NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24: Latihan

Daniel, penjaga desa, menyilangkan tangan dan tersenyum tipis. Tatapannya tenang namun tajam, seperti seseorang yang telah melewati terlalu banyak pertempuran untuk sekadar terkesan. “Tidak buruk,” katanya pelan, nada suaranya berat seperti tanah. “Aetheron memang kuat. Potensi mentahnya besar. Tapi itu tidak cukup.”

Maelon menoleh padanya, masih menarik napas panjang. Keringat mengalir di pelipisnya, membasahi kerah bajunya yang tipis.

“Kau tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan doktrinamu,” lanjut Daniel. “Energi murni itu seperti pedang besar—menakutkan, tapi sia-sia jika tangan yang menggenggamnya gemetar. Dalam pertempuran, tubuhmu adalah fondasi. Kekuatan tanpa tubuh yang terlatih hanya akan membunuh dirimu sendiri.”

Ia melangkah maju ke tengah ladang pelatihan. Debu naik dari tanah yang retak. “Sekarang,” katanya sambil membuka posisi bertahan, “serang aku. Gunakan seluruh tenagamu. Jangan ragu.”

Maelon menelan ludah. Tombak di tangannya terasa rapuh, terlalu ringan, terlalu usang untuk perintah sebesar itu. Tapi ia menggenggamnya lebih erat. Dengan napas panjang, ia mulai berlari maju, langkahnya belum sepenuhnya mantap. Ia mengangkat tombaknya tinggi dan mengayunkannya ke arah tubuh Daniel dengan seluruh sisa kekuatan yang dimilikinya.

Dentum.

Tombaknya menghantam tubuh Daniel—dan seketika terpental ke samping seperti menabrak batu. Maelon tersentak mundur, matanya membelalak. “Apa…?”

Tubuh Daniel tidak bergerak sedikit pun. Ia bahkan tidak mundur selangkah. Pukulan itu tidak meninggalkan bekas. Tidak ada luka. Tidak ada goresan. Hanya gema dentuman kayu yang terpantul dari otot yang sekeras baja.

“Tubuhmu masih kaku,” kata Daniel, suaranya datar. “Gerakanmu bisa ditebak. Kau menyerang seperti orang yang belum pernah bertarung untuk hidupnya.”

Maelon menarik napas, perlahan. Ada panas di dadanya—bukan kemarahan, tapi rasa tertantang, rasa bahwa ada gunung yang belum bisa ia daki. Daniel melangkah mendekat, lalu menunjuk dadanya sendiri.

“Pukul aku lagi. Tapi kali ini, jangan hanya gunakan tenaga. Gunakan niat. Gunakan tubuhmu. Pusatkan semuanya.”

Ladang itu menjadi sunyi. Hanya suara napas Maelon dan desir angin yang bergerak di antara mereka. Di hadapan tubuh yang tak tergoyahkan itu, Maelon tahu—latihan ini bukan hanya soal kekuatan… ini adalah awal dari menaklukkan dirinya sendiri.

Maelon tak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, lalu menyerang kembali.

Tombaknya diangkat, diayunkan ke arah sisi tubuh Daniel—ditangkis. Ia memutar, mencoba menyerang dari arah bawah—dihindari. Ia menusuk lurus ke depan, memusatkan kekuatannya di ujung tombak yang rapuh—ditangkis lagi, tanpa sedikit pun perlawanan dari tubuh batu itu. Daniel hanya bergeser ringan, matanya terus mengamati, menghitung, menilai.

Namun Maelon tidak menyerah.

Langkah-langkahnya yang semula ragu mulai menemukan ritme. Nafasnya yang terengah mulai teratur dalam ketegangan. Setiap ayunan, setiap tusukan, setiap perputaran tubuhnya—meski masih jauh dari sempurna—mulai memperlihatkan kemauan untuk belajar. Ia bergerak seperti seseorang yang tahu tubuhnya belum cukup tangguh, tapi menolak untuk dikuasai kelemahan itu. Tanah di bawah kakinya mulai berjejak jejak luka, dan peluh yang mengucur dari dahinya kini membasahi alis, pipi, dan dagu.

Daniel terus berdiri tegap, tidak menyerang, hanya menahan, menguji, membentuk.

Waktu terus berjalan. Matahari perlahan naik lebih tinggi, dan cahaya pagi yang lembut berganti jadi terik yang menyengat. Nafas Maelon mulai kembali terputus. Langkah-langkahnya mulai goyah. Tangannya yang menggenggam tombak mulai gemetar tak tertahan. Tapi dia terus melangkah, terus menyerang. Tombaknya sudah retak di bagian gagangnya, namun tetap ia ayunkan. Sepasang matanya mulai merah karena kelelahan, tapi masih menyala dengan sisa semangat yang tersisa.

Tubuhnya seperti hendak ambruk setiap kali ia bergerak, namun kakinya menolak menyerah. Seolah semangat yang membara itu lebih keras dari rasa nyeri di sendi-sendi yang terentak dan tulang yang bergemeretak.

Hingga akhirnya, di serangan ke sekian—tombaknya terpeleset dari genggaman dan jatuh ke tanah. Maelon mengayun tangan kosongnya untuk satu serangan terakhir, hanya untuk menyentuh dada Daniel tanpa daya. Napasnya terputus, tubuhnya pun ikut roboh, bersimpuh di tanah yang keras dan kering, dadanya naik-turun dengan napas yang tertahan-tahan.

Daniel menunduk, menatapnya. “Kau jatuh,” katanya perlahan.

Maelon menggertakkan gigi, mencoba berdiri kembali, lututnya gemetar. Tapi tubuhnya tak mau bangkit lagi.

Daniel tersenyum tipis. “Tapi kau tidak menyerah. Itu cukup untuk hari ini.”

Maelon hanya mengangguk pelan, tubuhnya sudah terlalu lelah untuk menjawab. Matanya menatap langit yang membakar di atas sana, dan di balik semua keletihan itu, terselip satu perasaan—bukan kemenangan, bukan bangga… tapi sesuatu yang lebih halus, lebih dalam: bahwa dirinya, untuk pertama kalinya, sedang benar-benar bertumbuh.

Daniel berjalan mendekat, suaranya tenang, namun dalam, seperti batu yang bicara di tengah aliran sungai yang lambat. Ia berdiri di samping Maelon yang masih berlutut, tangannya menyentuh bahu bocah itu—tidak keras, tapi mantap, seperti mencoba menyalurkan sedikit kekuatan yang ia miliki ke tubuh lelah di hadapannya.

“Selama kau tidak menyerah,” katanya perlahan, “kau akan bisa menjadi kuat.”

Angin berhembus ringan dari ladang, membawa aroma tanah yang hangus oleh jejak langkah dan peluh perjuangan. Jerami di kejauhan bergoyang pelan, dan langit mulai beranjak menuju siang, cahaya putihnya menyilaukan, tapi hangat.

Daniel menatap ke depan, ke arah tanah latihan yang telah dipenuhi bekas-bekas tapak kaki Maelon—garis, retakan, dan jejak yang membentuk cerita kecil tentang upaya.

“Usaha…” ucap Daniel lagi, suaranya kali ini lebih pelan, seperti gumaman kepada angin, “…tidak akan pernah mengkhianati hasil.”

Maelon mendengar kata-kata itu, samar dalam denyut darahnya yang masih berdetak cepat. Ia masih terengah, tapi kepalanya sedikit terangkat, menatap pria itu dari balik rambutnya yang basah oleh keringat.

Daniel menoleh, dan menambahkan dengan nada yang lebih serius. “Dan jangan khawatir. Semakin tinggi tingkat Lapsus kekuatan Doctrina-mu, semakin kuat pula kau menjadi. Bukan hanya kekuatanmu yang bertambah… tapi tubuhmu pun ikut berubah. Fisikmu akan menguat—tenaga, daya tahan, bahkan kemampuanmu untuk memulihkan diri. Semuanya akan bertumbuh bersama kehendakmu.”

Ia mundur satu langkah, menatap Maelon dengan tatapan penuh keyakinan.

“Namun semua itu dimulai dari satu hal, Maelon—keputusan untuk tidak berhenti.”

Suasana hening sesaat. Hanya desiran angin dan napas Maelon yang masih berat terdengar mengisi udara.

Dan di balik tubuh yang masih gemetar, Maelon tahu… kata-kata itu akan tertinggal lama dalam dirinya. Sebuah penanda. Sebuah fondasi. Bahwa kekuatan sejati bukan sekadar tentang menghancurkan musuh, tapi tentang keteguhan untuk terus berdiri, bahkan saat tubuhmu memintamu untuk menyerah.

Langit menjelang senja menggantung redup di atas desa, memandikan tanah dan reruntuhan dengan cahaya oranye yang lelah. Maelon berjalan perlahan melewati lorong-lorong sempit dan tanah becek yang masih menyimpan jejak langkah siang tadi. Tubuhnya terasa berat, tiap sendi seperti memberontak saat digerakkan, dan matanya nyaris terpejam oleh letih yang menumpuk dari latihan barusan. Namun ada semacam kepuasan kecil mengendap di balik rasa sakit itu—ia tahu dirinya berubah, meski perlahan, meski baru setitik.

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
GrayDarkness: 10/10
total 1 replies
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!