Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Mulai Kebingungan
Ruang artis itu mendadak ramai oleh kehadiran Tasya, adik perempuan Rafael yang jarang terlihat. Rafael, dengan senyum bangga, merangkul adiknya dan berkata, "Tasya, sini aku kenalkan kamu sama teman-teman kakak. Sandi, Yogi, dan juga Bram."
Bram, yang matanya tak lepas dari Tasya, langsung berseru, "El, aku nggak nyangka kamu punya adik seimut dan secantik ini. Kenapa baru sekarang kamu ajak dia ke sini?"
Rafael, dengan nada protektif, menjawab, "Justru karena adikku ini bukan orang yang bisa ditemui sembarang orang."
Yogi, yang terpesona oleh kecantikan Tasya, segera berinisiatif. "Untuk pertama kali ketemu adik secantik Tasya, kakak punya hadiah untukmu." Dia menyerahkan sekotak hadiah yang dibungkus rapi.
Sorak-sorai menggema di ruangan, membuat pipi Tasya merona. "Semoga kamu suka, ya, gadis tercantik yang pernah aku temui," ucap Yogi, matanya berbinar.
Tasya menerima hadiah itu dengan senyum malu-malu. "Terima kasih, Kak Yogi."
"Hei, dia panggil aku kakak!" seru Yogi senang, merasa seperti memenangkan lotre. "Ini hari keberuntunganku!"
Sandi, yang sejak tadi diam, akhirnya ikut berbicara. "Jangan terlalu percaya diri, Yog. Tasya kan masih harus kenal kita-kita dulu."
Rafael menatap Tasya, "Tasya, jangan sungkan sama mereka. Mereka ini teman baik kakak, meski kadang kelakuannya aneh-aneh.
Tasya tersenyum tipis, "Iya, Kak." Dalam hati, dia merasa sedikit canggung, tapi juga penasaran dengan teman-teman kakaknya yang terlihat ramah.
Bram, yang tak ingin kalah, mengeluarkan ponselnya. "Tasya, kalau kamu mau foto bareng, bilang aja, ya. Biar nanti aku kirim ke kamu."
Tasya menatap Bram dengan alis terangkat, sedikit terkejut dengan tawaran itu. Rafael mendengus, "Bram, jangan bikin adikku risih."
Suasana ruang artis itu pun dipenuhi gelak tawa, mencairkan kecanggungan yang sempat tercipta.
Tasya, meski masih malu-malu, mulai merasa nyaman berada di tengah-tengah teman-teman kakaknya.
***
Desakan penonton konser membuat Adrian dan Winda hampir kehilangan napas. Teriakan histeris menggema di seluruh stadion, "Rafael! Rafael! Rafael!" Nama itu bergaung, memicu rasa sakit di telinga Winda.
Winda, dengan wajah merah padam karena marah dan sesak, mencibir, "Aku nggak nyangka idolaku bisa-bisanya dekat sama Tasya sialan itu."
Matanya menyipit, menatap panggung dengan kebencian yang mendalam.
Adrian, yang juga memendam kekesalan, menimpali, "Aku yakin asistennya itu dibayar sama Tasya buat manas-manasin kita." Ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Nggak mungkin Rafael mau sama wanita murahan kayak dia."
Winda mendengus, "Benar! Rafael itu terlalu sempurna buat Tasya. Dia itu cuma cewek kampung yang nggak tau malu." sinis Winda.
***
Di balik panggung yang ramai, Rafael menatap adiknya dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Tasya, sebentar lagi kita tampil. Apa kamu gugup?" tanyanya, berusaha menenangkan Tasya yang tampak sedikit tegang.
Tasya, dengan senyum tipis, menjawab, "Dikit." Ia menjentikkan jarinya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap di hatinya.
Rafael tersenyum, merangkul bahu Tasya. "Kamu pasti bisa. Ini bukan kali pertama kamu tampil di depan banyak orang. Bahkan sejak kecil, kita sering nyanyi bersama di depan keluarga."
Tasya menghela napas, mencoba mengingat kenangan indah masa kecil mereka. "Iya, Kak. Tapi ini beda. Penontonnya banyak banget, dan mereka semua menatap kita."
Rafael mengangguk, memahami perasaan adiknya. "Memang beda, tapi intinya sama. Kita nyanyi dari hati, buat menghibur mereka." Ia menatap Tasya dengan mata berbinar. "Kamu punya suara yang indah, Tasya. Jangan biarkan rasa takut menghalangi kamu untuk bersinar."
Tasya menatap kakaknya, merasa terharu dengan dukungan yang diberikan. Ia tahu, kakak -kakak nya selalu ada untuknya, melindunginya, dan membuatnya merasa aman.
"Iya, Kak," jawab Tasya, suaranya sedikit bergetar. "Aku akan berusaha yang terbaik."
Rafael tersenyum bangga. "Itu baru adik Kakak. Sekarang, tarik napas dalam-dalam, dan bayangkan kita sedang bernyanyi di ruang keluarga, seperti dulu."
Tasya mengangguk, mencoba mengikuti saran kakaknya. Ia menutup mata, membayangkan suara tawa keluarga mereka, dan melodi lagu yang selalu mereka nyanyikan bersama. Perlahan, rasa gugupnya mulai mereda, digantikan oleh perasaan hangat dan damai.
"Siap?" tanya Rafael, menatap Tasya dengan senyum penuh semangat.
Tasya membuka mata, menatap kakaknya dengan senyum yang sama. "Siap, Kak."
***
"Kak, kudengar kali ini, Kak Rafael ngundang tamu spesial. Tamu ini sepertinya putri keluarga Santoso," bisik Winda, matanya berbinar penuh harapan.
Adrian, kakak Winda, menyeringai. "Kalau benar begitu, Tasya dan asistennya itu pasti akan habis. Kudengar sang putri lama di luar negeri, dia pasti marah kalau ada yang mengaku-ngaku sebagai dirinya untuk menipu."
"Kalau putri itu tahu apa yang dilakukan Tasya, dia pasti tidak akan melepaskan Tasya begitu saja," timpal Winda, membayangkan pembalasan dendam yang akan datang.
"Benar," sahut Adrian mengangguk setuju. "Kita tinggal tunggu saja dan lihat Tasya hancur."
Tiba-tiba, sorak-sorai penonton menggema di seluruh stadion. "Wah, Rafael!" seru mereka, saat Rafael memasuki panggung, senyum menawannya menyapa ribuan pasang mata.
Winda, yang duduk di barisan depan, berteriak histeris. "Kak, aku mau menikah sama dia!" serunya, menarik-narik lengan Adrian. "Bantu aku, Kak!"
Adrian yang terbiasa dengan permintaan adiknya, menenangkan. "Itu mah gampang. Tunggu aku dapat putri keluarga Santoso. Kamu mau menikah dengan siapa pun dari keluarga Santoso itu bisa." Ia meremehkan, yakin dengan rencananya.
Winda tertawa senang membayangkan dirinya menjadi bagian dari keluarga terpandang.
"Untung Kak Clara pergi ke toilet, kalau dia sampai dengar ini, dia nggak akan mudah ditangani, seperti Tasya yang nggak berguna itu," ucapnya sinis.
"Acara pertama hari ini sangat spesial, karena untuk pertama kalinya aku akan tampil bersama adikku," ucap Rafael dengan senyum bangga, mempersilakan Tasya memasuki panggung.
Sorak sorai penonton menyambut Tasya, yang berjalan dengan anggun sambil memegang gitar.
Tasya tampil memukau, rambutnya tergerai indah, dan topeng cantik menghiasi matanya, menambah aura misterius dan memesona. Ia tampak tenang dan percaya diri, meskipun dalam hatinya berdebar kencang.
Rafael mulai bernyanyi, suaranya yang merdu memenuhi ruangan, dan Tasya mengiringinya dengan petikan gitar yang lembut dan penuh perasaan. Mereka berdua menciptakan harmoni yang indah, suara Rafael dan melodi gitar Tasya menyatu, mengalun lembut, menyentuh hati setiap penonton.
Penonton terpukau, terhanyut dalam alunan musik yang mempesona. Ada yang meneteskan air mata haru, ada yang tersenyum bahagia, dan ada pula yang hanya bisa terdiam, menikmati momen magis itu.
Rafael menatap Tasya dengan tatapan penuh kasih sayang, bangga dengan bakat dan keberanian adiknya. Tasya membalas tatapan itu dengan senyum tipis, merasa terharu dengan dukungan kakaknya.
Di momen itu, mereka bukan hanya penyanyi dan pengiring, tetapi juga kakak beradik yang berbagi ikatan emosional yang kuat.
"Kenapa suara itu tampak tidak asing?" tanya Adrian, matanya menyipit, mencoba mengenali suara yang mengalun dari panggung. "Mirip suara Tasya sialan itu."
Winda yang sejak tadi menolak kemungkinan itu, langsung menyanggah, "Mana mungkin, Kakak salah dengar deh! Suara Tasya 'kan jelek, nggak mungkin bisa nyanyi sebagus ini."
Adrian dan Winda terdiam lama, mendengarkan dengan seksama. Keraguan mulai merayap di hati mereka. Adrian, dengan wajah serius, tiba-tiba berdiri.
"I-itu memang suara Tasya," serunya, suaranya bergetar.
Winda, yang tidak mau menerima kenyataan itu, menggelengkan kepala. "Kakak nggak waras, ya? Mana mungkin itu suara Tasya. Mana mungkin dia bisa bermain gitar. Aku saja yang belajar musik, tidak bisa bermain tanpa pengalaman bertahun-tahun. Lagian, Tasya sialan itu nggak bisa baca partitur musik. Mana mungkin dia bisa bermain gitar? Suaranya memang mirip wanita sialan itu. Tapi nggak mungkin dia."
Adrian yang mulai merasa tidak nyaman, mencoba mencari penjelasan lain.
"Kudengar malah mirip suara Kak Clara. Barusan dia bilang mau ke toilet. Tapi sampai sekarang belum kembali. Mungkin Kak Clara yang tampil di panggung." asumsi Winda seolah menolak kalau yang di atas panggung adalah Tasya.
"Benar juga, Itu pasti Kak Clara. Kak Clara kan memang jago nyanyi dan main musik. Pasti dia yang tampil. Tapi kenapa dia pakai topeng, ya?"
Adrian mengangkat bahu, tidak tahu. "Mungkin bagian dari penampilan?"
***
Di balik panggung yang riuh, Clara memasuki ruangan dengan anggun, senyum manis menghiasi wajahnya. Ia melangkah dengan percaya diri, gaun mewahnya berkilauan di bawah sorot lampu.
"Halo, aku Clara adik Rafael," ucap Clara, suaranya lembut namun penuh wibawa. Ia menyapa teman-teman Rafael dengan tatapan ramah, namun ada kilatan misterius di matanya.
Sandi, Yogi, dan Bram, Mereka saling berpandangan, bertanya-tanya siapa wanita yang tiba-tiba mengaku sebagai adik Rafael.
"Adik Rafael?" tanya Yogi, alisnya terangkat.
...----------------...