Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20:Kebakaran Ladang Fayye
Ladang gandum keluarga Fayye sedang bersiap menghadapi panen. Pagi sebelumnya, langit bersih, bulir-bulir gandum menguning sempurna. Para elf pekerja menyanyikan lagu panen di sela-sela hembusan angin barat.
Malam terasa datang lebih cepat dari seharusnya.
Kabut hitam menebal, turun bukan dari langit, melainkan merayap dari balik tebing barat. Daun-daun bergetar, angin membisu. Hewan-hewan hutan berlarian menjauh. Hening yang janggal menyelimuti hamparan ladang itu. Suara pertama datang, raungan rendah, berat, liar.
RAWWRRRHHH!!
Sekejap kemudian, bayangan-bayangan besar menerobos kabut.
Orc. Puluhan. Mungkin lebih.
Tubuh mereka besar dan berkulit abu kehijauan. Mata mereka menyala merah seperti bara yang haus. Mereka berlari membabi buta ke tengah ladang, menginjak batang gandum, merobek pagar kayu, dan menerjang lumbung-lumbung penyimpanan. Di tangan mereka, kapak, belati bergerigi, dan obor yang menyala liar.
“Lindungi gandum!” teriak salah satu penjaga desa.
Tapi penjaga-penjaga itu kalah jumlah. Panah mereka hanya menjatuhkan satu-dua orc. Sebelum senjata mereka patah, ladang mulai terbakar.
Asap tebal naik ke langit malam.
Sebelum api meluas…
Siiiiiing—!
Tzzzzttt—BLARRR!!
Panah cahaya menyambar dari kegelapan, menghantam punggung orc yang sedang merobek gudang. Beberapa makhluk itu terbakar dan meleleh menjadi lumpur hitam, menjerit dalam kematian.
Pasukan elf datang.
Nieville memimpin di barisan depan. Jubah perangnya berkilat perak, dan di tangannya, sebilah pedang panjang dari kristal angin bersinar pucat. Di belakangnya, Val dengan dua bilah pedang bersinar biru. Mereka memimpin puluhan elf dengan busur dan pedang sihir, menyusup cepat ke antara gandum yang terbakar.
“Jangan biarkan mereka lolos!” seru Nieville.
Val melompat ke tumpukan jerami, memutar bilahnya ke kiri dan kanan. Orc yang mencoba menyerangnya terbelah dalam dua gerakan. “Kenapa jumlah mereka sangat banyak!”
Pemanah elf dari sisi timur melepaskan panah ke arah orc yang menyerbu dari belakang. Api dari obor dipadamkan oleh sihir angin. Satu demi satu orc roboh. Tapi mereka masih terus berdatangan.
Val berlari ke arah pagar batu yang jebol. Di sana, dia melihatnya.
Sebuah jalur. Sebuah lorong rahasia dari balik bukit, tembus ke ladang.
“Nieville!” serunya. “Mereka diarahkan! Tembok dibobol dari dalam!”
Nieville menoleh, sempat terkejut. “Apa?!”
Seekor orc besar menerjang dari balik reruntuhan. Nieville berputar, menebas leher makhluk itu dalam satu gerakan elegan. Darah hitam menyembur ke tanah. Pangeran elf itu berdiri tegak, dengan mata menyala marah.
“Habisi semuanya. Jangan beri mereka kesempatan kembali ke gunung!”
Pasukan elf bergerak cepat. Cahaya sihir bersilangan. Angin berdesir liar. Dalam waktu dua puluh menit, serangan itu berhasil dipukul mundur. Mayat-mayat orc mencair di tanah, meninggalkan genangan lumpur berbau busuk.
Ketika senyap kembali turun dan api padam sepenuhnya, ladang Fayye sudah menjadi arang. Aroma asap terbakar masih menggantung di udara. Abu mengambang lembut, mencium langit yang mulai kelam. Para elf berdiri dengan wajah letih dan baju yang penuh jelaga.
Jeritan orc terakhir telah berhenti setengah jam lalu. Darah mereka yang hitam mengalir di antara batang gandum yang hangus. Di balik reruntuhan gudang penyimpanan, pasukan elf sedang memadamkan api terakhir dan membalut luka-luka mereka.
Di barisan depan, Val membersihkan bilah pedangnya dengan sehelai kain kasar. Ujung alisnya mengernyit, matanya menatap tembok batu yang mengelilingi sisi barat ladang.
“Tidak masuk akal,” gumamnya. “Jumlah mereka terlalu banyak untuk penyerangan biasa.”
Nieville mendekat, masih mengenakan pelindung dada perak yang hangus di beberapa bagian. Mata birunya tajam namun tenang. Ia menatap ladang yang luluh lantak. “Tembok ini... rusak di titik paling lemah.”
“Seolah ada yang menunjukkan pada mereka jalur yang tepat,” sambung Val, suaranya rendah. “Kau tahu betul, orc tidak cerdas. Mereka hanya bisa menyerbu. Tapi ini... seperti strategi.”
Langkah kaki berat terdengar di belakang mereka. Seorang elf muda mendekat, wajahnya muram, pakaiannya lusuh oleh asap dan tanah. Di balik ikat pinggangnya tersemat lambang daun gandum emas—lambang keluarga Fayye.
Romanel.
Putra keluarga bangsawan pengelola ladang gandum terbesar di Acalopsia. Suaranya tajam, nadanya getir.
“Senang akhirnya kerajaan mengingat kami.”
Nieville menoleh. “Romanel. Kami datang secepatnya setelah menerima laporan.”
“Setelah laporan? Ladang ini sudah diserang dua malam berturut-turut. Tak satu pun dari pusat datang memeriksa. Kami kehilangan tiga gudang, dua puluh ekor kuda pekerja, dan hampir seluruh ladang timur!” Suaranya meninggi.
Val maju setapak. “Kami telah menyebar pasukan ke seluruh perbatasan barat dan utara. Tallava, Fayye, Eloyid, Soutruive, Garya, Agoria. Semua titik yang rawan sudah dijaga. Ini bukan soal pilih kasih. Ini soal kekuatan yang terbatas melawan musuh yang semakin liar.”
Romanel mendengus. “Ah, Tallava. Perkebunan anggur itu selalu mendapat perhatian. Mungkin karena bangsawan di sana punya lebih banyak koneksi di istana.” Ia menatap Nieville dengan tajam. “Sementara kami? Kami hanya petani. Tapi kami yang memberi makan seluruh Acalopsia.”
Nieville menatapnya dalam diam. Dengan langkah tenang, ia melepas sarung tangannya dan berjalan mendekat.
“Romanel... aku meminta maaf atas kelalaian kami. Aku tidak akan membenarkan apa yang telah terjadi. Tapi aku juga tidak akan membiarkan ini terulang.” Ia mengulurkan tangan, penuh ketegasan dan ketulusan. “Ladang ini bukan hanya milik keluarga Fayye. Ini bagian dari jantung Acalopsia. Dan aku... akan memastikan jantung ini tetap berdetak.”
Romanel menatap tangan itu lama, sebelum akhirnya menerimanya dengan berat hati.
“Baiklah, Yang Mulia. Tapi ini belum selesai. Kami butuh pasukan yang tinggal di sini. Setidaknya... hingga panen selesai.”
Val mengangguk. “Akan kami kirim regu penjaga dalam dua hari. Kami juga akan memeriksa celah tembok yang rusak. Memeriksa apakah benar ada tangan pihak lain yang ikut campur.”
Nieville menatap api yang mulai padam di ujung ladang. “Jika benar ada yang membantu orc... kita harus segera menemukannya. Sebelum nyala api ini menjalar ke seluruh negeri.”
Romanel masih berdiri diam, tangannya menggenggam lengan Nieville yang telah ia sambut dengan kemarahan. Tatapannya mulai melunak, kemarahan yang tadi membara kini surut menjadi bara kecil. Matanya menyapu ladang mereka yang kini hangus, reruntuhan yang menyimpan kerja keras berbulan-bulan.
"Maafkan atas kelancangan saya, Yang Mulia," katanya, dengan suara lebih rendah dari sebelumnya. "Kami... sudah banyak kehilangan."
Nieville mengangguk perlahan. “Kemarahanmu bisa kupahami. Tapi jika kita saling menyalahkan, kita akan kalah bahkan sebelum pertempuran berikutnya tiba.”
Val menatap mereka sambil membersihkan darah orc dari sarung pedangnya. “Kita punya musuh yang jauh lebih licik daripada yang kita duga.”
Romanel menatap keduanya. Lalu, untuk pertama kalinya sejak awal pertemuan, ia tersenyum. Tipis. Pahit. Tapi jujur.
“Aku juga minta maaf padamu, Val.”
Val tersenyum separuh. “Kalau kau merasa bersalah, cukup jamu kami malam ini. Jangan biarkan kami tidur di reruntuhan jerami.”
Romanel mengangkat alis. “Kau tahu, itu bisa diatur.”
Mereka tertawa kecil. Hening pertempuran diganti oleh kehangatan baru yang, meski tipis, cukup untuk menguatkan jiwa-jiwa yang lelah.
Romanel melambaikan tangan ke arah para pekerja di ladang Fayye. “Siapkan ruang tamu di rumah utama. Para penjaga istana akan menginap malam ini. Dan siapkan makanan hangat. Aku tak akan membiarkan mereka kembali ke istana dengan perut kosong.”
Nieville tersenyum lembut. “Kami terima dengan senang hati.”
Mereka melangkah meninggalkan ladang yang hangus itu, menuju rumah besar keluarga Fayye yang berdiri di ujung bukit. Sebuah bangunan tua beratap hitam dengan cahaya lentera yang menggantung di tiap sisinya.