Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halus Namun Mematikan
Raden Mas Soedarsono melangkah memasuki dalem dengan langkah berwibawa namun tergesa.
Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Pariyem, menciptakan gambaran-gambaran yang semakin mengusik ketenangan hatinya. Ia mencari Sumi di kamar utama mereka, namun tidak menemukannya di sana.
Suara lembut dari arah ruang makan menarik perhatiannya. Dengan langkah perlahan, ia berjalan menuju sumber suara itu.
Di sana, ia mendapati istrinya tengah mengatur para abdi yang sibuk menyiapkan makan malam.
Sumi berdiri dengan anggun dalam balutan kebayanya hijau yang elegan, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.
"Hidangan utama di tengah, Mbok. Sayur lodeh di sebelah kanan, dan sambal goreng hati di sebelah kiri," ia mengarahkan dengan gerakan tangan yang anggun. "Pastikan nasi dalam dandang tetap hangat. Kangmas baru saja pulang, pasti ingin makan malam yang nikmat."
Para abdi bergerak cepat mengikuti instruksi, menata meja makan dengan hati-hati. Seorang pelayan muda tampak kikuk membawa mangkuk porselen berisi sup.
"Hati-hati, Yu," tegur Sumi lembut. "Mangkuk itu pemberian Residen van Heutz untuk pernikahan kami. Sangat berharga."
Soedarsono berdiri diam di ambang pintu, mengamati istrinya yang dengan cekatan mengatur segalanya.
Inilah Sumi yang ia kenal—tenang, berwibawa, dan selalu mengutamakan kesempurnaan dalam mengurus rumah tangga.
Sulit membayangkan perempuan sepertinya tersenyum-senyum pada pemuda Belanda seperti yang digambarkan Pariyem.
Namun, ketegangan dalam dirinya tidak kunjung reda. Ada sesuatu yang berbeda dari Sumi hari ini, sesuatu yang tidak terjelaskan namun terasa nyata. Mungkin cara ia berdiri, atau bagaimana suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya.
"Kangmas," Sumi adalah yang pertama menyadari kehadirannya, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. "Makan malam sebentar lagi siap. Apa Kangmas ingin mandi dulu? Air hangat sudah disiapkan."
Para abdi menunduk hormat melihat kehadiran tuan mereka, beberapa di antaranya segera undur diri untuk memberi ruang bagi sepasang suami istri itu.
Soedarsono menatap wajah istrinya, mencari tanda-tanda perubahan, jejak-jejak pengaruh dari pertemuan dengan Martin. Namun yang ia temukan hanyalah wajah yang sama—cantik, tenang, dan selalu terkendali.
"Kangmas akan mandi," jawabnya perlahan. "Tapi sebelumnya, ada yang ingin Kangmas tanyakan."
Sumi mengangguk, memberi isyarat pada para abdi yang tersisa untuk meninggalkan ruangan. Setelah mereka semua pergi, ia menatap suaminya dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Ada apa, Kangmas?"
Soedarsono melangkah mendekat, berhenti tepat di hadapan istrinya. Dari jarak ini, ia bisa mencium aroma melati yang selalu menguar dari tubuh Sumi, aroma yang selama lima belas tahun menjadi bagian dari kesehariannya.
"Pariyem mengatakan bahwa Tuan van der Spoel sudah berada di sini sejak siang," ucapnya langsung. "Dan kalian mengobrol sangat lama, hampir tiga jam. Apa itu benar?"
Ada kilatan singkat di mata Sumi, antara keterkejutan dan kekesalan pada Pariyem. Namun wajahnya dengan cepat kembali tenang.
"Tidak selama itu, Kangmas," jawabnya dengan suara tenang. "Tuan Martin datang sekitar pukul tiga, dan Kangmas tiba sekitar pukul lima. Jadi paling lama dua jam, itu pun termasuk waktu minum teh."
"Dua jam tetap waktu yang sangat lama untuk membicarakan kolam ikan," balas Soedarsono, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaan. "Apa saja yang kalian bicarakan selama itu?"
Sumi terdiam sejenak, tampak memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Kami membahas banyak hal, Kangmas. Tentang rencana kolam ikan di sekitar Kedung Wulan, tentang jenis ikan yang akan dibudidayakan, tentang pembagian keuntungan ...."
"Hanya itu?" Soedarsono mendesaknya.
Sumi mengangkat wajahnya, menatap langsung mata suaminya. "Apa yang sebenarnya ingin Kangmas tanyakan?"
Pertanyaan itu membuat Soedarsono terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ingin ia tanyakan? Apakah ia berani mengungkapkan kecurigaan terdalamnya? Kecemburuan yang kini menguasai pikirannya?
"Kangmas ingin tahu apa yang Tuan van der Spoel katakan hingga membuat Diajeng berubah sikap," ucapnya akhirnya. "Hingga membuat Diajeng berani membantah Kangmas, menolak menjadi garwo ampil, bahkan lebih memilih diceraikan."
Sumi menghela napas panjang. "Saya sudah menjelaskan tadi, Kangmas. Perubahan sikap saya tidak ada hubungannya dengan Tuan Martin. Ini tentang perasaan saya sendiri."
"Benarkah?" tantang Soedarsono. "Karena Pariyem melihat Diajeng tersenyum beberapa kali saat berbicara dengan pemuda itu. Hal yang sangat jarang Diajeng lakukan, bahkan pada tamu-tamu bangsawan Jawa."
Napas Sumi sedikit tertahan, ia tak ingat telah tersenyum pada Martin. Benar-benar kurang ajar Pariyem, pikirnya. Awas nanti.
"Saya tidak sadar telah tersenyum, Kangmas. Mungkin karena tawaran bisnisnya memang menarik. Dan tidakkah Kangmas pikir bahwa Pariyem mungkin melebih-lebihkan ceritanya?"
"Mungkin," Soedarsono Mengangguk. "Tapi mata Kangmas sendiri melihat bagaimana pemuda itu menatap Diajeng sebelum pergi. Dan bagaimana Diajeng masih memandangi gerbang meski mobilnya telah lama menghilang."
Sumi terdiam, kata-kata sanggahan tercekat di tenggorokannya. Memang benar, ia terus memandang ke arah gerbang, tapi bukan karena alasan yang dibayangkan suaminya.
Ia menatap karena ketakutan, khawatir Martin akan kembali dan melakukan sesuatu yang lebih buruk, seperti menceritakan kejadian semalam.
"Kangmas salah paham," ucapnya akhirnya. "Saya hanya—"
Ucapannya terhenti oleh suara ketukan di pintu. Mbah Joyo, sang kepala abdi, muncul dengan wajah penuh hormat.
"Ngampunten (maaf), Ndoro," ucapnya sambil membungkuk dengan mengatupkan tangan membentuk sembah. "Ada tamu penting yang ingin bertemu dengan Ndoro Mas."
"Siapa?" tanya Soedarsono, tampak terganggu dengan interupsi ini.
"Tuan kontrolir, Ndoro. Beliau menunggu di pendopo."
Soedarsono menghela napas panjang. Sebagai patih, ia tidak bisa mengabaikan kunjungan dari pejabat Belanda sekaliber kontrolir. Namun ia juga tidak ingin meninggalkan pembicaraan dengan Sumi yang belum selesai ini.
"Sampaikan pada Tuan kontrolir bahwa aku akan segera ke sana," ucapnya pada Mbah Joyo. "Dan siapkan teh serta hidangan ringan terbaik."
Setelah Mbah Joyo pergi, Soedarsono kembali menatap istrinya. "Kita belum selesai dengan pembicaraan ini," ucapnya tegas. "Kangmas ingin Diajeng mengatakan yang sebenarnya tentang pemuda Belanda itu."
Sumi mengangguk pelan. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Kangmas. Saya telah bersumpah setia pada Kangmas lima belas tahun lalu, dan saya memegang teguh sumpah itu."
Soedarsono menatap istrinya lama, mencari kebenaran di balik kata-katanya. Ada keraguan dalam hatinya, tapi ia tahu bahwa pertemuan dengan kontrolir tidak bisa ditunda.
Dengan berat hati, ia berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Sumi yang masih berdiri dengan ekspresi tak terbaca.
Begitu suaminya menghilang dari pandangan, Sumi menghela napas panjang yang sedari tadi ia tahan.
Tangannya sedikit gemetar saat merapikan lipatan kebayanya, pikiran berkecamuk dalam benaknya. Kedatangan Martin tadi siang telah mengusik kecurigaan suaminya.
Tapi ia tahu bahwa pemuda itu tidak akan berhenti di sini. Ada sesuatu dalam tatapan mata birunya yang menunjukkan tekad kuat—tekad untuk memilikinya, atau mungkin menghancurkannya.
Sementara itu, Soedarsono yang sedang berjalan menuju pendopo membuat keputusan dalam hatinya.
Setelah bertemu dengan kontrolir, ia akan menyelidiki lebih jauh tentang Martin van der Spoel.
Sebagai patih, ia memiliki akses ke berbagai informasi, termasuk tentang keluarga-keluarga Belanda terkemuka di karesidenan.
Jika memang ada sesuatu di antara pemuda itu dan istrinya, ia akan mengatasinya dengan cara seorang priyayi—halus namun mematikan.
Bagaimanapun, kehormatan keluarga Prawiratama harus tetap terjaga, dan tidak ada pemuda Belanda yang bisa mengganggunya.
Sambil melangkah menuju pendopo, Soedarsono mengepalkan tangannya kuat-kuat, tak rela harga dirinya terusik oleh pemuda ingusan.
entah bagaimana caranya
Sumi harus sampai ke pendeta Cornelis
semoga belum terlambat
waduhh semoga saja ini berhasil dan semua akan memudar dgn ikatan suci krn jln satunya ya menikah bukan berzianah meski bukan karna kehndk sndri tp semua itu. dilandasi dendam seseorang
Takut Sumi menolak di kristenisasi dan kutukan itu akan semakin dalam dan sulit buat di lenyapkan
menggeram dan menyerang semua yang ada di mobil dan karena panik lalu mengalami kecelakaan....
ngeri banget bayanginnya ...
padahal belum karuan gimana dia melayani anaknya kelamSumi udah melayani anaknya 15tahu dan legowo dengan sikap ibu mertuanya tapi begitu direndahkan
coet nikah aja sm martin biar g jd firnah dan terbebas dr belebgu dendam ya aknnn
Jangan Sumi, jangan punya harapan seperti itu, apa kau mau tenggelam lagi dalam hinaan kanjeng ibu dan menjadi garwo sisih?
merasa sesekk ,
bertahan di sana tapi bukan siapa2 lagi ,
apalagi dgn mudahnya Raden Soedarsono menceraikan stlh 15 th menikah,di abai kan begtu saja
selain menghindari timbulnya rasa yg sdh tidak pantas lagi ,
Sumi juga menghindari Martin ,
daripada membawa masalah makin rumit , setidaknya menghindar untuk sekarang