"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"
Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.
Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08 Istri Nakal
Tok... Tok... Tok...
Seluruh penghuni kelas menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri Nayla yang melangkah masuk, berjalan pelan menuju Bu Nica yang tengah mengajar di depan kelas.
“Maaf Bu. Saya terlambat,” ucap Nayla sopan ketika sudah berdiri di hadapan wali kelasnya itu.
Bu Nica, wanita berhijab abu-abu yang dikenal tegas namun keibuan itu, menurunkan kacamatanya dan memandang Nayla. “Dari mana saja kamu? Kenapa baru datang?” tanyanya, nada suaranya mengandung rasa ingin tau sekaligus teguran.
“Tadi tiba-tiba kepala saya pusing Bu. Jadi saya mampir ke UKS buat minta obat dulu,” jawab Nayla, mencoba tenang meskipun dadanya masih berdebar.
“Kepalanya masih pusing sekarang?” tanya Bu nica, nada bicaranya mulai melembut.
“Sudah agak mendingan Bu. Tadi sudah minum obat,” Nayla mencoba tersenyum tipis.
“Baiklah, kalau begitu silakan duduk.” Bu Nica mengangguk singkat, membiarkan Nayla kembali ke tempat duduknya.
“Terima kasih Bu.” Nayla membungkuk kecil, lalu melangkah menuju bangkunya di mana Tania dan Alika sudah menunggunya dengan tatapan khawatir.
“Kamu kenapa Nay? Sakit?” bisik Alika pelan ketika Nayla baru saja duduk.
“Udah baikan kok, tadi udah minum obat,” jawab Nayla sambil membuka buku Fisika, menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya.
“Tapi lo pucat banget Nay. Serius kayak orang belum makan tiga hari,” celetuk Tania, tetap menatap khawatir.
Nayla memejamkan matanya sejenak, berusaha mengusir bayangan kejadian tadi yang terus menghantuinya. “Gak apa-apa Nia. Sumpah udah minum obat kok.”
“Beneran nih?” Tania masih belum menyerah.
Namun, sebelum Nayla sempat menjawab, suara Bu Nica menggema dari depan kelas. “Tania! Perhatikan penjelasan saya. Jangan sampai nanti kamu kesulitan sendiri di ujian!”
“Baik Bu,” sahut Tania cepat-cepat, menunduk malu.
Pelajaran pun kembali berjalan. Bu Nica sibuk menuliskan rumus di papan tulis, sementara para siswa mengerjakan soal-soal yang diberikan. Tanpa terasa, jarum jam menunjukkan pukul 14.00, menandakan bahwa sekolah telah usai.
“Baik anak-anak. Pelajaran kita lanjutkan lusa. Selamat siang,” ucap Bu Nica sembari merapikan bukunya.
“Selamat siang Bu!” jawab siswa-siswi serempak. Mereka pun segera berhamburan keluar kelas.
“Lo mau langsung pulang Nay?” tanya Alika sambil memasukkan buku ke dalam tas.
“Iya kenapa?” jawab Nayla singkat.
“Gak sih. Gue sama Tania mau coba cafe baru di depan sekolah lo mau ikut?”
Nayla tersenyum lemah. “Kayaknya lain kali aja, deh. Di rumah lagi ada tamu gak enak kalo gue pulang telat.”
“Tamu? Itu loh, ortunya kakak sepupu lo ya?” tebak Tania, yang langsung diangguki Nayla.
“Sayang banget. Padahal gue denger ada menu strawberry spesial yang cuma ada di situ. Lo suka banget kan?” rayu Alika.
“Maaf ya. Lain kali gue janji ikut,” jawab Nayla menyesal.
“Ya udah, nanti kita atur lagi kapan-kapannya,” ujar Tania mengerti.
Di depan gerbang sekolah, Alika kembali bertanya, “Lo pulang naik apanNay?”
“Bus,” jawab Nayla. “Gue ke halte dulu, takut ketinggalan.”
Alika dan Tania hanya mengangguk, lalu berpisah arah.
Di halte, Nayla bertemu Indah, kembaran Indra.
“Lo gak nongkrong dulu Nay?” tanya Indah.
“Gak, pengen langsung pulang aja,” jawab Nayla sambil tersenyum lelah.
Mereka menunggu bus, hingga sebuah sedan merah berhenti di depan mereka. Kaca mobil turun, menampilkan sosok wanita elegan berusia empat puluh tahunan.
“Mama?” bisik Nayla pelan, terkejut.
“Kamu baru pulang Sayang?” sapa Mila lembut.
“Iya Ma.” Nayla melirik canggung ke arah Indah dan Indra.
“Yuk bareng Mama aja pulangnya,” ajak Mila.
Nayla mengangguk, berpaMilan pada Indri dan Indra. “Gue duluan ya.” Ia lalu masuk ke dalam mobil.
Mobil pun melaju pergi.
“Tadi itu siapa ya?” tanya Indah pada Indra.
“Mungkin keluarganya Nayla,” jawab Indra cuek.
“Tapi tadi gue denger Nayla manggil dia Mama, deh,” gumam Indah.
“Lo salah denger kali. Udah yuk, busnya udah dateng.”
Indah diam, namun pikirannya terusik. “Tapi mamanya Nayla kan namanya Manda. Jangan-jangan...”
Namun ia buru-buru menggelengkan kepalanya. “Gak, gak mungkin,” gumamnya.
“Mama dari mana Ma?” tanya Nayla, memecah keheningan.
“Mama tadi memang sengaja lewat depan sekolah kamu. Mau ngajak kamu ke kantor Papa,” jawab Mila sambil tersenyum.
“Ke kantor Papa? Ada urusan apa Ma?”
“Ada berkas penting yang harus Mama antar. Papa tadi telepon, katanya ketinggalan di rumah.”
Nayla mengangguk mengerti.
Namun tak lama, Mila berkata, “Tapi sebelum ke kantor, kita mampir ke salon dulu ya.”
Nayla memandang heran. “Salon Ma? Bukannya kita buru-buru ke kantor?”
Mila terkekeh. “Masa kamu mau ke kantor Papa pakai seragam sekolah? Bisa-bisa dikira anak magang nyasar.”
Nayla menunduk, tersenyum malu. “Iya juga ya.”
Mereka pun tiba di sebuah salon dan butik mewah milik sahabat Mila. “Kita udah sampai Nyonya,” ucap sopir.
Mila menggandeng Nayla masuk ke dalam butik. “Hai Mil!” sapa Rati, pemilik butik.
“Hai Rat.” Mereka bersalaman dan berpelukan.
“Ini dia yang sering kamu ceritain?” tanya Rati, melirik Nayla.
“Iya. Tolong dandanin dia ya Rat. Hari ini pertama kalinya dia mau ke kantor Rayyan.”
“Beres. Nanti Rayyan pasti pangling,” janji Rati.
Nayla mengerutkan kening polos. “Emangnya aku gak cantik ya Ma?”
Mila langsung memegang pipi Nayla. “Cantik banget Sayang. Cuma biar makin spesial aja.”
Rati ikut tersenyum. “Bener kamu udah cantik. Tante cuma mau bikin Rayyan makin jatuh cinta.”
“Sekarang ikut Tantenya,” ajak Rati, mengulurkan tangan.
Nayla ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti Rati ke ruangan rias.
Setengah jam kemudian, Rati keluar. “Mil udah jadi.”
Mila memandang Nayla dengan penuh kekaguman. “Masya Allah, cantik banget. Papa kamu gak salah pilih istri buat Rayyan.”
Mila merapikan rambut Nayla dengan lembut. “Yuk, sekarang kita kasih kejutan buat Rayyan dan seseorang.”
Nayla memiringkan kepala. “Seseorang Ma? Siapa?”
Mila hanya tersenyum misterius. “Nanti kamu tau.”
Mereka pun pamit pada Rati, lalu menuju kantor Rayyan.
Setibanya di kantor, Mila dan Nayla menarik perhatian banyak orang. Radi karyawan kepercayaan Mahendra , langsung menyambut mereka. “Selamat siang Bu Mila.”
“Siang Radi. Bapak dan Rayyan di mana?”
“Mereka sedang rapat Bu.”
“Kalau begitu, tolong antar berkas ini ke Bapak. Bilang Mama menunggu di ruangannya,” titah Mila.
“Baik Bu.”
Setelah menyerahkan berkas, Mila menggandeng Nayla menuju lift.
“Pak Radi, tadi yang sama Bu Mila siapa?” bisik seorang karyawan wanita.
“Kurang tau. Tapi tadi manggil Bu Mila ‘Mama’.”
“Jangan-jangan dia istrinya Pak Rayyan?”
Radi hanya mengangkat bahu. “Entahlah.”
Karyawan wanita itu bergumam dalam hati. “Gue harus kasih tau Rena soal ini.”
“Sayang, kamu tunggu di ruang Rayyan ya. Mama ada urusan sebentar,” ucap Mila.
Nayla ragu. “Apa gak apa-apa, Ma? Takut Kak Rayyan marah.”
Mila tersenyum menenangkan. “Kalo Rayyan marah, Mama yang hukum dia.”
Nayla mengangguk ragu dan masuk ke ruang Rayyan. Ia terpana melihat interior ruang itu elegan, maskulin, penuh wibawa.
Nayla berjalan ke meja, menyentuh buku-buku yang tertata rapi. Lalu pandangannya beralih ke jendela besar yang menyajikan pemandangan kota.
Di saat yang sama, Rayyan baru saja keluar dari ruang rapat. “Aku ke ruanganku dulu Pa.”
Mahendra mengangguk. “Mama juga di sini.”
Rayyan masuk lift bersama asistennya. “Jangan ada yang ganggu saya,” tegasnya pada Andra.
Sesampainya di lantai atas, Rayyan berjalan menuju ruangannya dan masuk.
Begitu pintu terbuka, ia terkejut melihat seorang gadis berbalut dress putih berdiri di dekat jendela.
“Siapa kamu? Kenapa seenaknya masuk ke ruangan saya?” suaranya dingin.
Nayla berbalik. “M-maaf Kak. Mama yang suruh aku nunggu di sini.”
Rayyan melangkah mendekat. Nayla menutup mata, takut dimarahi. Tapi yang ia rasakan justru usapan lembut di pipinya.
“Siapa yang dandanin kamu kayak gini, hm?” tanya Rayyan suaranya berubah lembut.
“J-jelek ya Kak?” Nayla menunduk. “Kalau jelek aku pulang aja, takut Kak Rayyan malu.”
Nayla berbalik hendak pergi, namun Rayyan menarik pergelangan tangannya. Ia menarik Nayla ke dalam pelukannya.
“Jangan pergi kemana-mana, istri nakal,” bisik Rayyan di telinga Nayla.
Namun tanpa mereka sadari, dari balik pintu, sepasang mata penuh kemarahan menyaksikan semuanya. Genggaman tangan wanita itu menguat, wajahnya menegang. Ia berbalik dan pergi dengan penuh amarah, membatalkan niatnya untuk menemui Rayyan.
Rayyan yang semula fokus pada Nayla, kemudian menoleh ke pintu. Matanya berubah tajam saat ia sadar siapa yang barusan mengintip mereka.