Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad, Ketulusan dan Cinta
Sudah empat tahun berlalu. Heinrich, Seraphina, Liliana, dan Tiara kini telah menjadi sahabat dekat. Meskipun berada di kelas yang berbeda, mereka selalu menghabiskan waktu bersama saat jam istirahat—belajar, berlatih, atau sekadar bermain.
Setelah kelulusan, mereka merayakannya dengan makan malam bersama. Heinrich dan Liliana menikmati makanan mereka dengan anggun, sementara Tiara makan dengan porsi kecil, menyadari bahwa makanan yang mereka pesan cukup mahal. Berbeda dengan Seraphina, yang melahap makanannya dengan lahap seolah belum makan selama berhari-hari.
"Hei, Cebol, makanlah pelan-pelan. Aku tidak akan merebut makananmu, kau tahu," ujar Heinrich dengan nada menggoda.
"Behwihik! Ihni makwanakwu, nggak adah yang boweh nyentuhnya!" ujar Seraphina dengan mulut penuh makanan, suaranya teredam kunyahan daging.
Heinrich menaikkan alis, menahan tawa. "Kau bilang apa, Cebol? Aku tidak mengerti bahasa kunyahan."
Seraphina langsung menelan makanannya dengan susah payah. "Hfff... Aku bilang... burp... Ugh, pokoknya jangan ganggu makananku!"
Heinrich hanya tersenyum jahil, lalu pura-pura mengulurkan tangan ke piring Seraphina.
"GRRRHHH!!" Seraphina menunduk dalam, melindungi piringnya seperti seekor binatang buas menjaga buruannya.
"Kau sentuh, KAU M*TI!!" serunya dengan mulut masih penuh makanan. Ia mengacungkan tulang ayam ke arah Heinrich seperti menggenggam pedang, seolah siap bertarung demi mempertahankan makanannya.
Heinrich tertawa kecil melihat tingkahnya. "Santai saja, Cebol. Aku tidak akan mencuri makananmu... mungkin."
Seraphina langsung mengunyah lebih cepat, matanya waspada seperti seorang prajurit di tengah medan perang. "Mmmpphh!!" Ia bahkan tidak bisa bicara dengan jelas, tapi ekspresinya sudah cukup untuk memperingatkan Heinrich agar tidak macam-macam.
Heinrich tersenyum iseng. "Sepertinya enak..." katanya sambil cepat-cepat mengambil paha ayam dari piring Seraphina saat ia lengah.
"HEI! BAJ*NGAN!!! HENTIKAN!!!" Seraphina berteriak panik.
Tanpa ragu, Heinrich langsung menggigit dan mengunyah paha ayam tersebut dengan santai.
"TIDAAAAKKK!!! DASAR IBLIS!!!" Seraphina hampir menangis.
Melihat wajah Seraphina yang penuh kekecewaan, Heinrich hanya terkekeh pelan, lalu melambaikan tangan memanggil pelayan.
"Pelayan, tolong bawakan satu porsi daging sapi panggang wagyu untuknya," ucapnya santai, sambil menunjuk ke arah Seraphina yang masih meratap sedih.
Seketika, ekspresi gadis itu berubah drastis. Mata yang sebelumnya berkaca-kaca kini berbinar penuh harapan, seperti bintang yang bersinar terang di malam hari.
Benar saja, begitu pelayan mengangguk dan pergi untuk mengambil pesanannya, Seraphina langsung menggenggam tangan Heinrich erat, seolah pria itu adalah pahlawan yang baru saja menyelamatkannya dari kehancuran.
"Aku mencintaimu, Heinrich!" serunya penuh semangat, suaranya hampir terdengar dramatis. Meski lebih seperti pernyataan terima kasih karena telah ditraktir daging mahal dibandingkan pengakuan cinta yang tulus.
Heinrich terbatuk kecil, tiba-tiba merasa canggung. Wajahnya sedikit memerah, dan ia berusaha mengalihkan pandangan. "I-itu... bukan apa-apa. Ma-makanlah yang banyak, supaya kau tidak cebol lagi, Sera..."
Seraphina tersenyum geli melihat reaksinya. Dengan ekspresi puas, ia bersandar santai di kursinya. "Unyaa~ Iya, iya, aku tahu," balasnya, suaranya sedikit manja.
Di sudut meja, Liliana tersenyum kecil, namun di balik senyuman itu, perasaannya campur aduk. Matanya secara tak sadar terus tertuju pada Seraphina yang dengan ceria menggenggam tangan Heinrich.
Ia tahu betul bahwa ucapan "Aku mencintaimu" tadi hanyalah ekspresi kegembiraan karena ditraktir, bukan pengakuan perasaan yang sebenarnya. Namun, entah mengapa, hatinya terasa nyeri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal—sebuah perasaan asing yang perlahan merayap di dalam dadanya.
Cemburu...?
Liliana menggigit bibirnya pelan. Ia tak ingin mengakuinya, tapi hatinya berkata lain. Tatapan Heinrich yang penuh perhatian pada Seraphina, cara mereka bercanda tanpa canggung, dan bagaimana gadis itu selalu bisa membuat Heinrich tersipu... semuanya menusuk perasaannya lebih dalam dari yang ia sadari.
Di sisi lain, Seraphina yang tengah menikmati momen itu diam-diam melirik Liliana. Ia memperhatikan gerak-gerik gadis itu yang sesekali mencuri pandang ke arah Heinrich, lalu segera mengalihkan tatapan begitu mereka hampir bertemu pandang.
Ohoo~ sepertinya ada yang sedang cemburu... pikir Seraphina, sudut bibirnya tertarik membentuk seringai kecil.
Namun, bukannya merasa puas, entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang terasa tak nyaman. Seolah, di balik rasa jahilnya, ia sadar bahwa ini bukan hanya sekadar permainan perasaan biasa.
Setelah selesai makan, mereka kembali ke asrama masing-masing.
Seraphina yang sudah kekenyangan berjalan sempoyongan dengan tangan memegangi perutnya. "Aduh... perutku... aku terlalu banyak makan..."
Heinrich menatapnya, sedikit khawatir. "Ma-mau kubantu?" tanyanya dengan sedikit canggung.
"Ah~ tidak usah, kita kan beda asrama. Aku tinggal dengan Tiara, jadi dia yang akan mengantarku. Lagipula, lebih baik kau antar Liliana saja ke asramanya."
Tiara terkekeh sebelum menggendong Seraphina ke punggungnya. "Lihatlah dia, sudah seperti anak kecil yang ingin segera pulang dan tidur."
Heinrich menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah... sampai jumpa besok."
Seraphina mengangkat tangan dengan lemas. "Dah—burp!" Hampir saja makanan mahal itu keluar dari mulutnya. "Ugh... aku harus tidur sebelum menyesal..."
Liliana hanya menatap interaksi mereka dengan tatapan yang sulit diartikan, hatinya terasa sedikit sakit. Tapi ia menggeleng pelan, menepis perasaan itu.
Tiga tahun telah berlalu sejak mereka lulus dari akademi. Dalam waktu yang singkat itu, Heinrich, Seraphina, Liliana, dan Tiara telah menjadi petualang sukses dan mencapai peringkat S. Mereka dikenal sebagai salah satu tim terkuat di guild, dihormati karena kekuatan, kerja sama, dan keberanian mereka dalam menghadapi berbagai misi berbahaya.
Saat itu, Tiara sedang kembali ke kampung halamannya, sementara Heinrich, Seraphina, dan Liliana tengah memilih misi yang akan mereka ambil.
Namun, tepat sebelum mereka keluar dari guild, kabar buruk datang. Sebuah misi yang nyaris mustahil muncul—seekor naga api raksasa telah menyerang Drachenburg, kampung halaman Heinrich, membakar kota dengan napas apinya yang mengerikan. Tanpa ragu, mereka segera bergegas menuju kota yang tengah dilanda kehancuran.
Api berkobar di langit, menerangi kegelapan malam dengan warna merah yang mengerikan. Jeritan penduduk terdengar di mana-mana.
"Kita harus menghentikan ini sebelum kota ini menjadi abu!" seru Heinrich, mencabut pedangnya dengan tatapan penuh tekad.
Seraphina mengepalkan tangannya, matanya menyala dengan semangat bertarung. "Kita serang bersama! Aku akan menyerang dari depan, kau dari kanan, dan Liliana di belakang untuk dukungan!"
Liliana mengangguk, meskipun wajahnya terlihat pucat. "Aku akan memberikan perlindungan dan memperkuat serangan kalian dengan sihirku."
Naga itu mengeluarkan raungan mengerikan sebelum meluncurkan bola api raksasa ke arah mereka.
"AWAS!" Heinrich menarik Seraphina ke samping, sementara Liliana dengan cepat menciptakan penghalang sihir. Bola api menghantam penghalang itu, tetapi kekuatannya terlalu besar—penghalangnya retak dan meledak, membuat Liliana terpental keras ke belakang, menabrak dinding bangunan.
"Liliana!" Seraphina berteriak, tetapi naga itu tidak memberinya waktu untuk berpikir. Dengan satu kibasan ekor, Seraphina ikut terpental ke tanah.
Heinrich menatap kedua rekannya yang terkapar, lalu kembali menatap naga itu. Tubuhnya gemetar—bukan karena takut, tetapi karena kemarahan yang membara.
Ia menggenggam sesuatu di sakunya—sebuah cincin.
Setelah semua ini selesai... aku... akan melamarnya.
Mengabaikan rasa sakit, ia berlari ke depan, pedangnya berkilat di bawah cahaya api. Dengan kekuatan terakhir mereka, Seraphina dan Heinrich bertarung dengan segenap jiwa raga. Seraphina menebas kaki naga dengan kekuatan luar biasa, membuatnya kehilangan keseimbangan, sementara Heinrich melompat ke udara, menancapkan pedangnya tepat di mata monster itu.
Raungan naga mengguncang langit, menggetarkan bumi di bawahnya, sebelum akhirnya tubuh raksasanya tumbang dengan dentuman dahsyat. Asap dan debu membubung ke udara, menyelimuti medan pertempuran yang kini sunyi.
Heinrich berdiri terhuyung, pedangnya masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Tubuhnya penuh luka, napasnya berat dan tersengal, tapi matanya tetap tertuju pada satu orang.
Seraphina.
Di antara puing-puing dan bara api yang masih menyala, Seraphina berdiri dengan tubuh yang tak kalah terluka. Nafasnya memburu, jubahnya koyak, dan darah menodai wajahnya, tapi ia tetap memancarkan cahaya yang selama ini selalu membuat Heinrich terpesona.
Heinrich mengepalkan tangannya, merasakan sesuatu di dalam sakunya. Ia menatap Seraphina dengan mata yang penuh keteguhan.
"Seraphina..." suaranya parau, namun jelas.
Seraphina menoleh, sedikit terkejut melihat ekspresi serius di wajah Heinrich.
Dengan tangan gemetar, Heinrich mengeluarkan sebuah cincin perak dari sakunya, kini berkilau dalam cahaya api yang masih menyala di sekitar mereka. Ia menggenggamnya erat, seakan itu adalah hal paling berharga yang pernah ia miliki.
"Aku ingin menikah denganmu."
Seraphina terdiam, matanya membelalak, napasnya yang berat seakan terhenti.
Ia bisa merasakan sesuatu yang hangat menjalar di dadanya, sesuatu yang lebih membakar daripada api naga yang baru saja mereka hadapi.
Namun, sebelum ia bisa menjawab, pandangannya tanpa sadar beralih ke Liliana, yang terbaring lemah di belakang Heinrich. Mata gadis itu sedikit terbuka, refleksi nyala api menari di dalamnya, sementara air mata perlahan menggenang.
Seraphina mengertakkan giginya. Ia tahu perasaan Liliana.
Dengan napas yang masih berat, ia tersenyum kecil, lalu berkata dengan suara pelan namun penuh keteguhan.
"Aku tidak akan menikah denganmu jika hanya aku yang kau pilih."
Heinrich tertegun. "Apa maksudmu...?"
Seraphina menatapnya lembut, lalu melirik ke arah Liliana yang menggenggam dadanya sendiri, menahan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan.
"Jika kau benar-benar ingin bersamaku... maka kau juga harus menikahi Liliana." Seraphina menghela napas panjang. "Aku ingin kita bertiga selalu bersama."
Liliana tersentak, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Heinrich terdiam, menatap Seraphina dengan mata yang dalam. Lalu, perlahan, senyuman muncul di wajahnya.
"Jika itu yang membuat kalian berdua bahagia," suaranya penuh ketulusan, "maka aku akan melakukannya."
Di bawah langit malam yang dipenuhi cahaya api dan bintang, di antara kehancuran dan kemenangan, janji seumur hidup pun terucap.
Namun, pernikahan mereka tidak berjalan semudah itu. Para bangsawan menentang habis-habisan pernikahan Heinrich dengan Seraphina karena statusnya sebagai rakyat biasa. Mereka hanya menyetujui pernikahannya dengan Liliana, seorang bangsawan seperti mereka.
Di hadapan dewan bangsawan, Heinrich berdiri tegak dengan tatapan tajam.
"Tanpa kami, kota ini sudah hancur," suaranya bergaung memenuhi ruangan. "Kalian hanya bisa duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Aku tidak peduli dengan aturan bodoh kalian. Ini adalah hidupku, dan aku yang akan menentukannya. Aku akan menikahi Seraphina dan Liliana!"
Heinrich kalah dalam debat. Dewan bangsawan menang dengan suara mutlak.
Meskipun dewan bangsawan menentang, meskipun seluruh kerajaan mengharapkan pernikahannya hanya dengan Liliana, hatinya telah memilih. Ia tidak akan meninggalkan Seraphina.
Di sebuah kapel kecil yang tersembunyi di pinggiran Drachenburg, hanya diterangi cahaya lilin dan sinar bulan, Heinrich berdiri di altar dengan gugup. Di hadapannya, Seraphina berjalan perlahan dengan gaun putih sederhana, tanpa perhiasan mewah, tanpa mahkota. Hanya ada bunga liar yang disematkan di rambutnya, dan senyum tulus yang selalu ia kagumi.
Liliana, Tiara dan beberapa teman dekat mereka hadir sebagai saksi, duduk di bangku kayu yang dihiasi kain putih seadanya.
"Aku mungkin bukan wanita bangsawan dengan gelar terhormat," Seraphina berkata dengan suara lembut saat ia menggenggam tangan Heinrich. "Tapi aku bersumpah akan selalu ada di sisimu, baik dalam kemenangan maupun kehancuran."
Heinrich menatapnya dalam-dalam, suaranya sedikit bergetar saat ia menjawab, "Aku tidak peduli dengan status, kekayaan, atau politik. Aku hanya ingin bersamamu, seumur hidupku."
Dengan penuh kasih, ia menyematkan cincin sederhana di jari manis Seraphina. Tidak ada sorakan, tidak ada pesta besar. Hanya janji yang tulus, diiringi harapan yang mereka bagi berdua.
Tiara bertepuk tangan pelan, sementara Liliana—yang duduk di barisan belakang—tersenyum tipis, meski ada rasa sakit yang ia sembunyikan.
Malam itu, hanya dengan pelukan hangat dan bulan yang menjadi saksi, Heinrich dan Seraphina resmi menjadi suami istri.
Berbeda dengan pernikahan Seraphina, pernikahan Heinrich dengan Liliana diadakan di istana megah milik keluarganya. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, lampu kristal bersinar terang, dan karpet merah membentang dari gerbang menuju altar.
Para bangsawan hadir dengan pakaian terbaik mereka, musik orkestra mengalun lembut, dan bunga-bunga langka menghiasi seluruh ruangan. Liliana berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih bersulam emas, mahkota berlian bertengger di kepalanya. Namun di balik kemewahan itu, hatinya diliputi kegelisahan.
Ketika ia berjalan menuju altar, matanya tanpa sadar mencari Seraphina—wanita yang dulu selalu bersamanya, kini hanya duduk di barisan belakang bersama Tiara.
Senyuman Seraphina begitu tulus, namun Liliana tahu betapa besar hati sahabatnya telah mengalah untuk dirinya.
"Heinrich," Liliana berbisik saat akhirnya mereka berdiri berdampingan, "Aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin melupakan bahwa aku juga mencintai Seraphina sebagai sahabatku."
Heinrich menatapnya dengan lembut, menggenggam tangannya erat. "Aku tahu. Aku mencintai kalian berdua, dan aku akan menjaga kalian seumur hidupku."
Saat Heinrich menyematkan cincin berlian di jarinya, gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan. Para bangsawan bersorak, merayakan pernikahan yang dianggap sempurna.
Namun hanya sedikit yang tahu bahwa pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua keluarga bangsawan—ini adalah penyatuan takdir tiga orang yang telah melewati segalanya bersama.
Dan di antara kemegahan itu, Seraphina hanya tersenyum kecil, menerima bahwa kisah mereka telah ditulis dengan cara yang berbeda dari yang ia bayangkan.
Setelah pernikahan Heinrich dan Liliana, Seraphina memilih untuk menyendiri di sebuah desa kecil bernama Ficherdorf.
Heinrich tahu betul bahwa keputusan itu bukan hal yang mudah bagi mereka bertiga. Peraturan bangsawan memisahkan mereka, memaksa Seraphina menjauh dari kehidupannya dan Liliana. Meski menyakitkan, tak ada yang bisa mereka lakukan selain menerima kenyataan.
Namun, bagaimanapun juga, Heinrich dan Liliana tak pernah melupakan Seraphina.
Heinrich bertekad untuk mengubah aturan keluarga dan sistem bangsawan, agar suatu hari, ketika Seraphina kembali, ia bisa diterima tanpa penolakan.
Namun, ada satu hal yang Heinrich tidak pernah tahu—di saat Seraphina pergi ke desa, ia tengah mengandung.
Di rumah kecil di pinggiran desa, jauh dari gemerlap dan hiruk-pikuk kerajaan, seorang gadis kecil lahir ke dunia. Seraphina menatapnya dengan penuh kasih, lalu membisikkan sebuah nama yang kelak akan menjadi bagian dari takdir mereka semua.
"Anastasia..."
Louisiana menghela napas panjang setelah menyelesaikan kisah itu. Di hadapannya, dua anak kecil mendengarkan dengan saksama, mata mereka berbinar, terhanyut dalam cerita tentang masa lalu kedua orang tua mereka.
Namun, August yang masih terlalu kecil tak mampu bertahan hingga akhir. Matanya sudah berat, kepalanya terangguk-angguk sebelum akhirnya tertidur di pangkuan kakaknya.
Anastasia tersenyum tipis, tangannya dengan lembut mengelus kepala adiknya yang tertidur.
“Terima kasih sudah menceritakannya, Bibi Louisiana,” ucapnya pelan.
Louisiana tersenyum hangat. “Sekarang kau tahu... betapa dalam cinta yang terjalin dalam kisah mereka.”
Anastasia mengangguk pelan, lalu dengan hati-hati menggendong August dan membawanya ke kamar. Ia menatap wajah adiknya yang terlelap, napas kecilnya terdengar begitu damai. Jarinya dengan lembut menyibak sedikit rambut di dahi August, sebelum berbisik lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Aku... harus melindungi mereka semua.”
Kata-kata itu meluncur dari bibirnya, namun hatinya terasa berat. Pesan sang Dewi terus terngiang di benaknya, seperti bisikan yang tak pernah reda.
"Anastasia... dalam beberapa tahun lagi, dunia ini akan tenggelam dalam kekacauan. Selamatkanlah duniaku dari kehancuran."
Sebuah permohonan… sekaligus beban yang kini harus ia pikul.
Malam terasa begitu sunyi. Hanya suara angin yang berbisik di antara dedaunan. Ia melangkah menuju jendela, membiarkan sinar rembulan menyelimuti tubuhnya yang bersandar di tepi. Matanya menerawang ke kejauhan, seolah berusaha menangkap bayangan masa depan yang belum pasti.
“Ketenangan ini… hanyalah awal sebelum badai datang.”
Jari-jarinya mengepal di tepi jendela. Ia tahu, tak ada lagi waktu untuk meragu. Jika kehancuran benar-benar akan datang, maka ia harus siap. Ia harus menjadi lebih kuat.
Untuk keluarganya.
Untuk dunia ini.
Dan untuk takdir yang telah menunggunya.