Di kehidupan sebelumnya, Duchess Evelyne von Asteria adalah wanita paling ditakuti di kerajaan. Kejam, haus kekuasaan, dan tak ragu menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Namun, semuanya berakhir tragis. Pengkhianatan, pedang yang menembus perutnya yang tengah mengandung besar itu mengakhiri segalanya.
Namun, takdir berkata lain. Evelyne justru terbangun kembali di usia 19 tahun, di mana ia harus menentukan jodohnya. Kali ini, tekadnya berbeda. Bukan kekuasaan atau harta yang ia incar, dan bukan pula keinginan untuk kembali menjadi sosok kejam. Dia ingin menebus segala kesalahannya di kehidupan sebelumnya dengan melakukan banyak hal baik.
Mampukah sang antagonis mengubah hidupnya dan memperbaiki kesalahannya? Ataukah bayangan masa lalunya justru membuatnya kembali menapaki jalan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Karena Diri Sendiri
Pagi itu, suasana kediaman Duke Astria tampak lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan berlalu lalang, memastikan segala sesuatu telah disiapkan dengan sempurna untuk acara minum teh pertama Evelyne. Di ruang kaca yang megah, meja-meja sudah tertata rapi dengan taplak putih bersulam emas, porselen-porselen terbaik telah dikeluarkan, dan berbagai alat musik diletakkan dengan hati-hati di sudut ruangan, sesuai dengan tema yang telah Evelyne tetapkan.
Evelyne, yang mengenakan gaun biru lembut dengan bordiran perak, duduk dengan anggun di kursi utama. Matanya yang tajam mengamati sekeliling, memastikan tidak ada yang kurang. Para Lady dari keluarga bangsawan akan segera datang, dan ini adalah kesempatan pertama Evelyne menunjukkan posisinya di kalangan sosial.
Di sampingnya, Alena duduk dengan wajah penuh kebosanan. Gaunnya merah jambu dengan renda-renda halus, terlihat sempurna, tetapi sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak terlalu peduli dengan acara ini.
"Alena," Evelyne berbicara dengan nada lembut tetapi tajam, "Sudahkah kau mempelajari kecapi seperti yang kuminta?"
Alena menoleh dengan ekspresi tidak tertarik. "Oh, itu? Aku tidak melihat gunanya."
Evelyne mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
Alena mendesah, memainkan ujung sarung tangannya dengan bosan. "Seruling, kecapi, dan berbagai alat musik seperti itu, bukankah itu benda-benda rendahan? Aku mendengar bahwa di kerajaan Timur, alat-alat musik seperti itu digunakan di rumah bordil. Mengapa aku harus belajar sesuatu yang hanya dimainkan oleh wanita-wanita kelas bawah?"
Sejenak, suasana menjadi tegang. Mata Evelyne menyipit, dan pelayan di dekat mereka tampak menegang, takut akan reaksi yang akan muncul.
Evelyne menghela napas perlahan, mengendalikan emosinya. "Alena," katanya dengan nada yang tetap tenang namun dingin, "aku harap kau berhati-hati dengan ucapanmu."
Alena tertawa kecil, menutup mulutnya dengan punggung tangan. "Oh, Evelyne, jangan terlalu kaku. Aku hanya mengatakan fakta. Kau tahu sendiri, bukan? Banyak bangsawan yang menganggap alat musik seperti itu tidak layak dimainkan oleh orang terhormat."
Evelyne tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang, tetapi di dalam hatinya, ia merasa geli sekaligus marah.
"Jadi," lanjut Evelyne, "menurutmu, alat musik seperti kecapi dan seruling tidak memiliki nilai? Padahal alat-alat ini telah digunakan selama ratusan tahun dalam musik istana, dalam pertunjukan kerajaan, bahkan dalam acara-acara resmi para bangsawan."
Alena mengangkat bahu. "Terserah apa yang kau pikirkan."
Evelyne tersenyum tipis, tatapannya tajam. "Baiklah, jika kau merasa alat musik ini tidak memiliki nilai, maka kita lihat nanti saat acara dimulai."
Alena mengerutkan kening, tetapi sebelum ia bisa membalas, suara pelayan terdengar dari luar ruangan. "Para tamu telah tiba."
Evelyne berdiri dengan anggun, merapikan sedikit roknya, lalu berjalan menuju pintu.
Para Lady dari berbagai keluarga bangsawan berkumpul di dalam ruang kaca yang mewah. Mereka mengenakan gaun-gaun indah dengan berbagai warna lembut, perhiasan mereka berkilauan di bawah sinar matahari yang menembus kaca-kaca jendela.
Suasana yang awalnya penuh percakapan lembut segera berubah menjadi ajang persaingan terselubung. Setiap Lady berusaha menunjukkan keunggulan mereka, baik melalui tutur kata, sikap, maupun cara mereka menilai satu sama lain.
Evelyne, yang telah terbiasa dengan intrik sosial, dengan mudah mengendalikan suasana. Ia menyambut tamu dengan senyum lembut, memperkenalkan tema acara, lalu mempersilakan mereka menikmati teh yang telah disiapkan.
Di tengah percakapan yang semakin menghangat, Evelyne bertepuk tangan pelan untuk menarik perhatian.
"Para Lady yang terhormat, seperti yang telah kuberitahukan, tema pertemuan kita hari ini adalah alat musik," katanya dengan senyum tenang. "Aku telah menyiapkan beberapa alat musik yang mungkin belum pernah kalian dengar sebelumnya, dan aku ingin berbagi sedikit pengetahuan tentang keindahan suara mereka."
Beberapa Lady mengangguk dengan tertarik, sementara yang lain tampak skeptis. Evelyne melanjutkan, "Dan sebagai bagian dari perkenalan ini, aku telah meminta adikku, Lady Alena, untuk memainkan sebuah alat musik bagi kita semua."
Mata semua orang beralih pada Alena, yang seketika membeku di tempatnya. "Aku?" Alena menatap Evelyne dengan wajah kaget.
Evelyne tersenyum manis. "Tentu saja. Bukankah kau sudah berlatih?"
Alena membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata yang keluar. Ia tidak pernah benar-benar berlatih, menganggap permintaan Evelyne sebagai sesuatu yang bisa diabaikan. Dan sekarang, di depan seluruh bangsawan wanita, ia dipaksa untuk tampil.
Para Lady mulai berbisik di antara mereka. Mereka menatap Alena dengan penuh harapan, menunggu penampilannya.
Evelyne bertepuk tangan sekali lagi. "Pelayan, tolong bawa kecapi."
Seorang pelayan datang membawa kecapi indah dengan ukiran emas. Alena menatap alat musik itu dengan ngeri, tetapi ia tidak bisa menolak.
Dengan langkah ragu, ia maju dan duduk di depan kecapi. Tangannya gemetar saat menyentuh senarnya. Keheningan memenuhi ruangan.
Alena menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat teori yang pernah ia baca. Ia memetik senar, tetapi suara yang keluar terdengar kasar dan sumbang.
Beberapa Lady menahan tawa mereka, sementara yang lain saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut.
Evelyne tetap duduk dengan tenang, senyumnya tak berkurang sedikit pun.
Alena mencoba sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Ia benar-benar tidak bisa memainkannya. Akhirnya, ia menjatuhkan tangannya ke pangkuan dan menunduk dalam rasa malu.
Evelyne lalu berdiri dan berjalan mendekati kecapi. Ia duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Alena, lalu tanpa banyak bicara, ia mulai memainkan alat musik itu.
Alunan melodi yang indah memenuhi ruangan. Setiap nada terdengar sempurna, mengalun lembut seperti aliran sungai yang menenangkan.
Para Lady yang tadi meremehkan kecapi kini terdiam, terpaku mendengar permainan Evelyne. Setelah beberapa menit, Evelyne menyelesaikan permainannya dan meletakkan kecapi itu dengan anggun. Ia menoleh ke arah para tamunya dan tersenyum.
"Seperti yang kalian dengar," katanya dengan lembut, "alat musik bukanlah sekadar benda, tetapi sebuah seni. Mereka bukan alat rendahan, tetapi ekspresi dari keindahan dan budaya kita."
Para Lady langsung bertepuk tangan. Beberapa bahkan mengangguk setuju, seolah menyadari betapa salahnya mereka sebelumnya. Alena, di sisi lain, hanya bisa duduk dengan wajah merah padam.
Evelyne menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis.
"Adikku," katanya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Alena, "lain kali, jangan meremehkan sesuatu yang tidak kau pahami."
Alena menggigit bibirnya, tak mampu membalas. Dan dengan itu, Evelyne kembali mengukuhkan posisinya di kalangan bangsawan, sementara Alena semakin jatuh ke dalam bayang-bayangnya.
Sejak awal Evelyne tak bermaksud menjatuhkan posisi Alena, karena semua tergantung pada Alena sendiri. Bila dia bisa belajar dan mau mendengarkan apa sarannya, tentu hal memalukan seperti saat ini tak akan terjadi, namun apa yang dilakukan Alena justru bertolak belakang.
Alat musik yang begitu langka di temukan di daratan barat begitu asing bagi para Bangsawan, karena alat musik di acara itu di ambil dari berbagai penjuru dunia, dan dari berbagai kerajaan.