NovelToon NovelToon
Ternyata Hanya Kamu Cintaku

Ternyata Hanya Kamu Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Nikahmuda / Poligami / Romansa Fantasi
Popularitas:818
Nilai: 5
Nama Author: Dewi Adra

Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.

Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.

Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengakuan yang Tak Terduga

Alex menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap Grace dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sejak tadi, ia merasa ada yang janggal dengan cara wanita itu mengatur pertemuan bisnis ini.

"Kita bisa diskusikan ini di kantor besok," katanya, mencoba tetap profesional.

Namun, sebelum Grace sempat menjawab, Ayahnya dan Ayah Grace langsung menimpali.

"Kenapa harus besok?" kata Ayahnya. "Toh, kalian sudah sama-sama di sini."

"Benar," tambah Ayah Grace. "Tidak ada salahnya membicarakannya sekarang saja. Lebih cepat lebih baik, kan?"

Alex menghela napas, menahan kejengahan yang mulai muncul. Dari awal, ia sudah merasa aneh dengan permintaan Grace untuk bertemu di restoran, bukannya di kantor seperti pertemuan bisnis pada umumnya. Dan sekarang, semuanya seperti dirancang agar ia tidak bisa menolak.

Ia menatap Grace, yang hanya tersenyum manis tanpa berusaha membela atau memberikan alasan logis.

Akhirnya, Alex mengangguk dengan malas. "Baiklah. Tapi kita tidak perlu pergi ke restoran. Ada tempat lain yang lebih nyaman."

Grace tampak sedikit terkejut. "Bukan restoran?"

Alex menatapnya sekilas. "Aku lebih suka tempat yang tenang untuk membahas bisnis."

Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, ia langsung mengajak Grace pergi, memilih sebuah tempat yang sudah lama menjadi langganannya cafe yang sering ia kunjungi untuk melepas penat.

_____

Ketika mereka tiba di kafe, Grace sedikit kecewa. Ia membayangkan pertemuan ini di restoran mewah dengan suasana romantis, bukan di sebuah cafe yang terkesan santai dan akrab.

Namun, ia berusaha menyembunyikan kekecewaannya dan tetap tersenyum saat mereka duduk di meja dekat jendela.

Alex membuka laptopnya, siap membicarakan bisnis, tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Grace sudah lebih dulu angkat bicara.

"Aku tidak menyangka, kamu semakin tampan, Alex," katanya dengan suara lembut.

Alex yang sedang mengetik terhenti sejenak. Ia menatap Grace dengan alis sedikit terangkat.

"Terima kasih," balasnya singkat, lalu kembali fokus pada laptopnya.

Namun, Grace tidak berhenti di situ. "Aku masih ingat dulu saat kita masih sekolah, kamu sudah menarik perhatian banyak orang. Tapi sekarang... kamu benar-benar pria dewasa yang mempesona."

Alex menghela napas dalam hati. Sekarang ia semakin yakin bahwa pertemuan ini bukan benar-benar tentang bisnis.

Sementara itu, di sudut cafe, Bella diam-diam memperhatikan mereka dari balik meja kasir. Ia melihat bagaimana Grace berbicara dengan ekspresi penuh kekaguman, sementara Alex tampak tidak terlalu tertarik.

Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya.

Ia tahu, ia tidak punya alasan untuk merasa seperti ini. Alex bukan siapa-siapanya. Tapi tetap saja, melihat pria itu bersama seorang wanita lain—terutama seseorang yang jelas-jelas berusaha menarik perhatiannya membuat dadanya terasa sedikit sesak.

Bella menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa sejak malam sebelumnya, ada sesuatu yang mulai berubah dalam cara ia memandang Alex. Apakah ia jatuh cinta??

_____

Alex mulai kehilangan kesabaran.

Sejak awal pertemuan, ia sudah merasakan ada yang aneh. Grace tidak menunjukkan minat pada bisnis seperti yang ia katakan sebelumnya. Sebaliknya, wanita itu terus mengalihkan pembicaraan dengan pujian-pujian yang terdengar terlalu berlebihan.

Akhirnya, dengan suara lebih tegas dari sebelumnya, Alex menatapnya dalam-dalam. "Grace, aku ingin tahu. Apa maksud sebenarnya dari pertemuan ini?"

Grace terdiam sejenak. Matanya berkedip pelan, lalu bibirnya melengkung ke atas, seakan mencoba meredakan ketegangan. Tapi kali ini, tidak ada lagi alasan yang bisa ia buat.

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengakui, "Kita dijodohkan, Alex."

Alex menegang. Ia menatap Grace dengan ekspresi tidak percaya. "Apa?"

Grace tersenyum kecil, seolah-olah ini bukan masalah besar. "Ya, orang tua kita sudah membicarakannya cukup lama. Aku baru tahu sebelum aku pulang ke sini. Dan, ya... aku tidak keberatan."

Alex menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Kau tidak keberatan?" ulangnya, seakan memastikan ia tidak salah dengar.

Grace mengangkat bahu. "Kenapa aku harus keberatan? Aku mengenalmu sejak kecil, dan aku selalu mengagumimu. Lagipula, dari sisi bisnis, ini juga menguntungkan kedua keluarga kita, kan?"

Alex menggelengkan kepala, benar-benar tak percaya. "Grace... kau bahkan belum mengenalku secara pribadi. Kita jarang bicara, bahkan saat sekolah dulu. Bagaimana bisa kau menerima perjodohan ini begitu saja?"

Grace menatapnya dengan mata berbinar. "Karena aku ingin mengenalmu lebih jauh, Alex. Aku pikir ini kesempatan yang bagus."

Alex menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini terlalu gila. Ia merasa seperti dipojokkan dalam skenario yang sama sekali tidak ia rencanakan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia meraih kunci mobilnya dan berdiri. "Ayo, aku antar kau pulang."

Grace tersenyum kecil, seakan sudah memperkirakan reaksi Alex. Tanpa protes, ia mengikuti pria itu keluar dari cafe.

 

Di dalam mobil, suasana begitu hening.

Alex menyetir dengan ekspresi datar, tatapannya lurus ke jalanan, tapi pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa ia pecahkan.

Ia masih tidak percaya ini semua terjadi begitu cepat. Perjodohan? Dengan seseorang yang hampir tidak pernah ia kenal secara langsung?

Sambil mengemudi, ia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mencerna semuanya.

Di sampingnya, Grace memperhatikan ekspresinya, lalu dengan lembut, ia mengulurkan tangan dan menyentuh tangan Alex yang berada di persneling. "Alex... tenanglah. Aku tahu ini mendadak, tapi..."

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Alex langsung menepis tangan itu dengan halus, tapi tegas.

Tatapannya dingin saat ia berkata, "Jangan terlalu cepat, Grace."

Grace terdiam, sedikit terkejut dengan respons itu. Ia menarik kembali tangannya dengan ekspresi sedikit terluka, tapi ia juga tidak bodoh. Ia tahu bahwa butuh waktu untuk Alex menerima situasi ini.

Dan waktu adalah sesuatu yang ia siap habiskan asalkan itu bisa membuat Alex menjadi miliknya.

*****

Mobil Alex berhenti di depan rumah mewah keluarganya. Tanpa banyak bicara, ia keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah.

Begitu melewati pintu utama, aroma makanan yang masih hangat menyambutnya. Dari ruang makan, terdengar suara gelak tawa ringan—suara ayah dan ibunya yang tampak menikmati makan malam.

Tapi bagi Alex, tidak ada yang terasa hangat malam ini.

Dengan langkah berat, ia berjalan ke ruang makan dan menemukan kedua orang tuanya sedang duduk di meja makan besar, menikmati hidangan. Ibunya, yang selalu anggun dalam setiap kesempatan, tersenyum melihatnya datang.

"Alex, kau sudah makan? Duduklah, Ibu siapkan sesuatu untukmu," katanya lembut.

Tapi Alex tidak tertarik. Dengan ekspresi dingin, ia berdiri di ujung meja, menatap kedua orang tuanya.

"Aku baru saja tahu bahwa kalian sudah menjodohkanku dengan Grace," katanya tanpa basa-basi.

Ayahnya meletakkan sendok dan garpunya, lalu menatap Alex dengan tatapan tenang. "Jadi Grace sudah mengatakannya?"

"Ya, dan aku ingin tahu kenapa aku tidak pernah diberi tahu soal ini!" suara Alex naik satu oktaf, emosinya mulai tak terbendung.

Ibunya meletakkan gelasnya dengan hati-hati. "Kami memang belum sempat memberitahumu, Alex. Tapi kami memang sudah menjodohkanmu dengan Grace sejak kau masih kecil."

Alex membeku. Ia menatap ibunya dengan tatapan tidak percaya. "Sejak kecil? Aku bahkan tidak tahu apa-apa saat itu! Kalian membuat keputusan sebesar ini tanpa mempertimbangkan perasaanku?"

Ayahnya menghela napas panjang, seolah sudah menduga reaksi ini. "Alex, dengarkan dulu. Ini bukan sekadar perjodohan biasa. Ini adalah bentuk tanggung jawab kami."

Alex tertawa sinis. "Tanggung jawab? Maksudnya apa?"

Ayahnya menatapnya tajam. "Dulu, saat perusahaan kita hampir bangkrut, Tuan Chrislah yang menyelamatkannya. Dia membantu kami dengan investasi besar ketika tidak ada siapa pun yang mau melakukannya. Tanpa dia, kita mungkin tidak akan berada di posisi sekarang."

Alex mengepalkan tangan. "Dan sebagai balasannya, aku harus menyerahkan hidupku? Mengorbankan perasaanku hanya karena hutang budi?"

Ibunya menatapnya penuh pengertian. "Nak, ini bukan tentang mengorbankan perasaanmu. Grace gadis yang baik, dan kami yakin kalian bisa saling mengenal dan...mungkin, menemukan kecocokan."

Alex menatap ibunya dengan mata penuh luka. "Tapi bagaimana kalau aku tidak ingin ini? Bagaimana kalau aku ingin memilih sendiri dengan siapa aku akan hidup?"

Ayahnya terdiam, tapi sorot matanya tetap tegas. "Kau anak laki-laki kami, Alex. Ada saatnya kau harus memahami bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang kau inginkan, tapi juga tentang tanggung jawab yang harus kau pikul."

Alex tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya.

Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh tangan tak terlihat.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya.

Langkahnya berat, penuh kemarahan yang tertahan. Ia menutup pintu kamarnya dengan keras, lalu bersandar di sana, menghela napas panjang.

Hai....readers

jangan lupa like dan komen ya..novelku🥰

1
Dee
terima kasih kak/Heart/
Amalia Mirfada
Langsung jatuh cinta deh!
Dee: terima kasih dukungannya...
total 1 replies
Dewi Martizawati
lanjut thor keren ceritanya/Kiss//Heart/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!