemeriksaan Rara keluar. Jantungnya... cocok. Sebuah kelegaan sekaligus kecemasan melingkupi Rico. Ironisnya, jantung Nyonya Besar, almarhum Oma Axel, justru dinyatakan tidak ada kecocokan. Sebuah takdir yang begitu pahit.

      Dengan tangan gemetar dan hati yang remuk redam, Rico membubuhkan tanda tangannya di atas surat persetujuan operasi. Ini adalah keputusan terberat yang pernah ia ambil, tahu betul bahwa Axel tidak akan pernah setuju jika ia sadar. Operasi akan dijadwalkan tiga jam lagi. Dokter Mark segera memberikan instruksi kepada Rara untuk mulai berpuasa.

     Rara, dengan langkah pelan namun mantap, menghampiri Rico. Wajahnya yang pucat tak bisa menyembunyikan ketenangan aneh, seolah ia telah berdamai dengan takdir.

    "Kak Rico," Rara meraih tangan Rico, menggenggamnya lembut. "Rara punya satu permintaan. Setelah operasi nanti, Rara ingin tinggal di pegunungan bersama Kak Maya. Tolong... tolong rahasiakan ini dari Mas Axel." Suaranya bergetar, namun tatapan matanya begitu memohon.

    "Rara tidak sanggup melihat kesedihan Mas Axel kalau dia tahu Rara yang mendonorkan jantungnya," lanjut Rara, air matanya menetes, "Rara titip Mas Axel ya, Kak. Kalau memang kita ditakdirkan bersama, pasti nanti kita akan bersatu kembali." Ia tersenyum, senyum yang begitu tulus, namun sarat perpisahan yang mengiris hati Rico.

    Rico menelan ludah. Hatinya teriris mendengar permintaan itu. "Tapi, Nyonya..." Suaranya tercekat. "Apa yang harus saya katakan nanti kalau Tuan Axel menanyakan keberadaan Nyonya? Saya tidak bisa berbohong kepadanya." Wajah Rico memucat, dibayangi rasa bersalah dan ketakutan.

     Dadanya terasa sesak, memaki perasaan campur aduk yang menghimpitnya.

     "Bilang saja kalau Rara pergi bersama pria lain," ucap Rara.

    geram Rico, suaranya tercekat antara amarah dan luka, saat ia membalikkan badan dan melangkah cepat menuju keluar ruangan, seolah ingin segera menghilang dari sana.

     Dengan tangan gemetar, Rico menghubungi Steven. Suaranya terdengar serak saat ia menceritakan segalanya, dari kepergian oma hingga situasi genting yang kini mereka hadapi. Ia meminta Steven segera terbang ke Indonesia, bukan hanya untuk membantu mengurus markas dan perusahaan selama Axel sakit, tapi juga,ia berhenti sejenak, menelan gumpalan di tenggorokan,untuk mempersiapkan pemakaman Oma. Pikiran tentang pemakaman tanpa Axel, tanpa kehadiran Rara yang seharusnya menemaninya, terasa bagai sayatan.

     Saat itulah, pandangannya jatuh pada Mark, berdiri kaku di depan pintu ruang operasi Rara. Rico merasakan denyutan aneh di dadanya. "Mark!" panggilnya, suaranya lebih keras dari yang ia duga.

   "Mark... tunggu!" perintah Rico, langkahnya terhenti, matanya terpaku pada Mark.

   Mark menoleh, wajahnya tegang. "Iya, Ric? Ada apa?"

   Rico mendekat, napasnya terasa berat, seolah setiap hembusan adalah perjuangan. Ia menatap Mark lurus-lurus, sorot matanya dipenuhi kecemasan dan keputusasaan yang mendalam.

 "Setelah operasi ini... pendonor jantung... berapa persen kemungkinannya dia bisa hidup?"

  Suaranya bergetar, memecah kesunyian koridor rumah sakit yang dingin, mengungkapkan rasa takut yang begitu nyata.

       Mark menghela napas berat, sorot matanya redup, seolah turut merasakan beban Rico. "Semua tergantung kuasa Tuhan, Ric. Sejujurnya..." ia ragu, "kemungkinannya tipis. Pendonor ini bisa saja tak tertolong, atau... paling lama, dia hanya akan bertahan sekitar empat bulan."

     Rico merasakan darahnya berdesir dingin, kata-kata itu bagai palu godam yang menghantam dadanya. Mark melanjutkan, mencoba memberi harapan,

 "Tapi kau tenang saja. Aku sudah mulai mencari pendonor jantung lain untuk Rara, untuk nanti."

    Rico hanya bisa mengangguk pelan, kerongkongannya tercekat. "Semoga... semoga secepatnya ditemukan yang cocok," bisiknya, lebih seperti doa yang putus asa daripada sebuah harapan.

      Waktu terasa berputar begitu cepat, mengkhianati setiap detik harapan yang tersisa. Akhirnya, momen yang paling ditakuti tiba. Rara dibawa menuju pintu ruang operasi.

    Maya, dengan mata berkaca-kaca, masih menggenggam erat tangan Rara, jari-jemarinya saling mengunci seolah tak ingin melepaskan. Air mata menetes di pipinya.

   Baginya, Rara bukan sekadar pasien, bukan sekadar teman, melainkan adik kecil yang harus ia lindungi. Melepaskan genggaman itu terasa seperti merenggut separuh napasnya sendiri.

   Pintu putih tebal itu perlahan tertutup diiringi suara desisan samar, memisahkan Rara dari dunia luar. Di atasnya, lampu merah persegi mulai menyala, bagai tanda dimulainya sebuah pertaruhan hidup dan mati. Sebuah taruhan yang menggantungkan seluruh jiwa Axel dan Rara di ujung pisau bedah.

       Suasana di depan ruang operasi terasa membeku, setiap detik bagai jarum jam yang berdetak melambat, menyiksa. Rico duduk di kursi tunggu, punggungnya bersandar ditembok,matanya tak lepas dari lampu merah di atas pintu operasi. Maya di sampingnya terus meremas tangannya sendiri, bibirnya tak henti menggumamkan doa. Kecemasan mencekik mereka semua.

      Tiba-tiba, dering ponsel Rico memecah kesunyian yang menekan. Suaranya terdengar begitu asing, nyaring, dan mengganggu di tengah kegelisahan itu. Ia menarik ponsel dari saku, mengernyit samar melihat nama 'TOMY' terpampang di layar. Sebuah panggilan dari dunia lain, dunia yang seharusnya tidak mengganggu saat ini.

     Rico menggeser layar, mendekatkan ponsel ke telinga dengan sedikit enggan. "Halo, Tom," sapanya, suaranya terdengar serak dan jauh dari biasanya, sarat akan tekanan yang tak bisa ia sembunyikan. "Ada apa?"

     "Lapor, Tuan," suara Tomy terdengar agak terburu-buru dari seberang. "Ada yang mau pesan senjata, Tuan. Tapi... ini bukan langganan kita, orang baru.

Rico melangkah mondar-mandir di koridor rumah sakit, rahangnya mengeras. Ia mengeluarkan ponsel, suaranya terdengar dingin dan tajam, namun ada kilatan khawatir di matanya.

"Bilang saja stok senjata lagi kosong. Aku tak mau ada musuh yang memanfaatkan situasi ini." Jeda. "Oh, dan satu lagi. Kejadian yang menimpa Tuan Axel, jangan sampai bocor ke telinga siapa pun. Hapus semua rekaman CCTV di jalan tempat kejadian." Perintah itu meluncur tegas, mutlak. Ia tidak akan membiarkan kerentanan keluarga Devandra tercium oleh pihak luar.

Dua jam yang terasa seperti dua hari merayap lambat. Lampu di atas pintu ruang operasi masih menyala merah menyala, seolah menuntut kesabaran yang tak terbatas. Maya duduk di salah satu kursi tunggu, tubuhnya membeku dalam posisi yang sama sejak tadi, matanya tak lepas dari lampu itu. Rico, meskipun tampak tenang, sesekali menghela napas berat, matanya menyapu jam dinding.

"Cari minuman dingin untuk Maya," perintah Rico pada salah satu anak buahnya, suaranya sedikit melembut. Tak lama kemudian, sekaleng soda dingin disodorkan ke hadapan Maya.

"Minum dulu, May. Biar tenang sedikit," ucap Rico, nadanya lebih lembut dari yang biasa ia tunjukkan. Ia tahu betapa hancurnya gadis itu.

Maya hanya mengangguk pelan, jemarinya yang dingin gemetar saat meraih kaleng itu. Ia baru saja menyesap seteguk, ketika tiba-tiba, lampu di atas pintu itu padam. Napas Maya tertahan. Jantungnya bergemuruh.

Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka, dan Mark melangkah keluar. Dahinya berkilauan oleh keringat, rambutnya lepek menempel di dahi, dan pandangannya tampak lelah namun... lega?

"Bagaimana operasinya, Mark?" Suara Rico memecah keheningan, sarat dengan ketegangan yang tertahan.

Mark menghela napas panjang, suaranya tercekat dan terasa lebih berat dari biasanya. "Berjalan lancar, kondisi Axel sudah stabil, tinggal nunggu dia sadar. Tapi... Rara..."

Mendengar nama adiknya, tubuh Maya serasa melorot, tak bertenaga. Rasanya semua darah mengalir pergi dari wajahnya, meninggalkan dingin yang menusuk. Adik angkatnya yang ceria, kini terbaring tak berdaya. Maya mencengkeram lengan Rico, tatapannya memohon.

"Jadikan satu ruangan saja, Mark," pinta Rico, nadanya tegas namun ada getar kekhawatiran di sana.

Tak lama, sesuai permintaan Rico, mereka dipindahkan ke ruang VIP khusus keluarga Devandra. Di sana, setidaknya, Maya bisa menjaga Rara lebih dekat.

Seminggu terasa seperti selamanya, terbentang hampa tanpa canda tawa Rara yang biasa mengisi ruangan. Setiap pagi, Maya akan dengan telaten, bahkan dengan ritual penuh kelembutan, membersihkan tubuh adiknya. Jemarinya menyentuh kulit Rara yang pucat, merasakan dinginnya, dan mencium samar bau antiseptik yang melekat.

Dia tak pernah beranjak dari sisi Rara, setiap malam meringkuk di kursi samping ranjang, menolak pulang, takut sedetik saja jauh dari gadis itu.

Suatu sore, saat Maya hendak membuang baskom berisi air bekas mengelap Rara, matanya terpaku. Di antara keheningan yang menyesakkan, sesuatu bergerak. Bukan, bukan ilusi.

Perlahan, sangat perlahan, jemari Axel yang kaku sedikit berkedut. Jantung Maya langsung berdebar keras, suara darah berdesir di telinganya. Tanpa berpikir, tangannya menyambar tombol panggil di dinding, menekan dengan tergesa.

.

1
partini
Axel harus dengan perhitungan yg matang ingat bini lagi bunting salah langka behhhh amburadul
Jumaedi Jaim
lama up nya
partini
hadehhh Rara ini gimana sih,, suka ga gitu jg kalee terlalu over mah 🤦🤦🤦 noh singa 🦁 mau ngamuk cemburu
partini
benar benar ular 🐍 tuh cewek,,siapai aja algojo algojo manic sek Tomy biar mereka yg eksekusi kamu tinggal menonton dan merekam nya saja
LISA
Ssipp banget Tomy udh tau kelicikannya Letta..
LISA
Kabar yg menggembirakan nih..sehat selalu y buat Rara & babynya
partini
happy kalau hamil,tapi kawatir karena ada uler yg siap mematuk benar benar bangke si letta
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
LISA
Ya bener Kak..Letta ini sepertinya udh terlatih..penasaran nih siapa y yg ada di belakang misinya ini.
partini
wah ni letta bukan sembarang orang ,dia sangat pintar plz kalau kalian kecolongan semua bwehhh ga lucu deh
partini
lanjut penasaran apa yg akan mereka lakukan selanjutnya setelah tau rencana. busuk leta
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu
LISA
Moga liburan ini menyenangkan utk Rara & Axel tanpa gangguan..
partini
👍👍👍👍 dah laa baca cerita mafia ini beda sedia payung sebelum hujan biasanya basah dulu baru cari payung keren 👍
mampir say~ AGREEMENT: hallo kak, boleh mampir bentar enggak ke karya aku yang judulnya AGREEMENT, tolong bantu dukung yahh, aku Author yg baru balik setelah Hiatus agak lama, entah ceritaku style kakak atau bukan, sku akan sangat berterimakasih jika kakak ingin mampir dan meninggalkan jejak, terimakasih!!!
total 1 replies
LISA
Untung aj 2 pengawal dan Maya mempunyai insting yg tajam..
partini
aihhh kenapa peran wanita semua bego yah gampang di tipu,, pelihara ular berbisa tapi ga tau 🤦🤦🤦 untung yg lain smart coba kalau stupid semua
LISA
Ceritanya bagus & menarik
LISA
Ya moga aj Axel bisa memahami kondisinya Letta dan mengijinkan tinggal di mansionnya.
Zainuri Zaira
aneh sikit ceritX emng orng ngk ad jantung bisa hidup kh😄😁
LISA
Wah ke 3 sahabat Axel akhirnya bertemu dgn jodohnya nih 😊 sehat terus y buat Rara..bahagia selalu bersama Axel.
LISA
Puji Tuhan..Rara udh sadar dari komanya..pulihkan keadaan Rara ya Tuhan..
LISA
Sedih sekali baca cerita ini..pengorbanan Rara utk Axel..ya Tuhan berikan donor juga utk Rara agar mereka dpt hidup bahagia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!