Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.
Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
“Pria tua itu belum bisa kembali bekerja?” tanya seseorang yang membelah bongkahan berlian di sebelah kiri Shinkai.
“Belum. Tapi aku dengar ia akan kembali besok. Semoga saja dia tidak memaksakan diri,” jawab teman di dekatnya.
Suara alat-alat tambang beradu. Bergema pada gua yang lembap.
“Ah, setidaknya kita lebih tenang untuk beberapa hari ini tanpa ocehan cerewet yang membahas cucu kesayangannya itu.”
“Benar. Dia pikir kebahagiaannya juga kebahagiaan kita.”
Hati Shinkai terasa panas mendengar penuturan orang-orang itu. ia mengakui bahwa apa yang dibicarakan mereka tidaklah sepenuhnya salah. Memang seperti itu adanya. Namun ia melihat sisi lain dari kakek Haru. Ditambah senjata klan Amev yang seharusnya menargetkannya malah mengenai orang lain. Atau memang sengaja ditargetkan ke orang yang terlihat paling lemah. Mungkin saja itu bagian dari teror untuk mengancam orang-orang di sekitar Shinkai.
“Tapi, aku masih berpikir tentang pelaku penyerangan itu. kita beruntung karena hanya ada satu serangan. Istriku sampai tidak mengizinkanku untuk bekerja karena khawatir aku terluka.”
Shinkai masih jadi penyimak tanpa menatap. Jika obrolan biasa, maka ia bisa saja bergabung untuk mengobrol. Namun itu adalah hal lain.
“Wajar saja. Tapi jika memang ada pemberontak lagi yang meresahkan kita, maka penjaga ketertiban akan sampai dalam waktu dekat. Tenang saja.”’
Seorang pria gondrong berlari kencang menuju tempat penambangan. Ia datang terlambat.
“Ke mana saja, kau? Tidak ada puasnya tidur seperti koala,” sapa salah satu pekerja.
“Penambangan utara. Ada tiga orang luka-luka akibat serangan senjata tajam seperti yang menimpa kakek Haru. Juga penambangan timur. Ada dua korban luka-luka,” jelas si rambut gondrong.
Telinga Shinkai seolah mendidih oleh informasi itu. Baru saja ia ingin izin pergi agar bisa berdiskusi dengan Taza, tiba-tiba sosok rambut terlihat di balik pohon di hutan. Tanpa berpikir panjang, diam-diam Shinkai melesat tanpa diketahui. Beruntung saat ini, ada banyak pekerja yang membuatnya tidak akan disadari ketika pergi.
Dari balik pagar pembatas hutan, Shinkai berjalan mengendap. Anehnya, saat jarak Shinkai sudah dekat. Orang itu tidak juga bergerak. Tidak juga terlihat hendak menyerang. Hanya seperti orang yang sedang bermain petak umpet, yakni menunggu untuk ditemukan.
Itu membuat Shinkai berjalan seperti biasa. Ia yakin bahwa orang itu memang sengaja untuk ditemukan.
Jarak setengah meter. Shinkai menginjak ranting. Seseorang itu keluar dan menunjukkan wajahnya.
Shinkai menggigit bibir setelah mengetahui sosok di baliknya, “Hoshi!?”
Pemuda dengan kulit putih pucat, wajah kecil dan postur yang sedikit lebih pendek dari Shinkai dan Taza. Di antara merek bertiga, Taza adalah yang paling tinggi, lalu disusul Shinkai dan di urutan terakhir adalah Hoshi. Wajah Hoshi tergolong lebih muda dibanding usianya. Sekalipun mereka bertiga sepantaran. Hoshi sudah tidak menganggap dirinya sebagai teman Shinkai dan Taza sejak perbedaan pendapat pasca pemberontakan besar yang dikenal dengan sebutan Tragedi Darah Soka.
Terlihat sebuah pena di saku Hoshi. Juga kertas kosong yang ada pada genggamannya.
“Mau menjelajahi hutan lebih dalam lagi? Kurasa kau tidak mau jika sampai para pekerja itu mencurigaimu sebagai teroris dan membuatmu kehilangan pekerjaan,” ujar Hoshi.
Telapak tangan Shinkai tergenggam, “Apa yang kau inginkan?”
“Entahlah. Selama ini tanganku sangat bersih. Kau tahu, terkadang manusia menginginkan hari yang kotor. Jadi—”
Srettt.
Bahu Shinkai terkena sebetan pisau Hoshi. Darah mengalir.
Pisau. Bukan senjata klan Amev.
“Percaya diri sekali kau bahwa aku tidak akan membunuhmu,” ucap Hoshi.
“Justru aku tidak yakin bahwa senjata tumpulmu itu akan melukaiku lebih banyak lagi,” balas Shinkai dengan senyuman miring.
Hoshi balas tersenyum miring. Lantas membuang pisau kecilnya.
“Aku kecewa karena kau tidak membawa akan pembelah berlian itu.”
Kemudian mereka berlari ke dalam hutan yang lebih dalam hingga tidak terlihat lagi tempat penambangan berlian.
Sambil berlari, mereka bersahut-sahutan dengan masing-masing kalimat intimidasi. Setelah menemukan tempat yang tepat, mereka berhenti dan memasang posisi saling berhadapan.
WUSHHH.
Hoshi mulai melesat menyerang Shinkai. Pukulan kuat berhasil ditangkis oleh Shinkai. Kemudian Shinkai membalas dengan tendangan ke arah belakang untuk mengenai pungung Hoshi. Pemudan putih pucat itu menghindar dengan menunduk sampai sikutnya mengenai tanah. Jual beli serangan dilancarkan. Sejauh ini, keduanya sama-sama unggul.
BUKKK.
Pukulan pertama yang berhasil dilancarkan oleh Shinkai. Darah segar keluar dari ujung bibir Hoshi.
BUKKK.
Pukulan kedua. Tepat mengenai bagian yang sama. Bagian bibir Hoshi yang terluka.
“Jurus andalan lamamu. Menambah luka pada bagian yang terluka,” ujar Hoshi menahan perih.
DHUAKKK.
Serangan balasan berupa tendangan ke arah punggung Shinkai. Seketika membuat Shinkai terjerembap jatuh ke depan. Hoshi memanfaatkan kesempatan dengan menyikut kepala Shinkai hingga dahinya mengenai batu. Dahi bagian kanan Shinkai berdarah.
Dengan kepala pusing, Shinkai berusaha bangkit dengn cepat sebelum Hoshi melancarkan serangan berikutnya.
“Sengaja mengarahkan pada area berbatu. Sungguh cerdik,” ucap Shinkai sembari memegang darah pada dahi.
Senyuman saling meremehkan pada keduanya hilang sudah. Berganti dengan wajah serius untuk menghadapi dengan kekuatan sebenarnya pada masing-masing. Sehingga atmosfer pertarungan terasa lebih mencekam.
Tiba-tiba langit mendung. Gerimis turun dalam sekejap. Lantas berganti menjadi hujan deras. Bagian tubuh yang terluka tentu saja akan perih. Namun, itu bukan masalah besar bagi dua petarung seperti mereka. Duel satu lawan satu tidak sebanding dengan pemberontakan kala itu.
Jual-beli serangan terus terjadi. Luka demi luka kian bertambah. Hingga sampai pada tahap di mana mereka sudah hampir mencapai batas.
“Penglihatanmu pasti sudah buram. Aku akan menjadi pengecut di antara pengecut jika aku terus menyerangmu,” ujar Shinkai dengan napas tersengal.
“Kau yang sudah sesak napas, heh. Ini tidak akan berakhir sampai satu di antara kita terbunuh.”
Pertarungan terjeda sejenak. Belum ada yang memulai lagi. Mereka sama-sama mengistirahatkan raga sejenak. Ditambah gigil tak terhindarkan dari sang hujan. Dada naik dan turun. Mengatur napas masing-masing. Masih dengan posisi tangan terkepal di depan.
“Hei, Hoshi.”
“Apa!”
“Apa yang akan kau dapatkan jika berhasil membunuhku?”
“Entahlah. Mungkin aku akan menggantikan posisimu di toko bunga itu.”
“Kalau begitu aku akan membiarkanmu melakukannya.”
Hoshi tertawa getir.
“Bagaimana jika apa yang aku dapatkan setelah membunuhmu adalah membuat orang-orang di toko bunga itu menyusulmu ke dunialain?” tanya Hoshi.
“Maka sebelum kau sempat bergerak lagi, kepalamu akan kupastikan hilang dari tempatnya.”
Guyuran hujan menjadi latar suara. Keduanya jelas sudah tidak sanggup lagi untuk bertarung.
“Kau selalu memberikan pilihan yang bertolak belakang.” Hoshi berkata.
“Ya, dan kau selalu iri dengan kebahagiaan orang lain.”
“Karena kebahagiaanku adalah merusak kebahagiaan orang lain, terutama kau.”
Tiba-tiba, Hoshi lemas dan jatuh ke tanah. Ia merebahkan tubuh dan menutup mata, membiarkan bulir-bulir air hujan mengetuk pintu matanya.
Shinkai menurunkan kepalan tinjunya. Lantas mundur beberapa langkah dan terduduk.
“Maaf, apakah kau baik-baik saja?” ucap seseorang dari atas.
Shinkai melihat ke atas pohon yang lumayan tinggi. Karena fokus bertarung dan tahu bahwa Hoshi benar-benar ingin bertarung satu laan satu sehingga ia tidak perlu khawatir jika Hoshi melakukan cara licik dengan membawa orang lain. ia tidak menyadari bahwa ada rumah pohon di sana.
Tampak seorang gadis muda yang sepertinya sedikit lebih tua dibanding Neptune. Rambutnya sebahu dan hitam legam. Ada hiasan rambut berbentuk daun hijau kecil yang dikenakan.
Gadis itu berjalan ke arah Hoshi dan menggoyang-goyangkan tubuh Hoshi.
Dalam beberapa detik, Hoshi langsung bangkit dan mencekik leher gadis itu.
“HEI, APA YANG KAU LAKUKAN?” seru Shinkai yang dilanjutkan dengan berlari ke arah sana.
“Kau butuh ini? Ambil saja,” ucap Hoshi setelah membuat gadis itu pingsan.
Ia langsung berlalu dengan kaki pincang. Shinkai membiarkannya berlalu.
“Sial, dia memberikanku beban baru,” ujar Shinkai sambil melihat gadis yang berbaring itu.