Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Tidak terarah.
Suara gemuruh musik di cafe menghalangi pendengaran Letnan Hananto, ia pun menjauh setelah menyeruput kopi hitamnya. Patah hati karena seorang Syafa bisa membuatnya setengah gila seperti ini.
"Opo, ting?" Jawabnya setengah berteriak.
"Aku bawa Jena ke Batalyon, kau tangani dia..!!" Pinta Bang Shano.
"Tangani piye?? Hamilin dia??" Tanya Bang Han.
"Ngawur, ojo. Ya maksudnya buat dia jatuh cinta sama kamu."
"Oohh.. Yowes, bawa sini..!!" Sambut Bang Hananto malas.
Panggilan telepon terputus, pandang mata Bang Hananto melihat beberapa orang pemuda sedang mengganggu seorang penyanyi cafe, bahkan seorang pemuda disana melakukan pelecehan hingga pakaian gadis itu sobek.
Kesal melihatnya, Bang Hananto pun turun tangan. Dirinya menghajar seluruh pemuda itu tanpa ampun hingga lari tunggang langgang.
Setelah pemuda itu pergi, Bang Hananto melepas jaketnya. Gadis itu masih menangis histeris karena ketakutan.
"Tenang, saya nggak akan menyentuhmu..!!" Perlahan Bang Hananto menyampirkan jaketnya untuk menutupi tubuh gadis itu.
Gadis itu begitu lemah. Tidak ada pilihan lain, Bang Hananto membawanya ke dalam mobilnya.
...
"Risha, nama saya Risha."
Bang Hanan mengalihkan pandangan. Jika selama ini bayang dan angannya teralihkan oleh sosok Syafa, kini di matanya ada sebentuk keindahan lain yang memudarkan alur pikirnya hingga detak jantung nya bertalu kencang. Darahnya berdesir panas dan sekujur tubuhnya menegang.
Teringat kemarahan sang Ayah waktu itu membuat jalan pikirnya pudar.
"Saya bisa menyelamatkan kamu dari mereka. Tapi ada syaratnya..!!"
"Apapun syaratnya, saya tidak mau mereka mengirim saya keluar pulau. Saya tetap ingin disini meskipun saya tidak punya siapapun lagi, menjadi pembantu Pak Kunto pun saya tidak masalah." Jawab Risha.
"Oke. Kamu harus menanda tangani kontrak dan menikah dengan saya. Katakan pada orang tua saya bahwa saya ini laki-laki normal. Saya akan memberimu bayaran yang pantas, bonus dan akan membiayai hidupmu meskipun kita tidak bersama lagi sebagai tanda terima kasih saya." Kata Bang Hananto.
"Baiklah. Jika ini hanya sebuah kontrak, maka tidak ada kontak fisik di antara kita karena semua hanya profesional kerja." Ujar Risha.
"Nggak masalah. Ikut dengan saya, sekarang..!!" Ajak Bang Hananto.
...
Usai membereskan masalah di antara mereka, Bang Hananto langsung membawa Risha ke rumah kontrakannya. Ia tidak ingin lagi Risha kembali pada masa lalunya yang kelam.
"Besok Ayah dan Ibu saya datang. Beraktinglah senatural mungkin. Jadilah istri yang mencintai saya dalam penglihatan kedua orang tua saya..!!" Perintah Bang Hananto.
"Tenang saja Pak. Saya akan bekerja sebaik mungkin." Kata Risha.
"Panggil saya Abang, tidak ada istri yang memanggil suaminya 'bapak'." Tegur Bang Hananto mengarahkan.
Bang Hananto menyerahkan berkantong-katong barang untuk Risha juga satu set perhiasan. Tentu dirinya paham bagaimana caranya menghargai seorang 'istri'.
"Masuklah dan segera tidur, besok Ayah dan Ibu akan datang bersama letting saya."
"Letting itu apa?" Tanya Risha.
"Teman seperjuangan." Jawab Bang Hananto singkat tanpa menjabarkan latar belakang dan pekerjaan nya.
***
Bang Shano menengadah. Om Rakit satu penerbangan dengannya, tentu dirinya tidak bisa mengabaikan Jena begitu saja.
"Masih lama ya, Bang?" Tanya Jena mulai gelisah. Dirinya sangat takut gelap dan ketinggian hingga keringat dingin karena gugup.
"Turun saja kalau bosan." Jawab ketus Bang Shano.
Jena mencibir ngeri lalu menunjukan lengan kecilnya sebagai tantangan kalau pria itu macam-macam dengannya.
"Disana ada arena gulat?" Bisik Jena.
"Ada, nanti sama saya di tempat tidur." Bang Shano menjawab sekenanya karena malas.
"Oya, kenapa harus menunggu di tempat tidur. Disini juga bisa." Jena yang geram membuka kancing pakaiannya dan memperlihatkan dadanya yang mungkin nampak oversize untuk gadis seusianya.
Sontak saja Bang Shano panik meskipun wajahnya nampak tenang. Untung saja seat mereka adalah seat private hingga tidak ada satupun orang yang melihat kelakuan Jena.
"Apa-apaan kau ini. Kalau dadamu sebesar kelapa ijo, terserah saja kau pamerkan. Lah ini seperti tombol kipas angin saja masih banyak gaya." Omel Bang Shano sambil memejamkan matanya.
Namun siapa sangka aliran darahnya bak pipa yang tersendat. Sekujur tubuhnya panas menegang hingga pakaiannya terasa sesak.
'B*****t. Kalau gini caranya, kolaps juga nih gue. Gimana caranya biar si rusuh ini nggak bertingkah. Iman tebal sekalipun kalau terus di uji ya ambruk juga.'
.
.
.
.
okelll lanjutt MBK naraa