NovelToon NovelToon
Transmigrasi Ke Tubuh Selir Yang Tak Di Anggap

Transmigrasi Ke Tubuh Selir Yang Tak Di Anggap

Status: tamat
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Tamat
Popularitas:95.8k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!

Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.

Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.

Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Tiga tahun telah berlalu sejak kelahiran Pangeran Rui Feng dan Putri Lang Yue, dan seisi istana kini hidup dalam ritme yang baru lebih ceria, lebih sibuk, tapi juga lebih hidup dari sebelumnya.

Pangeran kecil Rui Feng tumbuh sebagai bayi tenang yang senang memperhatikan. Kadang saat semua orang sibuk membahas laporan, ia duduk manis di pangkuan Kaisar Liang Xu, menatap seakan mengerti seluruh percakapan.

Sedangkan Lang Yue, sang adik, lincah dan penuh rasa ingin tahu. Ia sering terlihat memegang gulungan bambu dan menunjuk huruf-huruf di sana, meski belum bisa membaca dengan benar.

Namun, kedua anak ini punya satu kesamaan, mereka luar biasa cerdas, cepat tanggap, dan... sangat sopan.

“Telima tasih, Bibi Pelayan,” ucap Lang Yue kecil sambil membungkuk pelan setelah dibantu memakai sepatu.

“Maaf, Dede Penawal,” ujar Rui Feng lembut saat tak sengaja menabrak lutut seorang penjaga.

Setiap kali mereka bertingkah lucu, bukan karena mereka nakal, tapi karena kepolosan mereka menyentuh hati.

Hari itu, Mei Lin sedang mendengar laporan tentang panen musim gugur yang terlambat.

“Kami kekurangan tenaga, Paduka,” lapor Menteri Pertanian. “Bila tidak segera dibantu, hasil tahun ini bisa menurun.”

Sebelum Mei Lin sempat menjawab, langkah-langkah kecil terdengar dari pintu.

Rui Feng masuk pelan, lalu membungkuk kecil. “Ibu... boleh bicala?”

Liang Xu tersenyum bangga dari sisi ruangan. “Silakan, Pangeran kecil.”

Rui Feng menunjuk ke gambar ladang di peta. “talau musim hujan telambat, tita bisa kilim alat dari bengkel istana yang biasa dipatai untuk menimba ail di kolam.”

Semua orang terdiam.

Lang Yue yang datang menyusul, ikut menyahut polos, “Dan atu bisa bantu ajat teman-teman belmain sambil petit padi. Nanti tami nyanyi, bial tidat bosan.”

Mei Lin tertawa lembut. “Kalau semua rakyat seceria kalian, kekaisaran ini akan damai selamanya.”

 

Tamu dari Negeri Bai

Kabar kedatangan Pangeran Ke Yan dari negeri Bai menyebar cepat. Ia adalah anak Kaisar Bai Xu, dan dikenal sebagai pangeran muda cerdas, tapi... sedikit terlalu percaya diri.

Saat ia tiba di istana, Ke Yan langsung mencari kedua anak Mei Lin.

“Aku ingin melihat bayi yang katanya luar biasa itu,” ujarnya, setengah meremehkan.

Namun saat melihat Rui Feng membetulkan posisi peta dan Lang Yue membantu seorang dayang menata bunga, ekspresi Ke Yan berubah.

Malam harinya, ia berusaha menyelinap ke dapur kekaisaran. Bukan untuk mencuri, melainkan karena penasaran.

“Apakah benar... bubur susu di sini bisa membuat anak-anak jadi seperti mereka?” bisiknya pada pengawal.

Tapi langkahnya dihentikan oleh Si Tang.

“Di sini kami tidak mencuri. Kami belajar bersama.”

Pangeran Ke Yan menunduk malu.

Sekolah Kecil Kekaisaran

Dari kejadian itu, Mei Lin dan Kaisar Liang Xu mendapat ide.

“Mari kita buat tempat belajar untuk anak-anak dari semua kalangan,” usul Mei Lin. “Tak harus pintar... asal ingin tahu, kita ajarkan.”

Sekolah kecil itu dibangun di taman istana belakang. Rui Feng dan Lang Yue adalah murid pertamanya.

Rui Feng sering membantu anak-anak lain yang kesulitan menghitung batu, sementara Lang Yue mengajari mereka lagu rakyat sambil menari di atas rumput.

“talau jatuh, tita banun. talau salah, tita ulang,” katanya pelan saat seorang anak menangis karena menggambar huruf terbalik.

Dan Mei Lin, melihat itu semua dari balik tirai, hanya bisa menatap haru.

Rakyat kekaisaran tidak hanya mengenal Pangeran Rui Feng dan Putri Lang Yue sebagai anak Kaisar dan Permaisuri.

Mereka dikenal sebagai anak-anak yang santun, bijak, dan penuh rasa sayang.

Bukan karena gelar mereka.

Tapi karena ajaran yang diwariskan ibunya:

“Jadilah cahaya. Tapi jangan pernah menyilaukan siapa pun.”

Dan cahaya itu kini menyinari seluruh kekaisaran.

...----------------...

Langit istana hari itu cerah. Burung-burung pipit beterbangan di atas taman kerajaan, dan angin sepoi membawa aroma manis dari bunga peony yang sedang mekar. Suasana tampak meriah karena pagi itu adalah Festival Musim Mekar, perayaan pertama bagi si kembar kekaisaran: Rui Feng dan Lang Yue.

Mei Lin sibuk membenahi topi kecil dengan hiasan bunga di kepala putrinya, sementara pelayan istana tertawa pelan melihat bagaimana Rui Feng berusaha keras mengenakan sepatu sendiri, walau masih sering terbalik kiri dan kanan.

“Kamu mau bantu Ibu, Feng’er?” tanya Mei Lin, sambil berjongkok.

Anak kecil itu mengangguk dengan wajah serius lalu menunjuk sepatu dan berkata bangga, “Sepu... pas!”

Mei Lin tertawa pelan. “Iya, iya... pas... walau kaki kiri kamu masuk ke sepatu kanan.”

Lang Yue di sisi lain sibuk memegang bunga melati dan mencoba menempelkannya ke kepala ayahnya, Kaisar Liang Xu, yang duduk di sebelah mereka dengan sabar.

“Ini... uat Ayah!” katanya dengan suara cadel, sembari mendorong bunga ke rambut sang kaisar.

Liang Xu menerima pemberian itu dengan senyum yang sangat jarang terlihat di medan perang atau ruang tahta. “Terima kasih, Putriku. Ayah jadi wangi.”

Lang Yue tersenyum lebar, lalu tiba-tiba memeluk kaki ayahnya sambil bergumam, “Ayaa sayaaaang...”

Kaisar yang biasanya dingin pun tak kuasa menahan senyum lebar yang begitu lembut.

Di taman belakang, festival dimulai. Ada parade kecil, balon kain, dan pertunjukan boneka dari rakyat yang diundang. Mei Lin duduk bersama ibu suri dan beberapa pejabat wanita, sambil memangku Lang Yue yang masih mengemut permen jahenya.

Rui Feng sibuk mengejar kelinci hias yang dibiarkan berlarian di halaman. Ia terjatuh, bangkit lagi, lalu tertawa-tawa sendiri seperti prajurit kecil yang tidak takut luka.

“Aduh... baju pangeran Feng’er kotor semua,” ujar pelayan panik.

Mei Lin hanya tertawa. “Biarkan saja. Biar dia tahu kalau kain bisa dicuci, tapi semangat itu harus dijaga.”

Lang Yue lalu menarik-narik lengan ibunya, lalu menunjuk ke arah buah plum.

“Mau... puum...” katanya cadel.

Mei Lin mengambilnya, mengupas pelan, lalu menyuapkan pada si kecil.

“Nanti Yue besar, jadi apa?” tanya ibu suri sambil tersenyum.

“Lima adun...!” sahut Yue bersemangat.

“Lima adun apa?” tanya semua bingung.

Mei Lin tertawa. “Mungkin maksudnya panglima agung...”

“Wah, ini baru putri kekaisaran,” kata ibu suri sambil memekik kecil, lalu tertawa haru.

Hari itu berjalan damai. Tidak ada intrik, tidak ada perkelahian antar selir seperti dahulu. Semua perhatian kini tertuju pada dua bocah kecil yang mulai mencuri hati rakyat dan para bangsawan.

Rui Feng menyeret boneka singa-singa kayu ke dekat ayahnya dan berkata pelan, “Ayah... main... baleng.”

Liang Xu, meski mengenakan jubah kaisar, langsung berjongkok dan memegang satu boneka. Ia menirukan suara singa. “Aum... siapa takut!”

Rui Feng tertawa sampai guling-guling di tikar taman.

Lang Yue, tak mau kalah, lalu memukul-mukul tangannya ke udara dan berteriak, “Aku... aum juga!”

Dan di antara tawa, bunga-bunga, dan cahaya matahari pagi itu...

Mei Lin hanya duduk bersandar di bahu Ibu suri Wajahnya bahagia, matanya berbinar. Tak perlu permata atau mahkota tambahan. Harta sejatinya kini bermain di rumput, menertawakan kupu-kupu, dan menyebutnya “Ibu” dengan suara cadel.

Dan rakyat pun berkata, “Mereka bukan hanya keluarga kekaisaran... tapi keluarga yang benar-benar punya hati.”

Bersambung

1
MiaCoxk
sampai sini udah gak bisa nahan tawa, 🤣🤣🤣🤣
Travel Diaryska
good
Travel Diaryska
banyak2 istigfar, ngidamnya diluar angkasa 🤣🤣
Eka Haslinda
dah tamat ternyata.. tengkyu othoorr.. lanjut cerita baruuu.. srmangat terus💪💪💪
Travel Diaryska
dari sini kita belajar. tak perlulah kau effort untuk menarik perhatian orang lain yang tak pasti. tapi effort lah untuk membahagiakan diri sendiri 😌
Osie
ending yg luar biasa bagus tapi sedikit penasaran krn mei lin blm melahirkan anak kedua nya
🍃🦂 ≛⃝⃕|ℙ$ Nurliana§𝆺𝅥⃝© 🦂🍃
Suara tangis bayi na lucu /Facepalm/
🍃🦂 ≛⃝⃕|ℙ$ Nurliana§𝆺𝅥⃝© 🦂🍃
Ooh masih 13 tahun toh, kirain udah 15 tahunan lah
🍃🦂 ≛⃝⃕|ℙ$ Nurliana§𝆺𝅥⃝© 🦂🍃
Waah hamil lagi
Osie
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Osie
mei lim di masa depan sdh biasa menghadapi intrik para persaingan bisnis..jd utk org" jahat jadul mah gak bakal berat utk dibasmi mei lim
Osie
otak masa depan kok mau dilawan ya pasti game overlah
Osie
mei lin ngakak abiz aku nya
Osie
ceo jaman modern dilawan...ya mana bisaaaa/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Osie
ya ampun mei lin /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/kram perutku ketawa
Osie
aku mampiiiirrr
Santy Susanti
Akhir yang indah, thanks Othor😘😘😘😘😘😘
Dewiendahsetiowati
terima kasih untuk karyamu Thor dan di tunggu karya selanjutnya
Wahyuningsih
akhirnya tamat jga d tnggu crita brunya thor
sellu jga keshtn tetp 💪💪💪💪💪💪🫶🫶🫶
Lala Kusumah
tamatkah??? akhirnya mereka happy ending, bahagianya 😍😍😍😘😘❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!