Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat Kondisi Andreas
Di meja panjang berlapis linen putih itu, hidangan sarapan tersaji rapi: roti brioche yang baru keluar dari oven, selai stroberi buatan rumah, omelet keju yang harum, serta semangkuk kecil buah‑buahan segar. Mistiza duduk seperti biasa di kursi kayu berukir, berusaha menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi bayang‑bayang malam tadi—bisikan Pinka tentang luka tembak Andreas, bayangan sosok lelaki itu terbaring tak berdaya.
Baru tiga suapan omelet menyentuh lidahnya, terdengar langkah kaki teratur mendekat. Richard, kepala pelayan tua yang selalu tampak tegap dalam setelan hitamnya, berhenti di ujung meja. Wajahnya yang biasanya datar kali ini menampakkan kerut cemas di antara alis.
“Selamat pagi, Nona Mistiza,” sapanya sembari sedikit membungkuk hormat.
“Pagi, Richard.” Mistiza menegakkan punggung, menunggu kelanjutannya.
“Tuan Andreas memerintahkan—” Richard berdeham pelan, seolah menata kalimat. “Memerintahkan agar Nona membawakan sarapan ke kamar beliau pagi ini.”
Garpu di tangan Mistiza terhenti di tengah udara. Seketika dadanya terhuyung oleh rasa dejavu kuat—ingatan beberapa minggu silam, ketika ia dipanggil untuk membawakan segelas bourbon ke ruang biliard. Saat itu pertemuan singkat dengan Andreas melahirkan percakapan sensitif penuh tensi, meninggalkan getar takut sekaligus penasaran di relung hatinya. Kini, ia kembali diminta menghadap, namun dalam keadaan berbeda.
Ia menarik napas panjang. “Baik,” jawabnya akhirnya. Suara itu terdengar mantap, meski jari‑jarinya sedikit bergetar sewaktu meletakkan garpu. “Siapkan saja apa yang dia minta. Aku akan mengantarkannya.”
Sekilas, Richard tampak lega. “Terima kasih, Nona. Saya akan menunggu di depan pintu untuk mengantar Nona ke kamar Tuan Andreas, jika berkenan.”
"Silahkan habiskan terlebih dahulu sarapan anda, saya akan datang beberapa menit lagi"
Mistiza kembali melahap makanannya yang kini terasa berbeda, padahal tadi cukup bisa dinikmati, namun sekarang justru terasa hambar di lidahnya.
Beberapa menit kemudian, Mistiza berdiri menatap nampan perak yang telah ditata khusus oleh koki pribadi sang tuan rumah. Di atasnya terdapat semangkuk bubur gandum lembut bertabur kacang almond cincang, dua potong roti panggang tipis, potongan buah pir segar, dan secangkir teh chamomile hangat, uapnya mengepul pelan. Segalanya tampak bergizi namun ringan—menu yang jelas dipilih dokter untuk seorang pasien pascaoperasi. Koki menambahkan serbet linen bersulam huruf A emas di sudut nampan, lalu menyerahkannya kepada Mistiza.
Nampan itu terasa lebih berat daripada bobot sebenarnya, seolah memuat juga beban emosi yang campur aduk. Dengan kedua tangan, ia mengangkatnya setinggi pinggang. Richard menunggu di ambang pintu dapur, kemudian memimpin jalan menyusuri lorong marmar berkarpet burgundi. Langkah mereka bergema lembut, bersaing dengan detak jantung Mistiza yang makin cepat.
Di sepanjang lorong, beberapa pelayan menepi memberi ruang, wajah‑wajah mereka menunduk hormat namun tampak letih; beberapa masih memegang gulungan perban, sebagian membawa botol infus cadangan. Aroma samar alkohol medis bercampur wewangian lilin lavender yang terbakar di sudut‑sudut koridor. Suasana itu ganjil—mewah sekaligus mencekam.
Richard berhenti di hadapan sebuah pintu ganda kayu mahoni di lantai tiga, pintu yang selama ini nyaris selalu tertutup rapat: kamar pribadi Andreas. Ukiran pola baroque menghiasi panelnya, gagang pintu perunggu berkilau redup di bawah cahaya lampu dinding. Kepala pelayan itu mengetuk dua kali dengan buku‑buku jarinya—Tok Tok—suara berat, terukur. Tanpa menunggu jawaban, ia memutar gagang dan membuka sedikit, lalu menoleh pada Mistiza.
“Silakan, Nona. Saya akan berjaga di luar,” ucapnya pelan.
Mistiza mengangguk. Ia melangkah masuk seorang diri. Pintu menutup perlahan di belakangnya, menyisakan bunyi klik halus yang terdengar seperti segel tak terlihat.
Kamar itu luas, langit‑langitnya tinggi bertatahkan ornamen stuko berwarna gading. Tirai beludru hijau tua terbuka separuh, membiarkan cahaya pagi menelusup melalui jendela setinggi tubuh manusia, menebarkan rona keemasan di perabot gelap. Di tengahnya berdiri sebuah ranjang kanopi berukir, tirai tipis pudarnya bergelayut lembut. Di atas ranjang, Andreas terbaring bersandar pada beberapa bantal besar. Dadanya dibalut perban putih bersih, sebagian terlihat dari kemeja tidur sutra abu‑abu yang tidak dikancingkan penuh. Lengan kirinya diinfus; jarum dan selang bening meneteskan cairan obat ke pembuluh nadi.
Mata Andreas semula terpejam seolah masih terlelap, namun suara langkah Mistiza membuat kedua kelopak itu perlahan membuka. Tatapan kelamnya terfokus pada sosok wanita yang kini berdiri beberapa meter di tepi karpet Persia, membawa nampan sarapan. Hening panjang merentang, hanya terputus oleh detik jam antik di atas meja kerja di sudut ruangan.
Mistiza meneguk saliva. Sudah satu minggu ia tak melihat lelaki ini—sosok yang bagai bayangan menakutkan dalam benaknya. Kini, di hadapannya, Andreas terlihat rapuh; pucat namun tetap memancarkan aura dominan yang sukar dijelaskan.
Ia melangkah mendekat, meletakkan nampan perlahan di meja samping ranjang. Porselein berderak pelan. Setelah memastikan semuanya stabil, ia menegakkan tubuh, merapatkan kedua tangan di depan gaun, lalu membuka suara dengan intonasi hati‑hati.
“Aku..... aku turut berdukacita atas apa yang baru saja menimpamu” ujarnya gugup namun tetap jelas.
Glek!
"Semoga.... Kau cepat kembali pulih"
Andreas tidak langsung menanggapi. Ia mengamati wajah Mistiza, seakan mencari makna di balik kata‑kata sopan itu. Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar parau namun masih memuat ketegasan yang khas.
“Kau senang melihatku dalam kondisi seperti ini?” tanyanya singkat, kedua alisnya bertaut lemah.
Pertanyaan itu menampar udara, membuat dada Mistiza tercekat. Ia segera menggeleng. “Tidak, tentu saja tidak. Aku—aku tidak akan pernah senang melihat siapapun menderita.”
"Tentu kau senang, sebab aku tak bisa menyiksamu dalam keadaan seperti ini" tutur Andreas.
Ya, tapi itu hanyalah bonus. Andreas bisa saja menyuruh bawahannya untuk menyiksa Mistiza. Sehingga bagi wanita itu, sakit dan sehat Andreas tak akan menjamin keselamatannya.
"Bukankah sudah aku katakan kalau aku turut berdukacita? Bahkan aku juga mendoakan kesembuhan mu" ucap Mistiza mengulang.
Andreas tak membalas ucapan wanita di hadapannya ini, tetapi dia terus menatap ke arah Mistiza, entah sedang berpikir untuk menyusun kata atau sedang menahan emosi yang tidak bisa dia salurkan.
"Makanannya masih hangat, sebaiknya cepat dimakan" kata Mistiza mencoba mengusir rasa gugup karena Andreas terus memandanginya.
"Aku permisi dulu..."
Mistiza pun berniat keluar dari ruangan itu, dia tidak tahan jika harus terus berhadapan dengan Andreas yang bahkan menganggap ucapannya adalah suatu kebohongan, padahal Mistiza benar-benar tulus menyampaikan rasa sedihnya.
Baru beberapa langkah Mistiza berjalan Andreas sudah memanggilnya lagi.
"Apa kau bodoh?" serunya langsung memaki.
Mistiza mencoba berbalik untuk melihat apa yang salah.
"Bagaimana aku bisa maka dengan kondisi begini?!"
Mistiza menaikkan satu alisnya ke atas, mencoba berpikir apa yang harus dia lakukan, Richard hanya mengatakan jika ia cuma perlu mengantarkan sarapan untuk Andreas.
"Lalu... Aku harus bagaimana?" tanya Mistiza kebingungan.
"Suapi aku!"
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu