Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK8
Max dan Clara pergi ke lokasi pembunuhan terbaru. Sebuah rumah tua yang sudah lama tidak dihuni. Di dalamnya, suasana terasa mencekam. Dinding-dindingnya dipenuhi coretan, dan bau anyir darah masih samar tercium.
Clara memeriksa ruangan itu dengan teliti, begitupun Max. Sementara Jessie yang baru saja tiba, berdiri di dekat pintu. Ia enggan masuk, wanita itu terlihat tidak nyaman berada di tempat itu.
Max berjalan perlahan, mencoba mencari sesuatu yang mungkin terlewatkan oleh tim forensik sebelumnya.
“Max, lihat ini,” kata Clara tiba-tiba.
Max mendekat ke arah Clara, yang sedang memandangi dinding di ruang tengah. Ada tulisan besar di sana, sepertinya dibuat dengan darah.
“Semua ini hanyalah awal,” baca Max dengan suara pelan.
Jessie yang penasaran, ikut mendekat. Wajahnya terlihat datar melihat tulisan itu. “Apa maksudnya?”
Clara menatap tulisan itu dengan serius. “Ini jelas pesan dari pelaku. Dia ingin kita tahu bahwa dia belum selesai. Masih ada rencana lain yang dia siapkan.”
Max mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Kita harus menghentikannya sebelum ada korban berikutnya.”
Clara mengangguk. “Tapi kita juga harus hati-hati. Dia selalu selangkah lebih maju dari kita. Kita nggak bisa gegabah, Max.”
Max menatap tulisan itu lagi, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Siapa pelaku ini sebenarnya? Dan apa yang dia inginkan?
Tulisan di dinding itu terasa seperti ancaman langsung. “Semua ini hanyalah awal.” Max tahu, mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya rencana besar yang sulit ditebak.
Namun, sesuatu tentang pesan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Seolah-olah pelaku ini tidak hanya ingin menakut-nakuti mereka, tetapi, juga mengarahkan mereka ke sesuatu yang lebih besar.
Max menatap Clara, lalu berkata dengan suara pelan, “Ini belum selesai. Kita harus siap untuk apa pun yang akan datang nantinya, Clara.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Max, aku perlu bicara denganmu!" ucap Jessie kala mereka bertiga baru keluar dari TKP.
Clara menggigit ujung bibirnya, merasa canggung berada di tengah-tengah mereka berdua. Namun, ia terlalu penasaran untuk melangkah pergi.
Max yang tadinya bergeming di tempat, kini bersuara, "Sayang sekali, tidak ada yang perlu aku bicarakan dengan mu, Jessie." Max kembali melangkah, Jessie menahannya.
Wanita berambut blonde itu kini berdiri di depan Max. "Kenapa kamu sekarang dingin padaku, Max?! Ini nggak seperti kamu yang biasanya. Kamu yang biasanya selalu memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuat aku merasa spesial. Tapi sekarang? Ada apa dengan sikapmu? Apa karena aku sudah menikah dengan Li—"
"Itu poinnya, haruskah aku memperlakukan istri orang lain dengan spesial? Bersikap profesional lah, aku hanya memperlakukanmu sama dengan yang lain," sinis Max sambil berlalu. Clara menyusul di belakangnya, meninggalkan Jessie yang terdiam di tempat, sambil mengepalkan kedua tangan dengan erat.
---
“Bos Max, akhirnya kita ketemu juga,” sapa Ethan ketika Max masuk ke dalam ruang kerjanya. Wajah Ethan terlihat santai, tapi ada kilatan kecerdasan di matanya.
"Ah, gue cari-cari dari tadi, padat jadwal lo?" Max menyerahkan sebuah map berisi informasi para korban. “Gue butuh lo cari tahu apakah ada koneksi antara korban, terutama yang berhubungan dengan dunia digital.”
Ethan menggaruk kepalanya yang tak gatal, "tidur gue, hehehe." Kemudian, Ethan membuka laptopnya di meja dan mulai bekerja. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, sementara matanya fokus pada layar.
Setelah beberapa menit, Ethan bersiul pelan. “Menarik.”
“Apa yang lo temukan?” tanya Max.
“Salah satu korban, yang kedua, ternyata punya hubungan dengan sebuah organisasi rahasia. Gue masih belum tahu detailnya, tapi, ini jelas sesuatu yang besar.”
Max mengerutkan kening. “Organisasi rahasia? Apa hubungannya sama kasus ini?”
Ethan mengangkat bahu. “Belum tahu, Bos. Tapi, ini bisa jadi petunjuk penting. Gue bakal coba gali lebih dalam. Kasih gue waktu. —Maklum, assisten gue lagi libur. Kerjaan gue numpuk.”
Max mengangguk. “Baik. Kalau butuh apa-apa, kabari gue.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langit sore mulai berubah warna, memancarkan semburat jingga yang perlahan memudar menjadi kelabu. Di dalam ruang penyelidikan yang dingin, Max berdiri memandangi papan penuh foto dan catatan yang terpajang di depannya. Wajahnya tegang, pikirannya berputar-putar mencoba menyusun potongan teka-teki yang semakin rumit. Di sudut ruangan, Clara duduk dengan tenang, mencatat sesuatu di buku kecilnya. Jessie berdiri tak jauh dari mereka, memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba melindungi diri dari hawa dingin yang menusuk.
“Clara,” Max memecah keheningan, suaranya rendah tapi tegas. “Apa yang bisa kita simpulkan dari pesan di dinding itu?”
Clara mengangkat wajahnya, menatap Max dengan mata tajam. “Pesan itu bukan sekadar ancaman. Pelaku ini ingin kita tahu sesuatu. Tapi, dia juga bermain-main dengan kita. Ada pola di sini, Max. Pola yang menunjukkan trauma masa lalu yang kompleks.”
Jessie mengerutkan kening. “Trauma? Maksudmu, dia melakukan semua ini karena sesuatu yang terjadi di masa lalunya?”
Clara mengangguk pelan. “Kemungkinan besar. Orang seperti ini tidak bertindak tanpa alasan. Dia ingin menyampaikan sesuatu, tapi caranya ... caranya penuh kemarahan dan dendam.”
Max menghela napas panjang. “Jadi, kita bukan cuma mencari pelaku. Kita juga harus memahami apa yang memotivasi dia.”
Jessie menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Aku ... aku pernah mendengar sesuatu tentang Liam. Sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan ini.”
Max dan Clara langsung menoleh ke arahnya. “Apa maksudmu, Jess?” tanya Max, suaranya terdengar dingin.
Jessie menunduk, seolah mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Sebelum menikah dengan Liam, aku sempat mendengar rumor tentangnya. Rumor yang mengatakan bahwa Liam memiliki trauma dari masa lalu. Tapi, apa mungkin dia orangnya?”
"Lalu, aku sempat bertemu dengan Anna sebelum ia ditemukan tewas." Jessie menatap Max yang sudah menyerangnya dengan tatapan tajam. "Aku rasa ... ada sesuatu yang Anna sembunyikan. Sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan semua ini.”
"Kenapa baru sekarang kau bersuara?" Max mengepal erat kedua tangannya.
Jessie hanya menunduk dalam diam. Bibirnya terkunci rapat, tak lagi mengeluarkan sepatah kata. Tatapan tajam Max seolah menusuk mentalnya hingga mati.
---
Malam itu, Jessie duduk sendiri di ruang tamu. Matanya terus melirik ke arah jam dinding. Sudah hampir tengah malam, tapi Liam belum juga pulang. Hatinya kembali meradang, semenjak menikah, entah sudah berapa kali Liam pergi tanpa memberi alasan yang jelas.
Dia mencoba menghubungi ponsel Liam, tapi tidak dijawab. Jessie mulai resah, rasa curiganya semakin besar. “Kamu sebenarnya ngapain, Liam? Ke bar itu lagi?” gumamnya pelan.
Tidak lama kemudian, pintu depan terbuka. Liam masuk dengan langkah santai, seperti tidak ada yang salah. Dia tersenyum ketika melihat Jessie di sofa. Pagi tadi mereka sudah berbaikan.
“Kamu belum tidur?” tanya Liam dengan nada lembut.
Jessie langsung berdiri, menatap Liam dengan tajam. “Kamu dari mana?!”
Liam mendekatinya, ekspresinya sangat tenang. “Ada urusan, Sayang. Kenapa?”
“Urusan apa? Kamu sering banget keluar malam tanpa alasan. Apa sih yang kamu cari di luar sana?!” ketus Jessie.
Liam menatap Jessie dengan tatapan penuh rasa sabar. “Sayang, kamu nggak perlu khawatir. Aku cuma ngurusin hal penting. Nggak ada yang perlu kamu curigai.”
“Tapi, Liam—” Jessie mencoba melanjutkan protesnya, tapi, Liam memotongnya dengan suara lembut.
“Percaya sama aku, Jess. Aku nggak akan pernah ngelakuin sesuatu yang bakal bikin kamu kecewa.”
Jessie terdiam. Kata-kata Liam selalu terdengar meyakinkan, tapi, ada sesuatu yang terasa salah. Meski begitu, dia memilih untuk tidak melanjutkan argumen itu malam ini.
"Ayo kita tidur, aku lelah sekali." Liam meraih jemari Jessie, menuntun sang istri masuk ke dalam kamar.
Keesokan pagi, Jessie terbangun lebih dulu. Ia duduk di atas ranjang sembari meraup wajahnya yang masih mengantuk. Namun, sedetik Jessie mematung di tempat, tangan yang baru saja meraup wajah, sangat berbau tak sedap. Seperti beraroma amis.
Jessie menatap cermin di seberang ranjang, sekujur tubuhnya membeku. Tatapan itu beralih pada jemarinya yang bergetar. Wajah dan jemarinya, penuh akan darah.
Jessie ... menjerit histeris.
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅